Jumat, 16 Desember 2022

Hipokrit

Sepekan belakangan media sosial dan grup-grup Whatsapp ramai oleh berita seorang polisi intel yang menyamar sebagai wartawan. Tidak tanggung-tanggung, penyamarannya langgeng hingga 14 tahun. Selama rentang waktu itu, tidak satu pun wartawan di sekitar yang menyadari bahwa rekan mereka merupakan intel. Penyamaran sempurna.

Saya tak membaca detail informasi penyamaran intel sebagai wartawan itu. Tapi, saat pertama kali tahu informasinya, berbagai pemikiran lewat di kepala saya. Salah satunya, kenapa polisi intel itu tidak menggunakan identitas yang sama sekali baru saat memulai penyamaran? Setahu saya, seorang intel biasanya akan mendapat nama atau identitas lainnya yang benar-benar baru sejak memulai penyamarannya.

Informasi itu saya peroleh dari sejumlah buku-buku yang mengulas tentang dunia telik sandi. Selain itu, saat masih bertugas di Tribun Bali dulu, saya kerap bersinggungan dengan intel-intel polisi. Maklum, saya ditugaskan di desk kriminal. Penugasan itu mau tak mau memaksa saya ramah dan berteman dengan sejumlah intel.

Cara bisa akrab dengan intel? Jangan ditanya. Berat. Mulai dari harus menginap di polsek-polsek sampai harus menjamu (traktir) mereka di kala luang. Semua itu saya lakukan demi secuil informasi eksklusif. Memang perlu pengorbanan biaya, waktu, dan tenaga, tetapi itulah konsekuensi dari pekerjaan ini. 

Dalam hidup ini, kita memang tidak bisa hanya selalu menerima. Ada kalanya, bahkan sering, kita harus memberi untuk mendapatkan sesuatu. Orang Jawa Timur sering bilang, “utah iku utuh”. Maksudnya, apa yang kita keluarkan (utah), akan selalu sama hasilnya (utuh) dengan yang kita terima. Hukum sebab akibat. Inilah konsep karma phala (hasil perbuatan) agama Hindu yang dijejalkan ke kepala saya sejak kecil.

Banyak rekan-rekan wartawan yang tergelitik dengan kabar adanya intel yang menyusup di profesi ini. Tandanya, tautan berita tentang intel polisi itu masif disebarkan di grup-grup wartawan. Mereka heran sekaligus terguncang, “kenapa seorang intel bisa menyusup tanpa disadari? Bahkan dia sempat mengikuti uji kompetensi wartawan dan berstatus wartawan madya.”

Bagi saya, kabar itu tidak terlalu mengejutkan. Saya justru berpikir yang jauh lebih berbahaya adalah orang-orang yang mengaku wartawan tapi sebenarnya bukan. Maksudnya? Gampang. Dari pengalaman saya selama menekuni profesi ini sejak 2016, banyak orang-orang di sekitar yang mengaku wartawan tetapi kesehariannya (hampir) tidak pernah menulis atau melakukan tugas-tugas jurnalistiknya.

Pemandangan ini hampir bisa ditemui baik itu di tingkat lokal maupun pusat. Tapi, gejala yang paling parah terdapat di daerah. Daerah ibarat hutan rimba bagi dunia perjurnalistikan Tanah Air. Di sana, para wartawan saling sikut dan caplok demi mempertahankan periuk nasi mereka. 

Saya kenal dengan sejumlah rekan-rekan wartawan yang bertugas di daerah. Pekerjaan utamanya bukan menulis berita, melainkan mencari iklan. Paling jelek, mereka berkongsi dengan penguasa di daerah untuk menyeleweng. 

Saya berkali-kali menekankan, bahkan tegas, tugas wartawan itu sangat mulia. Mereka mewakili kepentingan publik dan kemaslahatan orang banyak. Di saat pemerintah daerah atau warga melanggar, peran jurnalislah mengingatkan mereka untuk mengoreksi kekeliruannya. 

Kami tidak bisa serta merta hanya mengkritisi pemerintah, karena warga biasa pun kerap melakukan kekeliruan. Ambil contoh, pedagang kaki lima yang mengokupansi trotoar untuk berjualan. Jelas itu tindakan keliru, bahkan salah. 

