Tampilkan postingan dengan label Informasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Informasi. Tampilkan semua postingan

Senin, 14 Maret 2022

Horizon

“Coba buka jendelamu, di sana hanya horizon tak bertuan. Hanya horizon.” 

Saya mendengar kalimat itu berdengung konstan di kepala secara mendadak. Entah siapa yang pernah mengucapkannya. Bisa jadi itu isi kepala saya sendiri yang terus merapal kalimat itu bagai mantra. 

Saya teringat senja di foto itu, sepotong sore di Uluwatu, suatu waktu di bulan Agustus 2014. Foto itu diambil pada satu titik yang mungkin tak tertera di GPS. Saya membuka jendela kamar dan hanya ada cakrawala tanpa batas. Siapa yang bisa melukis jingga sepuitik itu, sering saya membatin demikian. 

Setiap memandang horizon, saya tertegun juga merasakan betapa banyak yang boleh saya lalui. Terkadang ini lebih aneh dan ajaib dari sebuah kisah fiksi sekalipun. Di sebuah fase dalam hidup, sering kamu melihat semua yang datang dan membanjiri pasti selalu berlalu. Sebut saja semua kepedihan juga keriaan, semua akan berlalu. Jangan-jangan saya jadi lebih mirip jalanan Jakarta yang tetap kokoh disapu banjir yang akan surut pada waktunya. Tapi saya tidak mau disamakan dengan Jakarta. 

Di setiap senja di kota asing selalu ada yang berubah. Orang-orang yang kau temui, mereka adalah api, jarum, air, tanah, payung, telaga, kerupuk, plastik, apapun yang membuatmu sadar. Mereka dengan cerita yang beragam pun seringkali dengan sinisme yang pekat. Mereka semua bagian ceritamu. Ada satu masa ketika kau mencoba tidak menghakimi apapun, bahkan menghakimi mereka yang menghakimi orang lain. 

Ada masa kau melihat potret yang lebih besar dan kau merasa tidak ada yang perlu disalahkan. “Kamu akan melihat potret yang lebih besar. Tapi ketika kamu sudah di usiaku ya, bersabarlah,” kata seorang teman suatu ketika. 

Saya  ingat ucapan kawan yang berusia delapan tahun lebih tua itu. Ya, mungkin di masa itu ketika saya dengan sepenuh hati percaya dunia ini memang pincang, berpeluh, penuh luka, tetapi juga punya selaksa horizon yang mempertemukanmu dengan banyak kisah luar biasa. Maka, saya pun membuka jendela. Hanya horizon di sana, hanya horizon.
Read More

Selasa, 18 Januari 2022

Angin

Angin menerbangkan segala, tetapi tidak kenangan. Dan, di sanalah aku meraba kembali yang pernah terjadi. Mungkin kau juga terlempar ke masa lalu ketika semua terasa begitu baru. 

Malam tampak begitu cepat turun di tempat ini, secepat kabut-kabut. Kita saling bicara tentang apa saja, sebagai manusia dengan masa lalu yang misterius. 

Kota-kota di semua benua seakan meluncur dari mulut kita dan kita seakan berada di sana. Tetapi kita di sini, di sebuah tempat yang mungkin terlupakan di peta. 

Kita menjalin kenangan hari ini dan mencoba mendamaikannya dengan masa lalu yang beku. Adakah semua berhasil? Aku tak tahu. 

Mungkin semua awalnya seperti sebotol soda dingin yang menyegarkan tenggorokan. Perlahan, semua buih menghilang dan hanya pahit yang terasa. Kita bertemu untuk saling berpisah. Kita mengenal untuk saling melupakan. Mungkin karena itu pula, aku tak menyibak semua rahasia, karena semuanya akan terasa sia-sia. 

Ribuan detik setelah masa itu, angin masih bertiup. Aku menengok masa lalu dan kau mungkin menyongsong masa depan. Kita tidak pernah bertukar apapun, kecuali seuntai cerita. 

Angin malam hari ini pun tidak berhasil menghapuskan semua cerita. Tetapi cerita hanyalah cerita.



Read More

Sabtu, 18 Desember 2021

Monolog dengan Lelaki dalam Kemelut Sejarah

Tahun ini kami memperingati kepergianmu tepat 52 tahun yang lalu. Aktivis, pemikir, dan pengajar par excellence Soe Hok Gie meninggal pada 16 Desember 1969 di Gunung Semeru, Jawa Timur. Gie berpulang ketika hendak merayakan hari ulang tahunnya yang ke-27 di puncak Semeru. 

Tulisan ini baru saya buat tiga hari setelah hari peringatan itu. Kesibukan, termasuk tenggat pekerjaan, menghalangi saya menyelesaikan tulisan ini. Sembari mengenang tindak tandukmu. Boleh kan saya bercerita kegelisahan-kegelisahan yang mungkin sama dengan yang kau alami dulu.

Kau, bagi saya, adalah lelaki dalam kemelut sejarah. Kau turut berperan menggulingkan rezim Soekarno. Presiden yang dalam banyak kesempatan kau sebut tega berpesta bersama istri-istrinya yang cantik di dalam istana, sementara rakyatnya di luar sana kelaparan.

Kegelisahanmu melihat polah rezim Soekarno pula yang mengantarkanmu “turun gunung” dari belantara kampus dan memilih terlibat dalam politik. Politik, adalah sesuatu yang sangat kau benci. Dalam buku Catatan Seorang Demonstran rekan-rekanmu menggambarkan betapa jijiknya kau melihat politik Indonesia. 

Rekan-rekanmu, Gie, menyampaikan bahwa kau melihat politik sebagai lumpur yang kotor. Politik menjadi jalan terakhimu berjuang manakala semua jalan atau pintu lainnya telah tertutup. Senior saya di Kompas sekaligus kawanmu, almarhum Rudy Badil, bilang, “Orang lurus macam Gie tidak cocok terjun ke politik.”

Membaca buku-bukumu, menonton film tentangmu membuat saya ingin meneladani kepribadianmu. Benar kau persis seperti yang digambarkan Rudy. Watakmu keras dan teguh dalam prinsip. Saya pun ingin menjadi orang lurus sepertimu. Terutama di dalam profesi yang saya geluti sekarang. 

Saya, jurnalis 28 tahun, serasa ikut merasakan kemuakan-kemuakan yang kau alami dulu. Kau merasa muak bercampur emosi melihat rekan-rekanmu sesama aktivis 65 terbujuk rayuan rezim Orde Baru untuk duduk di parlemen. 

Mereka teman-teman seperjuanganmu saat mengontrol kekuasaan Orde Lama, memilih berkhianat. Mereka tak lagi kritis apalagi berani mengawasi jalannya kekuasan agar tak ugal-ugalan. 

Situasi itu yang saya rasakan sekarang, Gie. Saya juga merasa ikut ditinggalkan teman-teman seperjuangan sesama jurnalis dalam mengontrol jalannya kekuasaan. Pers, adalah pilar demokrasi keempat. Mereka ada salah satunya untuk mengawasi kekuasaan. 

Saat pemilihan presiden 2019 usai, seluruh komponen oposisi memutuskan masuk ke pemerintahan. Mayoritas parlemen juga mendukung pemerintahan kedua Presiden Joko Widodo. Akibatnya, tiada lagi pihak yang bisa diandalkan untuk mengkritisi pemerintahan, kecuali pers.

Kondisi itu secuil contoh bagaimana besar dan mulianya peran pers dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di saat pihak yang seharusnya menjadi oposisi memilih hidup dalam ketiak kekuasaan, pers menjadi pelita terakhir yang diharapkan bisa menjalankan peran sebagai oposisi. 

Tapi kenyataannya, Gie, saya melihat para insan pers terutama di daerah tidak lagi seutuhnya sadar akan peran mulia tersebut. Mereka telah berubah menjadi pemburu rente yang menggantungkan hidupnya dari belas kasihan pemerintah. 

