Senin, 14 Maret 2022
Horizon
Selasa, 18 Januari 2022
Angin
Sabtu, 18 Desember 2021
Monolog dengan Lelaki dalam Kemelut Sejarah
Minggu, 28 November 2021
Tidak Berhenti di 28
Sabtu, 14 Agustus 2021
Dunia Saya, Panggung Pengamen Jalanan
Saya pikir ini bakal jadi malam folk pertama saya hanya dengan Rp 2000 perak di Jakarta. Tapi pengamen itu, langsung mematahkan hati saya ketika dari mulutnya kemudian meluncur salah satu lagu hasil aransemen ulang oleh Pasto. Saya memang kurang suka terhadap musisi yang suka me-recycle lagu-lagu karya musisi lama. Bagi saya, mendaur ulang karya musisi lain itu mencerminkan rendahnya kreativitas.
Tapi saya terhibur sekali dengan penampilan si pengamen malam tadi. Dia tahu betul caranya menyenangkan penikmat musik folk yang sekian lama absen menonton konser akibat digebuk pandemi. Dia menciptakan panggung hiburan selayaknya konser folk mini yang terakhir kali saya saksikan tiga tahun silam.
Panggung hiburan sedianya punya misi untuk menghibur, dan yah saya pun tertawa kala itu. Tapi ada pertanyaan lebih besar di kepala saya, siapakah pengamen itu? Siapakah puluhan orang-orang yang berada di sekitar saya di sentra kuliner itu? Apa yang membuat di masa penerapan PPKM darurat mereka lebih tersedot mencari "panggung hiburan" ketimbang berlindung di kubah rumah?
Yang lebih dahsyat, salah seorang pengelola sentra kuliner ini mengaku akhir-akhir ini justru semakin sibuk mengawasi penerapan protokol kesehatan di sentra kuliner agar tak diteror petugas satuan polisi pamong praja (satpol pp). Setelah sempat mati suri di masa-masa awal PPKM darurat bulan lalu, sentra kuliner ini kembali bergeliat. Pedagang-pedagang kembali bekerja, alat masak menyala, dan uang-uang berpindah tangan.
Mereka kembali berdagang tentu untuk mencari nafkah di tengah ketidakpastian situasi pandemi ini. Selain juga demi melayani warga yang selalu haus hiburan karena bosan berdiam diri di rumah.
Ini konsekuensi sebuah kota, mungkin. Jakarta, yang jadi kota terbesar di Indonesia, menjadi tempat berkumpulnya belasan juta manusia. Kota ini jadi harapan terakhir bagi mereka-mereka yang berputus asa tak memperoleh apa-apa di daerah asal. Dan saya juga merupakan salah satunya.
Jakarta sejak dulu sudah sangat padat dengan manusia. Orang-orang terus berdatangan ke sana, utamanya usai Idul Fitri dan arus balik Lebaran. Padahal, menurut saya apa juga gunanya menjejali Jakarta. Toh lebih enak bercocok tanam atau memancing ikan di sungai di desa.
Tapi inilah ciri khas kota besar. Segalanya lengkap. Mau ke mal atau berobat di rumah sakit berfasilitas paling mutakhir, semuanya ada. Sistem transportasi publik di sini juga yang terbaik di Indonesia.
Jakarta punya segalanya yang bisa dibeli oleh uang. Lalu, apa yang tertinggal dari sebuah kota? Yang bisa saya ingat dari sebuah kota bukan hanya sebuah nama. Kita bukan berada di dunia Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap (RPUL) yang menandai setiap kota dan negara hanya dengan ibu kota dan monumen pentingnya.
Kota, bagi saya, adalah sebuah pengalaman. Numpang tinggal selama tiga bulan saja tidak akan pernah cukup untuk menangkap nyawa sebuah kota, seperti hanya ibarat menonton panggung hiburan oleh pengamen sekitar 20 menit yang menyisakan senang sesaat.
Dunia panggung
Hampir lima tahun di Jakarta bagi saya memang masih seperti melihat panggung hiburan. Saya memaki budaya mal di sini tapi menyempatkan waktu untuk kadang nongkrong di dalamnya. Saya menontoni mereka yang datang ke mal dengan gaun dan rambut tertata rapi hanya untuk sepiring nasi goreng di sebuah kafe.