Di Tangerang Selatan, daerah tempat saya bermukim, anggaran menjadi bancakan pemerintah dan wartawan. Lampu-lampu penerangan jalan mati di malam hari pada sejumlah ruas jalan. Pemerintah daerah membiarkannya. Padahal, itu bisa jadi penyebab kecelakaan. 

Jurnalis yang harusnya berperan mengingatkan pemerintah terkait kelalaian itu justru diam. Kenapa? Beberapa di antaranya sudah tunduk karena diberi amplop (uang) oleh pemerintah. 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemerintah daerah memberikan bantuan uang atau gedung untuk markas kelompok kerja (pokja) wartawan. 

Selain pemerintah, polisi juga biasanya ikut urunan mendanai kebutuhan wartawan. Kebiasaan ini yang menjadi pangkal lepasnya independensi wartawan. Mereka tidak bisa lagi leluasa mengawasi kinerja pemerintah karena dimanjakan fasilitas yang seharusnya bukan hak mereka.

Memang kenapa harus mendirikan pokja? Sebagai sarana berserikat wartawan di daerah dan juga media penyebaran informasi. Omong kosong, dengan adanya pokja pun mereka saling menyembunyikan informasi. 

Berikutnya, kenapa harus mempunyai gedung khusus? Bukankah kewajiban pemerintah menyediakan media center bagi wartawan yang meliput di kantor pemerintahan. Kalau ada, kenapa tak manfaatkan itu saja. Bukankah gedung khusus pokja itu belum termasuk kebutuhan mendesak. Setahu saya, pernah ada gedung pokja yang ditinggali justru bukan oleh wartawan.

Pembentukan pokja juga cuma akal-akalan elite wartawan daerah untuk mengeruk uang. Dengan mendirikan pokja, mereka bisa menekan pemerintah daerah untuk tunduk dan rutin memberikan bantuan. Inilah bentuk licik pemerasan terselubung. Caranya halus dan seolah-olah bermartabat. Tapi isinya tetap saja mereka meletakkan tangan di bawah. Bukankah agama manapun mengajarkan tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah?

Memang sulit mencari kejujuran di tengah belantara wartawan daerah. Saya pernah punya beberapa kawan yang rasanya sevisi untuk persoalan kejujuran dalam bekerja. Tapi nyatanya mereka tetap saja pencari jale (amplop uang) dan iklan, serta kurang berdedikasi pada pekerjaan membuat berita. 

Mereka adalah orang-orang hipokrit yang menurut saya jauh lebih berbahaya daripada intel yang menyamar. Tidak ada yang lebih mengerikan dibanding orang yang mengaku-ngaku wartawan tapi kegiatannya setiap hari hanya menulis berita sekenanya, menulis (mengedit sedikit) rilis dan siaran pers, berbagi berita jadi, bahkan lebih sering berharap kecipratan uang haram setiap hari. Pekerjaan jurnalis tidaklah sebercanda itu.

Dari perbincangan yang saya amati, tidak ada yang merasa betapa berbahayanya orang-orang hipokrit itu. Di mata saya, mereka tidak lebih dari wartawan gadungan yang menuding-nuding polisi intel sebagai wartawan gadungan pula. 




Read More

Senin, 05 September 2022

Mengingat

Mengingat itu butuh energi. Seumur hidup, kita menghabiskan energi untuk mengingat angka-angka yang menandai semua sisi hidup. Misalnya saja tanggal lahir, usia, nomor telepon, nomor kartu tanda penduduk, nomor induk karyawan, dan nomor rekening. 

Kau ingat betapa angka adalah romantika yang membawamu pada ruang dan waktu berbeda. Plat nomor, nomor rumah, angka di sebuah kaus, hingga nomor telepon yang kau hapal di luar kepala tanpa berani kau simpan dan bekukan di ponsel. 

Kau mengingat angka yang satu dan melupakan yang lain. Mengingat dia ketimbang diriNya. Kau mengingat karena dia punya jejak, yang, entah apa. 

Mengingatnya membuat energimu melambung hingga ke langit. Kau pikir kau bisa terbang saking besarnya energimu. Kau menjelma capung dan burung-burung. Ah, dan kau, kau, dan kau mengingat. Mengingat hal-hal yang terlewat oleh mata orang banyak. 

Kau mengingat dengan keterlambatan yang entah disengaja atau tidak. Kau mengingat dengan kejutan yang kuncup di pengujung hari. Kau membuat aku menjelma burung-burung. 