Kegiatan jurnalistik tidak menjadi aktivitas utama. Mereka lebih sering menemui para pejabat di daerah bukan untuk menulis berita, tetapi untuk lobi-lobi agar diberi proyek. Semua untuk keuntungan diri mereka sendiri, bukan pada tugas dan kewajiban memberikan informasi yang pantas kepada warga. Pers di daerah, sejauh yang saya lihat, tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai anjing penjaga.

Kau tahu betapa hancurnya hati saya melihat rekan-rekan jurnalis di sekitar saya berubah menjadi corong kekuasaan. Mereka tak lagi skeptis apalagi kritis. Baru-baru ini, sebuah lembaga survei politik asal-asalan mengeluarkan rilis tentang seorang gubernur yang mereka sebut layak bersaing di tingkat nasional.

Saya tertawa membaca rilis mereka, Gie. Gubernur yang mereka coba orbitkan itu sama sekali tak layak di mata saya. Ia biarkan ketimpangan di daerahnya melebar, jalan-jalan rusak, korupsi di pemerintahannya, serta ketidakmampuannya menerima kritik adalah kelemahan terbesar dia. 

Dengan iming-iming uang ratusan ribu rupiah, rekan-rekan saya tanpa pikir panjang memilih menerbitkan berita tentang keunggulan gubernur yang telah lebih dulu dipoles oleh lembaga survei itu. Betapa godaan uang ratusan ribu telah melunturkan idealisme mereka. 

Tidakkah mereka menyadari bahwa menerima sogokan dalam bentuk halus itu juga merupakan sebentuk kecil tindakan korupsi? Bayangkan, opini pubik telah tergiring oleh berbagai pemberitaan rekan-rekan saya. Gubernur yang tak layak itu telah dipoles, kemudian mampu naik ke tampuk kekuasaan. Artinya rekan-rekan saya telah menyalahi nilai-nilai dalam jurnalisme.

Sejauh yang diajarkan kepada saya dulu, jurnalisme juga mengemban fungsi untuk melayani. Ia melayani masyarakat dengan menyajikan informasi yang layak, utuh, dan sebenar-benarnya. Dengan begitu, masyarakat bisa membuat pilihan yang pada akhirnya akan membantu menaikkan taraf hidup mereka kelak.

Menerbitkan informasi terkait gubernur yang telah dipoles sedemikian rupa tanpa mengkritisinya, sama saja dengan menyodorkan informasi keliru kepada masyarakat. Mereka pun akhirnya akan mengambil keputusan yang salah. 

Di titik itu saya teringat padamu Gie. Saya merasa turut mengalami kau yang dulu dikhianati rekan-rekanmu sesama aktivis yang kemudian duduk manis di parlemen. Kau kirimkan bedak dan gincu untuk mereka berdandan agar terlihat cantik di hadapan para penguasa. Saya ingin mengikuti langkah itu, tapi saya tak seberani kau Gie.

Dari kau saya belajar menjadi orang yang mempunyai prinsip: sekalipun saya tidak mempunyai harta lebih, jangan harap orang-orang berduit itu bisa membeli harga diri saya. Bukan berarti kalau kita butuh uang, maka kita biarkan orang lain berbuat manasuka kepada diri kita. 

Kalau kata Tan, pemuda memiliki idealisme sebagai kemewahan terakhir mereka. Saya meresapi betul kalimat-kalimat itu. Kemerdekaan dalam bertindak dan berpikir tanpa tekanan atau paksaan orang lain adalah yang utama. Sejenak kita boleh menyombongkan diri karena tidak menjadi boneka dari siapapun. 

Kau dan aku bukanlah orang yang bangga bisa hidup dari uang hasil suap. Karena suap adalah bentuk pelecehan yang kadang tidak disadari.

Kau, yang seorang Cina kere, tak tergoda iming-iming kekuasaan. Kau memilih tetap di jalurmu. Tetap menjadi orang lurus yang tak tergoda bujuk rayu serta kenikmatan hidup instan. Meski itu artinya kau akan dikucilkan oleh orang-orang di sekitarmu. Saya kagum padamu Gie.

Rasa-rasanya sudah cukup saya berkeluh kesah soal kegelisahan yang sama padamu. Kau sudah lama tiada tapi prinsip dan jalan hidupmu terasa kekal. Saya tahu, hanya dengan jalan hidup dan prinsip yang kau tunjukkan itu akan membuat kita dipandang lain dan lebih dihargai oleh khalayak. 

Jalan hidup dan segenap prinsip itu pula yang membuat kau akan selalu diingat sebagai lelaki dalam kemelut sejarah.
Read More

Minggu, 28 November 2021

Tidak Berhenti di 28

If you can imagine what your life will be in the future, it shows your lack of imagination,” – Daniel Gilbert. 

Saya berpikir hidup sudah mapan di usia 28. Saya pernah mengikuti mereka-mereka yang membuat daftar tentang apa saja yang harus dicapai sebelum 20, sebelum 30, sebelum 40, apapun sebelum jantung berhenti berdetak. 

Daftar itu kian panjang karena usia yang terus bertambah. Saya bak atlet lari halang rintang yang mengatasi satu demi satu rintangan. Seringkali rintangan tidak diatasi tapi lewat begitu saja. 

Semua berlalu, bukan? Lahir dan dibesarkan di tengah masyarakat konservatif membikin saya agak percaya bahwa di usia 28 seharusnya semua sudah final. Apa saja itu? Tentu karier dan pasangan hidup. 

Kalau kata banyak orang dua hal itu saja yang paling penting dari hidup yang singkat. Yang lain hanya figuran yang muncul dan tidak mengubah jalan cerita. Seringkali kita setia pada daftar yang kita buat. 

Setia pada pada daftar menunjukkan tekad, kekerasan hati, dan perjuangan. Individu macam itu diidamkan di banyak level kehidupan. Tapi, hidup saya bukan daftar belanjaan. Bahkan, ketika daftar-daftar dibuat, kejutan selalu datang. 

Menjadi 28 dan tidak dapat membayangkan masa depan seperti apa rasanya menakutkan. Mau kerja di bidang apa? Saya mau menulis sesuatu yang menggetarkan hati saya dan banyak orang. Tapi, bekerja pada orang? Hmm…itu sudah! Mau apa sesudah balik dari Ibu Kota? Mau pulang ke rumah dan memeluk ajik dan ibu tentunya. Mau menikah? Entar dulu deh.

Saya punya sahabat perempuan yang selalu dipusingkan dengan masalah pernikahan. Tekanan untuk segera menikah mungkin kerap datang kepadanya. Tapi, Oktober lalu ia baru saja berusia 27. Satu usia yang menurut saya tidak terlampau manula-manula amat sebagai seorang perempuan. Ya, ia masih muda dan enerjik. Kalaupun hilal pernikahan belum menghampirinya, agaknya Tuhan tengah menyimpan seseorang yang sangat berharga untuknya nanti.

Kabur

Masa depan mungkin kabur di mata saya. Tapi masa kini begitu jelas dan fokus bak objek yang dibidik dengan lensa bukaan 1,2. Saya kembali belajar jurnalisme dasar. Saya kembali belajar Bahasa Inggris yang singkat, bernas. Pikiran saya terus bekerja mencari ide-ide cerita untuk ditulis. 

Galau memang kadang berkunjung ketika membayangkan masa depan. Tapi, di tengah kegalauan saya teringat acara bincang-bincang yang pemandunya Daniel Gilbert. Singkat cerita, Daniel ingin bilang jika menjadi manusia adalah upaya yang tidak pernah selesai dan memang tidak bisa ‘diselesaikan’ melalui angka-angka seperti usia pun waktu. 

Pilihan kita di masa lalu tidak bisa dibandingkan dengan pilihan kita di masa depan karena kita adalah ‘diri’ yang berbeda. Mengingat masa lalu selalu lebih mudah ketimbang membayangkan masa depan. 