Parfum-parfum berbaur dengan kretek terbakar, gincu disapu aroma kafein. Kota ini akan homogen dengan kota-kota lainnya yang berayah pembangunan dan beribu kandung industri. Anak-anaknya ialah gedung bertingkat, kawasan industri, infrastruktur setengah jadi, pelayanan publik setengah hati, dan mal-mal pongah percaya diri. Anak tirinya ialah kali-kali bau, sampah-sampah tak terangkut, lapak-lapak liar, dan mungkin saya, perantau kehilangan jati diri.
Saya tidak pernah suka kota ini, tapi ini panggung saya. Ini tempat saya harus menjadi penampil yang baik, setidaknya bagi orang-orang dengan siapa saya bekerja. Tapi saya bukan pengamen itu yang begitu menjiwai perannya di "panggung" sentra kuliner. Apakah semua perantau selalu gelisah dengan kota perantauannya?
Pukul 21.00 sentra kuliner ini harus tutup karena aturan PPKM darurat. Pengamen itu pun menyudahi pertunjukannya dengan senyuman terakhir di wajah seraya mengucapkan salam dan terima kasih.
Tapi saya masih tertegun di sana, di panggung saya, menunggu pertunjukkan berikutnya. Sejenak saya iri pada pengamen itu yang panggungnya lebih nyata dari panggung saya.
Panggung saya terlalu asing dan abstrak. Atau mungkin semua orang sebetulnya berada di panggung imajiner mereka, merasa terasing di tengah kota yang tak lagi sama dengan ingatan mereka. Yah, semisal suatu saat ketika berkesempatan kembali bertemu pengamen itu, akan saya tanyakan namanya. Saya tanyakan ke mana dia ingin pulang. Mungkin saja kami sama-sama terasing, di Jakarta.
Minggu, 06 Juni 2021
Sesat
Rabu, 30 Oktober 2013
Bagaimana hubungan antara organisasi dengan manajemen?
Sabtu, 15 Juni 2013
Mengapa Kita Mengantuk Sesudah Makan Siang?
1. L-Tryptophan
L-Tryptophan adalah asam amino yang menjadi bahan dasar terbentuknya niacin, vitamin B. Niacin sendiri akan dipakai untuk membuat serotonin, zat penghantar sinyal di otak yang dapat menimbulkan perasaan nyaman dan menyebabkan kita jatuh tertidur.
Makanan yang kaya karbohidrat seperti nasi, akan merangsang pankreas untuk memproduksi insulin, yang akan menyimpan makanan dalam tubuh. Beberapa asam amino lain yang tadinya terkandung di dalam darah bersama-sama dengan L-Tryptophan, akan masuk ke dalam sel otot. Akibatnya, akan terjadi peningkatan pada konsentrasi relatif L-Tryptophan dalam darah dan serotonin yang terbentuk membuat kita mengantuk.
2. Proses pencernaan makanan
Tubuh akan mengirimkan darah ke sistem pencernaan karena proses pencernaan membutuhkan energi yang cukup besar, apalagi kalau makanan yang perlu dicerna mengandung banyak lemak. Energi yang diperlukan juga akan semakin bertambah besar seiring dengan semakin banyaknya makanan yang kita konsumsi. Pada saat ini, sistem saraf juga menyumbangkan sebagian stok darahnya dan sebagai akibatnya, sistem saraf akan mengalami kekurangan oksigen untuk sementara. Menurunnya efektivitas kerja saraf pada saat sistem pencernaan bekerja inilah yang juga membuat kita ingin tidur siang.
Jumat, 07 Juni 2013
T-SHIRT MOTIVASI
Bagaimana? tertarik untuk memulai sebuah usaha? Tunggu apalagi, Indonesia menanti kamu untuk menjadi seorang pengusaha besar seperti Jusuf Kalla, Chairul Tanjung, atau Hary Tanoe. Dan untuk semakin menambah motivasimu menjadi seorang enterpreneur besar tidak ada salahnya mengkoleksi salah satu T-Shirt di atas. Untuk pemesanan bisa langsung menghubungi Dewa Putu Agung Purwitayana di :
Selasa, 04 Juni 2013
Administrasi Publik: Konsep dan Definisinya
Selasa, 31 Juli 2012
Inilah 52 jenis mahasiswa, kamu di posisi mana?
Ternyata menurut berbagai penelitian dan pengamatan, mahasiswa itu banyak jenisnya bro ! hahaha... berikut saya paparkan beberapa tipe mahasiswa sesuai keadaan dan sifat mereka di kampus :
MASYARAKAT BALI HARUS CERDAS DALAM MENENTUKAN PILIHAN PADA PEMILUKADA BALI 2013