Ah, terima kasih untuk mengingat. Mungkin kita telah saling memberi jejak di sebuah dimensi yang hanya bisa kita raba. Terima kasih untuk mengingat, setidaknya hari-hari di Februari itu.

Karena, esok saatnya melupakan.

Read More

Rabu, 31 Agustus 2022

Cisilia

Sosoknya sudah lama absen, tapi pernah menghiasi hidup saya. Cisilia Agustina Siahaan, biasa dipanggil Cile, terakhir muncul sekitar enam tahun yang lalu. Dia adalah wartawati Tribun Bali dengan beat liputan di bidang pendidikan. 

Perempuan asal Bandung, Jawa Barat, itu adalah penggemar segala sesuatu yang berkaitan dengan budaya dan kesenian Bali. Selain itu, dia juga tertarik pada dunia kesusastraan. Ketertarikan dengan segala hal yang berbau Bali juga yang mengantarkannya berlabuh ke Pulau Seribu Pura, jauh meninggalkan keluarganya di Bandung. Seingat saya, ia alumni jurusan teknik arsitektur. Kenapa arsitek justru berkubang di dunia tulis menulis. 

Selama hampir tiga tahun berkarya di Tribun Bali, tulisan-tulisan Cile tajam, menarik, dan kritis. Satu hal yang saya kenang dan kagumi dari etos kerjanya, dia bekerja seperti elang, bukan gerombolan semut. 

Cile bukan tipe orang yang asal ngikut wartawan lain. Sebagaimana orang kerap mengkotak-kotakkan kepribadian orang menjadi dua, ekstrovert dan interovert, Cile termasuk wartawan introvert dalam metode bekerja. 

Sebagai wartawan introvert, bukan berarti ia anti sosial atau tak memiliki banyak teman. Pembawaannya yang ramah dan murah senyum membuatnya disenangi rekan-rekan wartawan di Denpasar. Namun, sikap itu berubah kala sedang berburu informasi atau bahan berita. Laksana elang, Cile terbang sendirian mencari mangsa. Matanya tajam dalam mencari isu-isu. Di saat wartawan lain datang meliput dengan bergerombol atau saling berbagi informasi, Cile melakukannya seorang diri. 

Saya pernah menanyakan cara kerjanya karena menganggap hal itu agak kurang lazim dilakukan wartawan kebanyakan. Maklum, saat itu, pertengahan 2016, saya baru enam bulan bergabung di Tribun Bali. Saya pun, sebagaimana wartawan lain, kerap bergerombol dalam mencari informasi. 

Semua itu saya lakukan karena takut kebobolan. Istilah kebobolan mengacu pada kondisi di mana seorang wartawan tidak mendapatkan berita yang didapatkan rekan-rekannya yang lain. Kalau sudah begitu, atasan wartawan pasti akan menegur. “Kok berita ini kamu enggak dapet?” 

Dengan metode kerja yang sering mencari informasi seorang diri, bagi saya Cile amat rentan kebobolan. Ketika saya utarakan kekhawatiran itu, Cile dengan entengnya menjawab, “Coba kamu hitung siapa yang lebih sering ngebobol.” Saya tertegun. 

Kalau dipikir-pikir, benar yang dikatakan Cile. Dia selalu punya berita eksklusif yang tidak dimiliki wartawan lain, termasuk senior-senior di liputan pendidikan. Ini lebih disebabkan karena Cile rajin turun ke lapangan, termasuk berkeliling ke sekolah-sekolah menemui langsung pokok permasalahan dan isu-isu pendidikan yang tengah berkembang. 

Sedangkan wartawan lain lebih cenderung memilih menunggu isu datang dengan duduk-duduk di media center atau warung kopi. Wartawan lain juga sangat senang menulis berita-berita siaran pers atau rilis yang dikirimkan pemerintah. Alhasil, berita di semua media hampir sama karena bersumber dari satu siaran pers. Ini menjemukan bagi mereka yang butuh asupan informasi bergizi juga bervariasi. 

Berita-berita yang bersumber dari siaran pers tentu hanya berat sebelah, dalam artian lebih kental nuansa kepentingan pemerintah dalam mempropagandakan agenda mereka. Saya melihat wartawan sering terjebak di sana. Bagaimana tidak, memperoleh siaran pers sangat memanjakan. Tanpa perlu bersusah-susah, berpeluh-peluh, wartawan mendapat berita yang siap tayang.