Saya manggut-manggut menonton video Daniel. Sepuluh tahun lalu saya tidak bisa membayangkan akan tinggal di Jakarta. Sepuluh tahun lalu saya tidak pernah berpikir untuk menjadi wartawan. Sepuluh tahun lalu saya tidak menyangka bahwa sepuluh tahun mendatang saya tetap membuat kesalahan. 

Masa depan tentu buah dari kerja keras masa kini. Tapi masa depan juga karya dari imajinasi yang terlalu liar pun kejutan yang seringkali mendebarkan. Seringai, sebuah grup musik rock oktan tinggi dari Bandung, punya lagu berjudul Berhenti di 15 yang berkisah tentang ekstase menonton konser metal grup musik idola ketika berusia 15 tahun. 

Musik kencang dan energi mengawang membeku di ingatan dan membuatmu berpikir hidup berhenti di 15. Tapi lagu ini juga menawarkan pandangan lain bahwa kau bisa terus punya jiwa muda berapapun usiamu melalui frase menyengat “jika musiknya terlalu keras, mungkin kau terlalu tua.” 

Dengan semangat yang sama, saya percaya bahwa hidup tidak berhenti di 28. Seorang teman yang baik pernah bilang, lebih baik mati berkali-kali dan lahir kembali dalam hidup daripada hanya hidup dan mati sekali. Itu metafora, tentunya. Hidup belum tamat dan untuk sesaat mari rehat membuat daftar. Mari berimajinasi kembali.

Read More

Sabtu, 14 Agustus 2021

Dunia Saya, Panggung Pengamen Jalanan

Sesaat saya serasa berada di konser mini beraliran musik folk ketika seorang pengamen di sebuah sentra kuliner di Rawamangun, Jakarta Timur, menyajikan tembang dari The Trees and The Wild dan Ikhsan Skuter 14 Agustus malam. Pengamen itu menyanyikan lagu-lagu folk kesukaan saya tanpa sedikit pun cela. Nada-nadanya pas, iramanya mengena, suaranya juga lumayan. 

 

Saya pikir ini bakal jadi malam folk pertama saya hanya dengan Rp 2000 perak di Jakarta. Tapi pengamen itu, langsung mematahkan hati saya ketika dari mulutnya kemudian meluncur salah satu lagu hasil aransemen ulang oleh Pasto. Saya memang kurang suka terhadap musisi yang suka me-recycle lagu-lagu karya musisi lama. Bagi saya, mendaur ulang karya musisi lain itu mencerminkan rendahnya kreativitas. 

 

Tapi saya terhibur sekali dengan penampilan si pengamen malam tadi. Dia tahu betul caranya menyenangkan penikmat musik folk yang sekian lama absen menonton konser akibat digebuk pandemi. Dia menciptakan panggung hiburan selayaknya konser folk mini yang terakhir kali saya saksikan tiga tahun silam.

 

Panggung hiburan sedianya punya misi untuk menghibur, dan yah saya pun tertawa kala itu. Tapi ada pertanyaan lebih besar di kepala saya, siapakah pengamen itu? Siapakah puluhan  orang-orang yang berada di sekitar saya di sentra kuliner itu? Apa yang membuat di masa penerapan PPKM darurat mereka lebih tersedot mencari "panggung hiburan" ketimbang berlindung di kubah rumah? 

 

Yang lebih dahsyat, salah seorang pengelola sentra kuliner ini mengaku akhir-akhir ini justru semakin sibuk mengawasi penerapan protokol kesehatan di sentra kuliner agar tak diteror petugas satuan polisi pamong praja (satpol pp). Setelah sempat mati suri di masa-masa awal PPKM darurat bulan lalu, sentra kuliner ini kembali bergeliat. Pedagang-pedagang kembali bekerja, alat masak menyala, dan uang-uang berpindah tangan. 

 

Mereka kembali berdagang tentu untuk mencari nafkah di tengah ketidakpastian situasi pandemi ini. Selain juga demi melayani warga yang selalu haus hiburan karena bosan berdiam diri di rumah. 

 

Ini konsekuensi sebuah kota, mungkin. Jakarta, yang jadi kota terbesar di Indonesia, menjadi tempat berkumpulnya belasan juta manusia. Kota ini jadi harapan terakhir bagi mereka-mereka yang berputus asa tak memperoleh apa-apa di daerah asal. Dan saya juga merupakan salah satunya.  

 

Jakarta sejak dulu sudah sangat padat dengan manusia. Orang-orang terus berdatangan ke sana, utamanya usai Idul Fitri dan arus balik Lebaran. Padahal, menurut saya apa juga gunanya menjejali Jakarta. Toh lebih enak bercocok tanam atau memancing ikan di sungai di desa. 

 

Tapi inilah ciri khas kota besar. Segalanya lengkap. Mau ke mal atau berobat di rumah sakit berfasilitas paling mutakhir, semuanya ada. Sistem transportasi publik di sini juga yang terbaik di Indonesia. 


Jakarta punya segalanya yang bisa dibeli oleh uang. Lalu, apa yang tertinggal dari sebuah kota?  Yang bisa saya ingat dari sebuah kota bukan hanya sebuah nama. Kita bukan berada di dunia Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap (RPUL) yang menandai setiap kota dan negara hanya dengan ibu kota dan monumen pentingnya. 

 

Kota, bagi saya, adalah sebuah pengalaman. Numpang tinggal selama tiga bulan saja tidak akan pernah cukup untuk menangkap nyawa sebuah kota, seperti hanya ibarat menonton panggung hiburan oleh pengamen sekitar 20 menit yang menyisakan senang sesaat.     

 

Dunia panggung  

 

Hampir lima tahun di Jakarta bagi saya memang masih seperti melihat panggung hiburan. Saya memaki budaya mal di sini tapi menyempatkan waktu untuk kadang nongkrong di dalamnya. Saya menontoni mereka yang datang ke mal dengan gaun dan rambut tertata rapi hanya untuk sepiring nasi goreng di sebuah kafe. 

 

Parfum-parfum berbaur dengan kretek terbakar, gincu disapu aroma kafein. Kota ini akan homogen dengan kota-kota lainnya yang berayah pembangunan dan beribu kandung industri. Anak-anaknya ialah gedung bertingkat, kawasan industri, infrastruktur setengah jadi, pelayanan publik setengah hati, dan mal-mal pongah percaya diri. Anak tirinya ialah kali-kali bau, sampah-sampah tak terangkut, lapak-lapak liar, dan mungkin saya, perantau kehilangan jati diri.  

 

Saya tidak pernah suka kota ini, tapi ini panggung saya. Ini tempat saya harus menjadi penampil yang baik, setidaknya bagi orang-orang dengan siapa saya bekerja. Tapi saya bukan pengamen itu yang begitu menjiwai perannya di "panggung" sentra kuliner. Apakah semua perantau selalu gelisah dengan kota perantauannya?  

 

Pukul 21.00 sentra kuliner ini harus tutup karena aturan PPKM darurat. Pengamen itu pun menyudahi pertunjukannya dengan senyuman terakhir di wajah seraya mengucapkan salam dan terima kasih. 

 

Tapi saya masih tertegun di sana, di panggung saya, menunggu pertunjukkan berikutnya.  Sejenak saya iri pada pengamen itu yang panggungnya lebih nyata dari panggung saya. 

 

Panggung saya terlalu asing dan abstrak. Atau mungkin semua orang sebetulnya berada di panggung imajiner mereka, merasa terasing di tengah kota yang tak lagi sama dengan ingatan mereka. Yah, semisal suatu saat ketika berkesempatan kembali bertemu pengamen itu, akan saya tanyakan namanya. Saya tanyakan ke mana dia ingin pulang. Mungkin saja kami sama-sama terasing, di Jakarta.  

Read More

Minggu, 06 Juni 2021

Sesat

Pada suatu perkuliahan di kampus FISIP Universitas Airlangga sekitar tahun 2014, dosen saya, Antun Mardianta berkali-kali menekankan pentingnya mahasiswa mempelajari materi kuliah dari sumber yang kredibel. Saya masih ingat ia mengeluhkan pengetahuan mahasiswanya yang diperoleh dari sumber-sumber tak jelas macam blogspot atau media sosial. 

“Jangan ikuti itu, itu sesat,” demikian katanya dengan ekspresi wajah datar sembari menahan rasa letih di tengah-tengah jam mengajar. 

Saya menilai Pak Antun sebagai dosen yang disiplin dan tegas. Ia tak menyukai mahasiswa yang malas membaca. Dalam satu kesempatan pula, ia menyindir polah mahasiswa yang lebih senang membaca berita-berita sepak bola dibandingkan ragam pengetahuan yang ada di rubrik opini Kompas.

Sikapnya itu didasari keinginan agar kami, mahasiswa ilmu administrasi negara, punya pemahaman yang utuh dan menyeluruh atas materi kuliah. Dari kebiasaan memperoleh pengetahuan dari sumber-sumber yang kredibel, Pak Antun berharap kami mampu menghasilkan karya tulis yang baik.

Kebiasaan Pak Antun itu kembali saya ingat di awal Juni 2021 ini, tujuh tahun setelah momen di ruang perkuliahan itu. Saya kembali ingat karena hari ini berkali-kali keliru dalam mendapatkan informasi terkait berita keberhasilan peselancar Indonesia lolos ke Olimpiade Tokyo 2020.

Berita sudah saya tuntaskan menjelang sore hari. Sumber-sumber atau bahan berita saya dapatkan dari hasil wawancara dengan Sekretaris Jenderal Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Ferry Kono dan Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot S Dewa Broto. 

Tulisan kurang lebih menginformasikan satu peselancar Indonesia, Rio Waida, berhasil menyegel satu tiket ke Olimpiade Tokyo setelah mengikuti kualifikasi di El Salvador. Kebetulan ini adalah kali pertama saya menulis tentang olahraga selancar. Tambahan lagi, saya baru seminggu bergabung kembali ke desk olahraga harian Kompas setelah sebelumnya berpindah-pindah desk.

Dengan kondisi begitu, tentunya butuh adaptasi dalam memahami isu-isu olahraga. Keadaan menjadi semakin rumit manakala yang saya tulis adalah selancar. Cabang olahraga yang saya tak begitu pahami.

Maka dari itu, mulailah saya meriset-riset tentang selancar. Dari sana saya baru tahu bahwa selancar baru kali ini dipertandingkan di Olimpiade. Setelah bahan terkumpul, saya menulis dan mengirimkannya ke editor. 

Malamnya, salah satu editor berkali-kali menghubungi saya. Katanya, berita saya diplot untuk naik di halaman satu Kompas esok hari. Saya diminta menambahkan sejumlah informasi esensial, seperti mengapa selancar baru kali ini masuk Olimpiade dan berapa jumlah kontingen Indonesia di Olimpiade sebelumnya.

Perbaikan dan tambahan pun saya kirim ulang ke editor. Namun, masalah tidak selesai sampai di sana. Beberapa jam kemudian, editor kembali menelepon. Ia mempertanyakan validitas informasi yang saya benamkan di tubuh berita. 

Untuk hal ini saya mengakui sangat teledor. Saya mengutip mentah-mentah sejumlah paragraf dalam siaran pers yang dikirimkan KOI. Karena dikirim oleh lembaga sekelas KOI, saya pun tak bersikap skeptis dan menuliskan semua informasi yang termaktub di siaran pers tanpa mengujinya lagi.

Editor memberitahu saya bahwa lokasi tempat selancar dipertandingkan di Jepang nanti bukan Pantai Shidashita, melainkan di Pantai Tsurigasaki. Mendengar hal sepenting itu bisa keliru, saya malu bukan main. Betapa bodohnya saya begitu saja mempercayai informasi dari KOI tanpa memeriksanya lebih dulu. 

Kekeliruan itu bisa terjadi antara lain karena KOI menyewa public relation atau humas eksternal untuk menyiapkan siaran pers dan melayani wartawan. Saya luput menyadari hal itu. Dari awal semestinya saya sadar humas eksternal yang dipekerjakan KOI sangat mungkin keliru dalam memberikan informasi. Bahkan orang KOI pun juga tak mungkin bisa seratus persen akurat dalam memberikan keterangan.

“Lain kali, pahami dulu apa maksud informasi yang ada di rilis. Setelah itu baru kamu tulis lagi dengan kalimatmu sendiri. Jangan langsung copy-paste, karena siaran pers kualitasnya biasanya enggak memenuhi standar Kompas,” begitu kata editor. 

Kali ini saya diingatkan kembali tentang salah satu disiplin dasar dari jurnalistik: verifikasi, verifikasi, verifikasi. Sebagai wartawan, saya melupakan begitu saja prinsip dasar dalam mencari informasi. Kemalasan dan perasaan ingin segera bebas dari tugas membuat saya lengah.

Informasi lain juga saya kutip secara serampangan. Jumlah kontingen Indonesia di Olimpiade sebelumnya, yaitu Olimpiade Rio 2016 saya keliru sebutkan. Saya awalnya mencantumkan kontingen Indonesia pada 2016 sebanyak 22 orang dari 28 cabang olahraga. Setelah dicek kembali, jumlah atlet Indonesia di Rio kala itu ternyata 28 orang dari 7 cabang olahraga. 

Kesalahan itu karena saya mengambil informasi yang berceceran di media online lain. Informasi-informasi yang ada di media-media online ternyata jarang yang akurat. Saya paham benar kondisi itu, tapi menutup mata agar bisa segera merampungkan tulisan. Serta merta saya merasa sangat bersalah dan bodoh hari ini. 

Semua sudah berlalu dan yang bisa saya lakukan sekarang adalah lebih berhati-hati ke depan. Nasihat Pak Antun bertahun-tahun silam kembali relevan bagi saya yang kini berada di dunia kerja. Bila saat masih mahasiswa dulu saya bisa mendapat permakluman jika salah mengambil informasi dan tersesat, kini dengan posisi sebagai wartawan saya tak bisa mengambil risiko menyesatkan orang yang membaca tulisan saya.


Read More

Rabu, 30 Oktober 2013

Bagaimana hubungan antara organisasi dengan manajemen?

Berdasarkan definisinya, organisasi dapat dipahami sebagai sekelompok individu yang terstruktur dan sistematis yang berada dalam sebuah sistem. Atau dengan pengertian lain, organisasi adalah wadah untuk sekelompok individu berinteraksi dengan wewenang tertentu. Sedangkan menurut Sentot Imam Wahjono dalam bukunya “Perilaku Organisasi” (2010, 5), organisasi adalah wadah yang memungkinkan masyarakat dapat meraih hasil yang sebelumnya  tidak dapat dicapai secara individual. Pendapat dari Sentot Imam Wahjono tersebut memiliki kemiripan dengan pendapat dari James D. Mooney dalam Saydam, G (1993, 57), Mooney mendefinisikan organisasi merupakan setiap bentuk perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama. Jika bisa dipersempit, saya dapat memilih tiga kata yang dapat mewakili organisasi, yakni: Kelompok, Manusia, dan tujuan.
Lalu mengenai manajemen, secara etimologi manajemen merupakan kata serapan dari kata Bahasa Inggris “to manage”. Menurut George R. Terry dalam Saydam, G (1993, 6-7), “Management is the accomplishing of a pre determined objective through the effort of the other people”. Jadi manajemen merupakan proses pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya melalui kegiatan yang dilakukan oleh orang lain. Pendapat sedikit berbeda dikemukakan Henry Fayol, menurut Fayol dalam Saydam (1993; 7) manajemen adalah proses kegiatan Planning, Organizing Commanding (pengkomandoan), Coordinating (pengkoordinasian), dan Controlling yang dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditentukan. Jika bisa dipilih tiga kata, saya memilih kata koordinasi, kontrol dan tujuan sebagai kata yang dapat mewakili definisi manajemen. Jadi ada kegiatan koordinasi dan pengontrolan untuk mencapai tujuan sekumpulan orang di dalam suatu kegiatan manajemen.
Hubungan antara organisasi dan manajemen adalah dari kedua definisi masing-masing, ada upaya atau proses untuk mencapai tujuan. Jadi manajemen adalah proses koordinasi untuk mencapai tujuan organisasi. Di dalam organisasi sudah barang pasti ada kegiatan manajemen para anggota organisasi agar tidak tercerai berai dalam mencapai tujuan organisasi, karena setiap individu dalam organisasi memiliki tujuan dan motif yang berbeda-beda. Organisasi memerlukan fungsi-fungsi yang ada di dalam manajemen seperti pengkomandoan, pengkoordinasian, serta pengontrolan agar bisa mencapai cita-cita organisasi secara efektif dan efisien. Selain itu, seorang pemimpin dalam sebuah organisasi harus memiliki tingkat keterampilan yang berbeda-beda. Pada tingkatan manajer paling atas (Top Manager) membutuhkan kemampuan konseptual daripada yang lainnya. Manajemen paling bawah lebih memerlukan ketrampilan  teknikal, seperti akuntansi, komputer, dan lain-lain. Ketrampilan ketiga, yaitu ketrampilan berkomunikasi dimana ketrampilan ini dibutuhkan dalam semua tingkatan manajemen.