Tulisan-tulisan Cile menjadi antitesis dari kondisi berita seragam itu. Di saat wartawan lain bergerombol dan mengerjakan berita dari siaran pers, dia bergerak seorang diri. Oleh sebab itu, liputannya sangat kaya dan beragam. 

Secara pribadi, saya tertarik dengan metode kerja Cile. Perlahan-lahan saya mulai memisahkan diri dari gerombolan. Kebetulan saya bertugas di desk kriminal sehingga pilihan langkah itu mengharuskan saya semakin rajin turun ke lapangan saat ada peristiwa sekecil apapun atau melipir ke polsek-polsek dan polres. 

Saya bahkan pernah menginap di kantor polisi hanya untuk lebih dekat dengan sumber-sumber di sana. Seminggu sekali, di saat esoknya mendapat jatah libur, saya minta izin tidur di kantor polisi. Di sana saya bertemu dengan berbagai macam polisi mulai dari yang pangkatnya paling rendah hingga tingkatan kepala satuan (kasat). 

Dari kebiasaan itu narasumber saya semakin banyak. Beberapa polisi dari satuan intelkam adalah yang paling berharga dijadikan sumber informasi. Saya dan narasumber dari intel itu sering bertukar informasi, walau harus diakui dia lebih banyak berkontribusi dibandingkan saya. 

Berita yang saya tulis pun pada akhirnya berbeda dengan rekan-rekan wartawan yang juga bertugas di desk kriminal. Mereka sering bertanya-tanya dari mana saya mendapatkan informasi. Beberapa di antara kawan itu juga jadi lebih sering bertanya isu-isu kriminal yang bisa diliput. 

Tanpa disadari, saya sudah mulai mengikuti alur kerja Cile. Rasanya memang lebih bangga dengan karya-karya yang saya buat, di mana itu mampu tampil berbeda dengan wartawan kebanyakan. Beberapa kali berita yang saya buat menjadi viral di Denpasar, saking tidak ada wartawan lain yang menulisnya. Sumber berita yang dibuat oleh akun-akun medsos dengan ratusan ribu pengikut itu hanya berita saya. 

Kebiasaan untuk bekerja sendirian itu terbawa hingga saya bekerja di Jakarta. Hal itu sejalan dengan arahan kantor saya di Kompas yang sering menekankan kepada wartawannya untuk membiasakan membuat dan mengolah isu sendiri. 

Hal itu sangat penting, terutama ketika hari-hari sepi berita mendera. Otak akan terbiasa berpikir sehingga sangat mudah menemukan ide-ide atau isu untuk ditulis saat sepi peristiwa. Semua ini karena mengikuti Cile. 

Kami sempat bersama-sama mengikuti seleksi di Kompas. Namun, sayang dia tidak lulus. Hari-hari menjalani seleksi di Kompas itu ternyata adalah pertemuan terakhir saya dengan Cile. Meski dia telah menghilang, semangatnya akan tetap tersimpan di hati saya. Sampai akhirnya saya memutuskan berhenti dan tak menjadi wartawan lagi.
Read More

Kamis, 25 Agustus 2022

Februari

Hujan dan Februari mungkin saudara kembar. Mengapa Februari selalu basah? Kerap saya bertanya, seakan-akan semesta ingin ikut mencurahkan semua airnya di tahun yang baru saja paripurna. Seakan-akan semua dibasuh lagi, semua luka dan kenangan. Seperti kanal-kanal yang meluap memuntahkan isi perutnya. 

Apa Februari sebegitunya? Atau, hati dan kepala ini melunak setelah sebulan yang baru terlampaui? Saya menengok ke belakang, jauh sekali ke belakang, ke sebuah rasa yang kadang masih begitu nyata. Saya menengok sampai saya pikir saya tak ingin menatap ke depan lagi. 

Tapi, ini Februari. Semua akhir adalah semua awal seperti semua awal adalah semua akhir. Saya menengok ke belakang, tak ada apapun di sana. Semua tiada. Saya menengok ke depan, tak ada apapun di sana. Tiada. Saya di sini, dengan jemari yang terus bergerak, kaki terlipat, lagu yang berdengung dari ponsel, dan hujan yang masih terus menari. Ini saya, tanpa ke mana-mana, ada. 

Untuk semua kepedihan dan keriaan itu saya di sini. Pun sebuah kesepian yang mungkin bersaudara kembar bagi hidup yang hanya sekali. 

Di luar sana, hujan masih menari.

Read More

Follow This Blog