DAFTAR PUSTAKA
Saydam, Bc. TT, Drs. Gouzali, Soal-Jawab Manajemen dan Kepemimpinan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1993.
Wahjono, S.I., Perilaku Organisasi, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010.
Read More

Sabtu, 15 Juni 2013

Mengapa Kita Mengantuk Sesudah Makan Siang?



Jam-jam setelah makan siang, biasanya adalah masa-masa yang paling susah dilewati. Walaupun malam sebelumnya kita sudah cukup tidur, tetap saja kita merasa mengantuk. Ada dua hal yang menyebabkan kita merasa ingin tidur siang

1. L-Tryptophan
L-Tryptophan adalah asam amino yang menjadi bahan dasar terbentuknya niacin, vitamin B. Niacin sendiri akan dipakai untuk membuat serotonin, zat penghantar sinyal di otak yang dapat menimbulkan perasaan nyaman dan menyebabkan kita jatuh tertidur.

Makanan yang kaya karbohidrat seperti nasi, akan merangsang pankreas untuk memproduksi insulin, yang akan menyimpan makanan dalam tubuh. Beberapa asam amino lain yang tadinya terkandung di dalam darah bersama-sama dengan L-Tryptophan, akan masuk ke dalam sel otot. Akibatnya, akan terjadi peningkatan pada konsentrasi relatif L-Tryptophan dalam darah dan serotonin yang terbentuk membuat kita mengantuk.

2. Proses pencernaan makanan
Tubuh akan mengirimkan darah ke sistem pencernaan karena proses pencernaan membutuhkan energi yang cukup besar, apalagi kalau makanan yang perlu dicerna mengandung banyak lemak. Energi yang diperlukan juga akan semakin bertambah besar seiring dengan semakin banyaknya makanan yang kita konsumsi. Pada saat ini, sistem saraf juga menyumbangkan sebagian stok darahnya dan sebagai akibatnya, sistem saraf akan mengalami kekurangan oksigen untuk sementara. Menurunnya efektivitas kerja saraf pada saat sistem pencernaan bekerja inilah yang juga membuat kita ingin tidur siang.
Read More

Jumat, 07 Juni 2013

T-SHIRT MOTIVASI


Kita semua tentu sering mendengar teori yang mengatakan kalau kemajuan suatu bangsa entah itu kemajuan di bidang ekonomi atau bidang yang lainnya salah satunya ditentukan oleh jumlah pengusaha yang ada dalam negara tersebut. Indonesia belum bisa lepas dari predikat negara berkembang karena jumlah pengusahanya yang sangat minim, saat ini saja jumlah pengusaha di Indonesia sangatlah minim yang hanya diperkirakan  hanya sebesar 0,8% dari total keseluruhan penduduk. Sedangkan jumlah pengusaha di negarqa-negara terdepan di dunia hingga saat ini hampir menyentuh angka 2%. 

Negara kita masih sangat jauh tertinggal dari segi jumlah pengusaha, hal ini dapat diakibatkan karena mindset orang Indonesia masih berorientasi sebagai pegawai atau karyawan. Memang sebagai pegawai atau karyawan kia bisa terhindar dari resiko-resiko yang mungkin dapat menghampiri sebagaimana layaknya resiko besar yang selalu menghantui seorang pengusaha atau enterpreneur. Akan tetapi bukankah untuk menjadi seseorang yang sukses secara luar biasa itu membutuhkan pengorbanan, proses, dan tantangan yang tidak mudah? Apabila kita memilih untuk menjadi seorang pegawai, dapat dipastikan kehidupan sehari-hari kita akan terasa sangat membosankan. Mulai dari bangun pagi lalu berangkat ke kantor hingga pulang pada sore harinya. Betapa membosankannya bila setiap ahri dilalui hanya dengan seperti itu.
Untuk menarik atau menumbuhkan jiwa wirausaha di kalangan masyarakat Indonesia dalam rangka mengejar ketertinggalan dari negara maju seperti Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat seorang pemuda jebolan Universitas Airlangga Surabaya mulai merintis usaha T-Shirt yang bertemakan motivasi menjadi seorang pengusaha. Dengan semangat kewirausahaan dan niat untuk menularkannya ke semua orang inilah usaha ini pertama kali dirintis. Maksud tulisan saya kali ini ingin mempromosikan T-Shirt yang dia buat, berikut ini adalah beberapa desain kaos yang bertemakan motivasi tersebut :


Menjual kaos motivasi menjadi seorang pengusaha


Bagaimana? tertarik untuk memulai sebuah usaha? Tunggu apalagi, Indonesia menanti kamu untuk menjadi seorang pengusaha besar seperti Jusuf Kalla, Chairul Tanjung, atau Hary Tanoe. Dan untuk semakin menambah motivasimu menjadi seorang enterpreneur besar tidak ada salahnya mengkoleksi salah satu T-Shirt di atas. Untuk pemesanan bisa langsung menghubungi Dewa Putu Agung Purwitayana di :
Telp : 081212970008 / 081807078678
Pin BB : 22E10FAC
YM: t_preneur
Read More

Selasa, 04 Juni 2013

Administrasi Publik: Konsep dan Definisinya

Definisi Administrasi Publik

Batasan administrasi publik dapat ditinjau dari aspek politik, legal, manajerial, dan okupasi. Dari aspek politik, administrasi publik adalah apa yang dilakukan oleh pemerintah (what government does). Disini, administrasi publik adalah segala aktivitas pemerintah yang mempengaruhi kehidupan keseharian masyarakat, baik pada ruang lingkup nasional maupun daerah. Hal senada juga disampaikan oleh Shafritz dan Russel (2003), bahwa berbicara tentang administrasi publik pasti berkenaan dengan aksi-aksi pemerintah dalam mengelola urusan-urusan publik (public affairs) atau implementasi kebijakan publik.

Sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah bisa secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung misalnya pemerintah menyediakan pelayanan pengiriman surat, pemenuhan kebutuhan listrik masyarakat, dan sebagainya. Secara tidak langsung, penyediaan pelayanan dilakukan oleh pemerintah melalui sektor swasta/bisnis.

Dalam menghadapi persoalan publik, pemerintah harus bisa mengambil keputusan apakah perlu atau tidak perlu melakukan sesuatu. Dan keputusan ini (melakukan atau tidak melakukan sesuatu) adalah kebijakan publik. Setiap keputusan (termasuk keputusan untuk tidak membuat suatu keputusan) dibuat oleh pihak-pihak yang memiliki kontrol politik dan diimplementasikan oleh administrator. Karenanya, kebijakan publik dan administrasi publik adalah dua sisi dari sebuah koin yang tidak dapat dipisahkan. Proses tidak berakhir hanya pada implementasi kebijakan. Saat pemerintah melakukan sesuatu, dipastikan ada upaya untuk membuat kebijakan publik menjadi lebih baik sehingga pembuatan keputusan adalah sebuah proses yang kontinyu.

Untuk memenuhi mandat legislatif, eksekutif, dan yudisial dan untuk menyediakan pelayanan dan regulasi kepada masyarakat umum maka dalam administrasi publik dimanfaatkan teori-teori dan proses-proses manajerial, politik, dan legal (Rosenbloom, 1986).

Dari aspek legal, administrasi publik ada dan dibatasi oleh instrumen hukum. Administrasi publik kemudian dimaknai sebagai hukum dalam tindakan dan secara inheren merupakan pelaksanaan atau eksekusi hukum publik. Administrasi tidak dapat ada tanpa fondasi legal. Di Indonesia, peraturan tertinggi adalah UUD 1945. Karenanya, semua legislasi yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Demikian juga, segala sesuatu yang dilakukan oleh Presiden harus mendapat persetujuan dari legislatif. Dari aspek legal, administrasi adalah regulasi, yakni pemerintah harus menetapkan aturan yang mengatur tindakan masyarakat dan sektor swasta, apa yang dapat atau tidak dapat dilakukan oleh mereka.

Administrasi publik juga dapat dilihat sebagai suatu okupasi, yakni pekerjaan apapun yang dilakukan oleh birokrat; sebagai fisikawan, arsitek, dokter, dan sebagainya. Mereka seringkali melihat diri mereka berdasarkan profesi tertentu. Meskipun mereka tidak melihat dirinya sebagai administrator dalam pandangan menjadi seorang manajer, akan tetapi mereka tetap memberikan pelayanan kepada publik.
Periodisasi Studi Administrasi Publik

Menurut Nicholas Henry

Menurut Nicholas Henry, perkembangan studi administrasi publik dapat dibagi ke dalam beberapa periode. 

Periode I, yakni Dikotomi Politik/Administrasi, telah menandai periode dari 1900-1926 dan administrasi merupakan disiplin ilmu yang baru. Dimulai dengan tulisan Frank J. Goodnow yakni Politics and Administration (1900) dan mencapai puncaknya dalam karya Leonard D. White yakni Introduction to the Study of Public Administration (1926). Dorongan utama dari paradigma ini adalah pembedaan administrasi dari politik. Sejalan dengan upaya di atas, White (1926) menerima dikotomi politik/administrasi dan menggunakan istilah ”manajemen” sebagai cakupan khusus studi administrasi publik. Meskipun pemikiran White lebih berdasarkan pada ide Wilson dan Goodnow, ia juga menekankan aspek seperti rekrutmen pegawai, penilaian, klasifikasi, promosi, disiplin, dan pemberhentian. Menurut White, model bisnis merupakan model yang baik untuk diterapkan pada pemerintah.

Periode II yakni Prinsip-prinsip Administrasi telah menandai periode dari 1927-1937. Fokus utama dari administrasi publik adalah mencari dan mengartikulasikan prinsip-prinsip dasar administrasi yang dapat dipandang sebagai prinsip yang universal. W.F. Willoughby dengan tulisannya yakni “Principles of Public Administration” (1927) merupakan buku teks pertama yang mengartikulasikan prinsip-prinsip administrasi publik, kemudian mencapai puncaknya pada tulisan Luther Gulick dan Lyndall Urwick prinsip-prinsip administrasi publik, human organization merupakan fokus utama paradigma ini, politik yang irrespective, kelembagaan, atau sistem nilai. Periode dari 1937 hingga 1950 merupakan tantangan bagi prinsip-prinsip administrasi. Herbert Simon, melalui bukunya Administrative Behaviour (1947), menawarkan suatu paradigma baru yang berfokus pada konsep pembuatan keputusan, dengan pemisahan aspek-aspek faktual dan normatif dari administrasi publik.

Periode III, yakni Administrasi Publik sebagai Ilmu Politik menandai periode dari 1950 hingga 1970. Beberapa ilmuwan politik memandang proses administrasi sebagai suatu fase dari peradaban modern (Morstein Marx, 1946), sebagai ekologi manusia, tempat, teknologi, dan problem (Gaus, 1947), dan sebagai proses sosial dan pemerintahan, dan fakta-fakta ideologi (Waldo, 1948). Sarjana lain berfokus pada perilaku partisipan organisasi, yang lain berfokus pada pembuatan kebijakan publik. Akibatnya, administrasi publik kehilangan fokus dan identitasnya.

Periode IV, yakni Administrasi Publik sebagai Ilmu Administrasi menandai periode dari 1956 hingga 1970. Dalam paradigma ini, teori organisasi, perilaku organisasi, dan ilmu manajemen menjadi fokus studi administrasi publik. Dalam paradigma ini, ilmu administrasi publik dapat diartikulasikan dengan jelas.

Menurut Frederickson

Paradigma 1: Birokrasi Klasik. Fokus dari paradigma ini adalah struktur (desain) organisasi dan prinsip-prinsip manajemen, sedangkan lokusnya adalah berbagai jenis organisasi baik pemerintah maupun bisnis. Nilai pokok yang ingin diwujudkan adalah efisiensi, efektivitas, ekonomi, dan rasionalitas. Tokoh utama paradigma 1 adalah Weber, Wilson, Taylor, serta Gullick dan Urwick.

Paradigma 2: Birokrasi Neo-Klasik. Nilai yang ingin dicapai dalam paradigma ini sama seperti apa yang ingin dicapai pada Paradigma 1. Hanya saja fokus dan lokus keduanya berbeda. Pada paradigma 2, lokusnya adalah ”keputusan” yang dihasilkan oleh birokrasi pemerintahan, sedangkan fokusnya adalah proses pengambilan keputusan dengan perhatian khususnya pada penerapan ilmu perilaku, ilmu manajemen, analisa sistem, dan penelitian operasi. Tokoh utama paradigma 2 adalah Simon dan Cyert dan March.

Paradigma 3: Kelembagaan. Fokus perhatian paradigma ini adalah pemahaman perilaku birokrasi yang dipandang juga sebagai organisasi yang kompleks. Nilai-nilai seperti efiensi, efektivitas, dan produktivitas organisasi kurang mendapatkan perhatian. Salah satu aspek perilaku yang dikaji dalam paradigma ini adalah perilaku pengambilan keputusan yang bersifat gradual dan inkremental, yang oleh Lindblom dipandang sebagai satu-satunya cara untuk memadukan kemampuan dan keahlian birokrasi dengan preferensi kebijakan dan pejabat politik. Tokoh-tokoh dari paradigma ini adalah Thomson dan Etzioni.

Paradigma 4: hubungan kemanusiaan. Nilai yang mendasari paradigma ini adalah keikutsertaan dalam pengambilan keputusan, minimasi perbedaan status dan hubungan antar pribadi, keterbukaan, aktualisasi diri, dan optimasi tingkat kepuasan. Fokus dari paradigma ini adalah dimensi-dimensi kemanusiaan dan aspek sosial-psikologis dalam tiap jenis organisasi ataupun birokrasi. Diantara para teoritisi yang cukup berpengaruh dalam paradigma ini adalah Likert, Vaniel Kazt dan Robert Kahn.

Paradigma 5: Pilihan Publik. Fokus dalam paradigma ini tidak lepas dari politik, sedangkan fokusnya adalah pilihan-pilihan untuk melayani kepentingan publik akan barang dan jasa yang harus diberikan oleh sejumlah organisasi. Tokoh dari paradigma ini adalah Ostrom, Buchanan, dan Tullock.

Paradigma 6: Administrasi Negara Baru. Fokus dari paradigma ini adalah usaha untuk mengorganisasikan, menggambarkan, mendisain, atau membuat organisasi dapat berjalan ke arah sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Organisasi bersifat desentralistis, demokratis yang responsif dan ada partisipasi, serta memberikan jasa kepada masyarakat secara merata. Karakter dari paradigma ini adalah administrasi yang bebas nilai.

Read More

Selasa, 31 Juli 2012

Inilah 52 jenis mahasiswa, kamu di posisi mana?




Ternyata menurut berbagai penelitian dan pengamatan, mahasiswa itu banyak jenisnya bro ! hahaha... berikut saya paparkan beberapa tipe mahasiswa sesuai keadaan dan sifat mereka di kampus :


1. Mahasiswa perfeksionis = mahasiswa yg anti sama nilai B. sekali dpt B langsung guling2 ditanah dan galau 7  turunan.


2. Mahasiswa studyholic = duduk paling depan, sehari2 ngurung diri dalam kamar buat belajar. motto hidupnya “tiada hari tanpa belajar”

3. Mahasiswa idiopatik = ga jelas kehidupannya di kampus. kadang2 ada, kadang2 ga ada.

4. Mahasiswa poli-organisasi = aktif diberbagai organisasi kampus. motto hidupnya “banyak organisasi, banyak rezeki”

5. Mahasiswa pasrah = dapat E? ah tenang, kan ga cuman aku doang yang ga lulus

6. Mahasiswa pecinta = kerjaan sehari2nya pacaran tak peduli tempat, waktu, dan lokasi.

7. Mahasiswa cadaLOver = saking terobsesinya sama cadaver, ampe kuliahnya hanya saat ada materi anatomi atau pratikum anatomi. (#kedokteranonly)

8. Mahasiswa SKS = tipe paling banyak di tiap kampus. belajar sampai larut hanya ketika besoknya ujian.

10. Mahasiswa paket hemat = datengnya pas praktikum,skill lab ma tutor doang

11. Mahasiswa galau = tiap malam ngetweet galau sambil dengerin lagu2 adele

12. Mahasiswa setengah dewa = Tiap hari kerjaan nya maen game dan OL, tapi selalu berhasil kalo ujian.

13. Mahasiswa gaul stadium 4 = ke kampus pakai kaos oblong dan celana jeans

14. Mahasiswa inhibitor = sukanya nanya2 ke dosen sehingga menghambat mahasiswa yg lain utk pulang

15. Mahasiswa kritis : selalu nanya jadwal kuliah padahal modul dia punya, dan bertanya terus kapan dosen masuk

16. Mahasiswa OVJ = tiada hari tanpa membuat tertawa teman2nya

17. Mahasiswa petani = datang paling pagi buat bookingin tempat duduk temen

18. Mahasiswa insert investigasi = niat dateng ke kampus buat nyari gosip2 ter-hot seangkatan

19. Mahasiswa asianlover = tiap hari ngebahas korea. suka teriak2 ga jelas tiap ngeliat foto/ video artis korea

20. Mahasiswa FreeAll = datang ke kmpus bawa laptop untuk dapat ngenet gratis dan download film gratis pake sinyal wifi kampus

21. Mahasiswa the ripper = pembunuh teman saat tutorial

22. Mahasiswa dreamer = kerjaannya tidur di kelas dari awal sampai habis

23. Mahasiswa KW 9 = beli buku yg bajakan semua.

24. Mahasiswa ekstrovert : suka gosipin kelakuan teman²nya & dosen

25. Mahasiswa pa bondan = dateng ke kampus cuma nongkrong di kantin sambil ngeborong kuliner

26. Mahasiswa introvert = punya bahan untuk belajar buat ujian dari dosen hanya disimpan buat sendiri, ogah bagiin ke teman²

27. Mahasiswa perpustakaan berjalan = kemana2 bawa buku yg tebel2

28. Mahasiswa JournalLover = bawa jurnal kemana2 tapi ga paham isinya apa

29. Mahasiswa model : kekampus pakai height heel lebih 10 cm„,

30. Mahasiswa pencabut dompet = sukanya nagih uang ke teman

31. Mahasiswa Konter = datang ke kampus menawarkan jasa pulsa elektrik

32. Mahasiswa recorder = hafal semua yang dikatakan dosen waktu kuliah

33. Mahasiswa program KB = IP 2 cukup

34. Mahasiswa hemat listrik : suka ngecas bb. Laptop,hape dikampus

35. Mahasiswa SOGO = ke kampus dandannya kaya mau liburan keluar negri

36. Mahasiswa hemat air = suka numpang mandi dan BAB di wc kampus

37. Mahasiswa buku berjalan = mahasiswa yang saking pinternya, ditanyain materi selalu bisa jawab

38. Mahasiswa game center = mahasiswa yang datang ke kampus cuma buat maen game online bareng temen seangkatan

39. Mahasiswa cool = paling suka duduk dibawah AC ketika kuliah

40. Mahasiswa las vegas = ke kampus cuma buat maen poker sama UNO di kantin.

41. Mahasiswa olahragawan = ke kampus selalu pake sepatu futsal

42. Mahasiswa superman = kemana-mana sobotta dan dorland d gendong d tas

43. Mahasiswa RU = ada apa apa dikit langsung updet pm, menuhin recent updates

44. Mahasiswa bermodal cinta = datang ke kampus ga bawa apa2

45. Mahasiswa joki 3 in 1 = suka nebeng temen ke kampus

46. Mahasiswa seks bebas = suka nyucuk flashdisk berisi virus ke berbagai laptop

47. Mahasiswa tutorial oriented = hanya belajar keras saat tutorial aja

48. Mahasiswa kupu2 = kuliah-pulang kuliah-pulang

49. Mahasiswa salesman = gaya berpakaiannya susah dibedakan antara mahasiswa dan salesman

50. Mahasiswa gaib = kehadirannya tidak jelas.

51. Mahasiswa kura - kura = kuliah rapat kuliah rapat

52. Mahasiswa Tilang = Titip absen langsung pulang

Bagaimana readers? mungkin diantara dari sekian banyak tipe mahasiswa yang saya paparkan diatas ada salah satunya yang paling mencerminkan dan paling persis dengan readers. Jika pun ada ya nggak usah minder, jalani saja, karena watak ya watak, mahasiswa tetap mahasiswa, tulang punggung negara di masa depan. Hidup Mahasiswa !!!
Read More

MASYARAKAT BALI HARUS CERDAS DALAM MENENTUKAN PILIHAN PADA PEMILUKADA BALI 2013


Pemilukada Gubernur DKI Jakarta telah usai dan menghasilkan pasangan  Jokowi-Ahok sebagai pemenang pada putaran pertama versi quick count, mengungguli pasangan incumbent Foke-Nara yang notabene sebelum digelarnya pemilukada dijagokan akan keluar sebagai pemenang berdasarkan hasil dari pelbagai lembaga survei. Meskipun hasil resmi pada putaran pertama nanti baru akan diumumkan oleh KPU pada tanggal 20 Juli 2012. Namun hasil itu agaknya tidak akan berubah signifikan mengingat pasangan Jokowi-Ahok mendulang suara sebanyak 42,59% jauh mengungguli pesaing terdekatnya Foke-Nara yang mengumpulkan perolehan suara sebanyak 34,32 %. Meskipun demikian, Pemilukada harus dilakukan dalam dua putaran dimana putaran kedua akan dilaksanakan pada September mendatang.  Ya, DKI Jakarta memang menerapkan aturan yang berbeda dalam pemilihan gubernur mereka, karena pasangan calon gubernur dan wakil gubernur harus memperoleh raihan suara sebanyak 50% + 1 untuk dinyatakan sebagai pemenang pemilu.

Banyak lembaga survei menjagokan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli, namun pasangan Jokowi-Ahok mampu membungkam semua hasil survei tersebut dengan memperoleh raihan suara jauh mengungguli Foke-Nara. Banyak kejutan yang terjadi pada Pemilukada DKI Jakarta 2012 ini, seperti kekalahan pasangan Alex Noerdin dan Nono Sampono atas pasangan calon gubernur asal jalur independen Faisal Basri dan Biem enyamin. Secara kasat mata tentu orang akan mengira perolehan suara pasangan Alex-Nono tentu akan unggul atas Faisal-Biem karena Alex-Nono diusung oleh partai penguasa Orde Baru dan beberapa koalisi, namun kenyataan dilapangan berkata lain, justru pasangan independen Faisal-Biem yang perolehan suaranya diatas pasangan Alex-Nono. Hal ini tentunya sangat mengejutkan. 

Kejutan demi kejutan yang hadir di Pemilukada DKI Jakarta tahun ini saya harapkan terjadi juga pada Pemilukada Bali tahun depan. Masyarakat Jakarta telah menyadarkan seluruh masyarakat tanah air bahwa belum tentu semua prediksi yang beredar jauh sebelum Pemilukada itu benar, mereka juga mengajarkan kita untuk memilih pemimpin yang sederhana, mengayomi, dan pro kepada rakyat, hal itu tercermin dalam kepribadian Jokowi yang begitu dicintai oleh masyarakat Solo sebagai Walikota mereka, Jokowi dianggap mampu mengayomi dan memperjuangkan aspirasi masyarakatnya. Hal ini lah yang diyakini sebagai kunci sukses Jokowi  mampu dalam menaklukan liar dan ketatnya pemilukada DKI Jakarta dimana tipe masyarakatnya adalah majemuk dan terdiri dari berbagai golongan yang ada di Nusantara. Ini bisa dijadikan pelajaran bagi siapapun bakal calon gubernur dan wakil gubernur dalam Pemilukada Bali tahun 2013 nanti, hendaknya mereka mengubur anggapan bahwa janji-janji muluk dan pencitraan semu belaka akan mampu menggerakan masyarakat untuk memilih mereka.

Cara lain harus ditempuh, misalnya dengan sikap yang dekat dengan masyarakat, melayani masyarakat dengan setulus hati, jangan hanya janji belaka namun setelah terpilih nanti malah keluar sikap congkaknya. Masyarakat sekarang sudah jauh lebih pintar menilai dan menentukan pilihan mereka. Tingkat pengetahuan masyarakat akan dunia perpolitikan sudah jauh lebih memadai dengan banyaknya tayangan berita dan situasi perpolitikan di tanah air belakangan, jadi jangan harap bisa mengelabui masyarakat lagi dengan janji-janji muluk. Semoga masyarakat Bali mampu bersikap seperti halnya masyarakat ibukota yang cerdas dalam menentukan pilihan dalam Pemilukada Bali tahun depan.
Read More

Sabtu, 28 Juli 2012

Meneladani Komitmen Negara Lain dalam Mengatasi Kemacetan dan Kepadatan Penduduk

Membaca berita yang ada di VOA pada tanggal 27 Juli 2012 yang berjudul "Raja Thailand Ubah Protokol Untuk Kurangi Macet" bagi saya adalah sebuah kesadaran yang muncul dari dalam diri sang pemimpin. Bagaimana tidak, masyarakat Thailand yang kesal dan menuduh konvoi atau arak-arakan setiap anggota kerajaan lewat merupakan penyebab utama kemacetan. Kritik yang dilayangkan masyarakat Thailand tersebut rupanya sangat mengena dan jadi pertimbangan Raja Thailand untuk mengubah protokol yang ia anggap kuno. Raja Thailand, Bhumibol Adulyadej tidak ingin setiap terjadi kemacetan parah di jalan masyarakat selalu berpikir bahwa ada anggota keluarga kerajaan yang lewat. Ia berusaha meyakinkan masyarakat Thailand bahwa keluarga kerajaan sama sekali tidak berniat untuk mengganggu lalu lintas dan menyebabkan kemacetan.

Berita mengenai Raja Thailand yang mengubah protokol demi kelancaran lalu lintas tertinggal di benak saya. Saya kira Raja Thailand Bhumibol Adulyadej menerapkan budaya malu, yakni malu pada dirinya sendiri karena masyarakat Thailand berprasangka ia dan keluarga kerajaan merupakan biang keladi kemacetan yang sering terjadi apabila ada anggota keluarga kerajaan sedang lewat di jalan. Demi membersihkan namanya dan keluarga kerajaan agar tidak dicap buruk, ia pun membuat kebijakan mengubah protokol.
Suatu sikap yang saya rasa sangat perlu diterapkan di Indonesia, sayangnya pemerintah masih terkesan menutup mata mengenai permasalahan kemacetan di beberapa kota besar di Indonesia. Pemerintah selalu mengklaim masih terus berusaha mengatasi kemacetan namun sampai sekarang belum membuahkan hasil. Yang ada justru kemacetan semakin sering terjadi dan membuat kerugian yang tidak sedikit. Bayangkan berapa banyak waktu yang terbuang sia-sia apabila terjebak dalam kemacetan.

Langkah positif pemerintah negara lain dalam mengatasi kemacetan ada pada pemerintah Inggris yang  meluncurkan program sepeda seperti yang diberitakan VOA dalam "Atasi Kemacetan, London Luncurkan Program Sepeda" disini terlihat komitmen serius pemerintah Inggris dalam mengurangi volume kendaraan bermotor di jalan sekaligus program go green yang ramah lingkungan. Diharapkan dengan program sepeda tersebut masyarakat Inggris dalam bepergian akan lebih memilih menggunakan sepeda daripada kendaraan bermotor yang bisa menimbulkan pencemaran udara. Sungguh suatu langkah yang patut diapresiasi.

Pemerintah Korea Selatan juga memiliki terobosan dalam mengatasi kemacetan, dalam berita VOA yang berjudul "Korsel Resmikan Kota Baru Sebagai Solusi Atasi Kemacetan Lalu Lintas Seoul". Kota baru yang bernama Sejong tersebut terletak 120 Km sebelah selatan Seoul dan berpenduduk sekitar 120 ribu orang. Pemerintah Korea Selatan berencana memindahkan 16 kementerian dan 20 badan lain ke Sejong untuk memeratakan persebaran penduduk agar tiddak bertumpuk di Seoul saja. Sekali lagi menurut saya ini merupakan langkah yang bagus sekali dalam usaha memeratakan pembangunan dan persebaran penduduk sekaligus mengatasi kemacetan. Indonesia bisa mereplikasi terobosan brilian dari pemerintah Korea Selatan yang Meresmikan kota Baru bernama Sejong ini.

Dahulu bangsa Indonesia sempat diributkan dengan berita mengenai rencana pemerintah Indonesia untuk memindahkan Ibukota Negara Indonesia dari Jakarta ke Palangkaraya. Opsi ini berkembang melihat Jakarta sudah sangat tidak layak untuk dijadikan sebagai Ibukota Negara Indonesia karena kemacetan parah yang setiap hari terjadi dan daya tampung kota Jakarta terhadap arus urbanisasi sudah tidak mencukupi lagi. Jakarta tidak ubahnya sebuah kota yang penuh sesak dan macet dengan tingkat kriminalitas tinggi yang ada di dalamnya. 

Namun wacana tetap wacana, pemindahan Ibukota tetap tidak terlaksana hingga kini, sesungguhnya ini merupakan sebuah gagasan yang masuk akal untuk dilaksanakan karena tingkat kejahatan, kepadatan penduduk hingga kemacetan di Jakarta sudah sangat parah. Semoga para pemimpin negeri ini bisa meninggalkan ego masing-masing dan mulai memikirkan terobosan yang bisa mengurangi jumlah kemacetan yang kian hari kian bertambah banyak tidak hanya di kota-kota besar saja namun juga di daerah lain yang merupakan pusat ekonomi dan pemerintahan. Pemerintah Indonesia bisa meneladani keseriusan komitmen pemerintah negara lain seperti yang disebutkan diatas dalam rangka mengatasi kepadatan penduduk dan kemacetan. Belum terlambat untuk berbenah, harapan masih ada, sekarang tergantung kepada pemerintah dan masyarakat Indonesia sendiri untuk memantapkan hati dan pikiran mewujudkan Indonesia seperti yang kita idam-idamkan selama ini.
Read More

Follow This Blog