Sabtu, 18 Desember 2021

Monolog dengan Lelaki dalam Kemelut Sejarah

Tahun ini kami memperingati kepergianmu tepat 52 tahun yang lalu. Aktivis, pemikir, dan pengajar par excellence Soe Hok Gie meninggal pada 16 Desember 1969 di Gunung Semeru, Jawa Timur. Gie berpulang ketika hendak merayakan hari ulang tahunnya yang ke-27 di puncak Semeru. 

Tulisan ini baru saya buat tiga hari setelah hari peringatan itu. Kesibukan, termasuk tenggat pekerjaan, menghalangi saya menyelesaikan tulisan ini. Sembari mengenang tindak tandukmu. Boleh kan saya bercerita kegelisahan-kegelisahan yang mungkin sama dengan yang kau alami dulu.

Kau, bagi saya, adalah lelaki dalam kemelut sejarah. Kau turut berperan menggulingkan rezim Soekarno. Presiden yang dalam banyak kesempatan kau sebut tega berpesta bersama istri-istrinya yang cantik di dalam istana, sementara rakyatnya di luar sana kelaparan.

Kegelisahanmu melihat polah rezim Soekarno pula yang mengantarkanmu “turun gunung” dari belantara kampus dan memilih terlibat dalam politik. Politik, adalah sesuatu yang sangat kau benci. Dalam buku Catatan Seorang Demonstran rekan-rekanmu menggambarkan betapa jijiknya kau melihat politik Indonesia. 

Rekan-rekanmu, Gie, menyampaikan bahwa kau melihat politik sebagai lumpur yang kotor. Politik menjadi jalan terakhimu berjuang manakala semua jalan atau pintu lainnya telah tertutup. Senior saya di Kompas sekaligus kawanmu, almarhum Rudy Badil, bilang, “Orang lurus macam Gie tidak cocok terjun ke politik.”

Membaca buku-bukumu, menonton film tentangmu membuat saya ingin meneladani kepribadianmu. Benar kau persis seperti yang digambarkan Rudy. Watakmu keras dan teguh dalam prinsip. Saya pun ingin menjadi orang lurus sepertimu. Terutama di dalam profesi yang saya geluti sekarang. 

Saya, jurnalis 28 tahun, serasa ikut merasakan kemuakan-kemuakan yang kau alami dulu. Kau merasa muak bercampur emosi melihat rekan-rekanmu sesama aktivis 65 terbujuk rayuan rezim Orde Baru untuk duduk di parlemen. 

Mereka teman-teman seperjuanganmu saat mengontrol kekuasaan Orde Lama, memilih berkhianat. Mereka tak lagi kritis apalagi berani mengawasi jalannya kekuasan agar tak ugal-ugalan. 

Situasi itu yang saya rasakan sekarang, Gie. Saya juga merasa ikut ditinggalkan teman-teman seperjuangan sesama jurnalis dalam mengontrol jalannya kekuasaan. Pers, adalah pilar demokrasi keempat. Mereka ada salah satunya untuk mengawasi kekuasaan. 

Saat pemilihan presiden 2019 usai, seluruh komponen oposisi memutuskan masuk ke pemerintahan. Mayoritas parlemen juga mendukung pemerintahan kedua Presiden Joko Widodo. Akibatnya, tiada lagi pihak yang bisa diandalkan untuk mengkritisi pemerintahan, kecuali pers.

Kondisi itu secuil contoh bagaimana besar dan mulianya peran pers dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di saat pihak yang seharusnya menjadi oposisi memilih hidup dalam ketiak kekuasaan, pers menjadi pelita terakhir yang diharapkan bisa menjalankan peran sebagai oposisi. 

Tapi kenyataannya, Gie, saya melihat para insan pers terutama di daerah tidak lagi seutuhnya sadar akan peran mulia tersebut. Mereka telah berubah menjadi pemburu rente yang menggantungkan hidupnya dari belas kasihan pemerintah. 

Kegiatan jurnalistik tidak menjadi aktivitas utama. Mereka lebih sering menemui para pejabat di daerah bukan untuk menulis berita, tetapi untuk lobi-lobi agar diberi proyek. Semua untuk keuntungan diri mereka sendiri, bukan pada tugas dan kewajiban memberikan informasi yang pantas kepada warga. Pers di daerah, sejauh yang saya lihat, tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai anjing penjaga.

Kau tahu betapa hancurnya hati saya melihat rekan-rekan jurnalis di sekitar saya berubah menjadi corong kekuasaan. Mereka tak lagi skeptis apalagi kritis. Baru-baru ini, sebuah lembaga survei politik asal-asalan mengeluarkan rilis tentang seorang gubernur yang mereka sebut layak bersaing di tingkat nasional.

Saya tertawa membaca rilis mereka, Gie. Gubernur yang mereka coba orbitkan itu sama sekali tak layak di mata saya. Ia biarkan ketimpangan di daerahnya melebar, jalan-jalan rusak, korupsi di pemerintahannya, serta ketidakmampuannya menerima kritik adalah kelemahan terbesar dia. 

Dengan iming-iming uang ratusan ribu rupiah, rekan-rekan saya tanpa pikir panjang memilih menerbitkan berita tentang keunggulan gubernur yang telah lebih dulu dipoles oleh lembaga survei itu. Betapa godaan uang ratusan ribu telah melunturkan idealisme mereka. 

Tidakkah mereka menyadari bahwa menerima sogokan dalam bentuk halus itu juga merupakan sebentuk kecil tindakan korupsi? Bayangkan, opini pubik telah tergiring oleh berbagai pemberitaan rekan-rekan saya. Gubernur yang tak layak itu telah dipoles, kemudian mampu naik ke tampuk kekuasaan. Artinya rekan-rekan saya telah menyalahi nilai-nilai dalam jurnalisme.

Sejauh yang diajarkan kepada saya dulu, jurnalisme juga mengemban fungsi untuk melayani. Ia melayani masyarakat dengan menyajikan informasi yang layak, utuh, dan sebenar-benarnya. Dengan begitu, masyarakat bisa membuat pilihan yang pada akhirnya akan membantu menaikkan taraf hidup mereka kelak.

Menerbitkan informasi terkait gubernur yang telah dipoles sedemikian rupa tanpa mengkritisinya, sama saja dengan menyodorkan informasi keliru kepada masyarakat. Mereka pun akhirnya akan mengambil keputusan yang salah. 

Di titik itu saya teringat padamu Gie. Saya merasa turut mengalami kau yang dulu dikhianati rekan-rekanmu sesama aktivis yang kemudian duduk manis di parlemen. Kau kirimkan bedak dan gincu untuk mereka berdandan agar terlihat cantik di hadapan para penguasa. Saya ingin mengikuti langkah itu, tapi saya tak seberani kau Gie.

Dari kau saya belajar menjadi orang yang mempunyai prinsip: sekalipun saya tidak mempunyai harta lebih, jangan harap orang-orang berduit itu bisa membeli harga diri saya. Bukan berarti kalau kita butuh uang, maka kita biarkan orang lain berbuat manasuka kepada diri kita. 

Kalau kata Tan, pemuda memiliki idealisme sebagai kemewahan terakhir mereka. Saya meresapi betul kalimat-kalimat itu. Kemerdekaan dalam bertindak dan berpikir tanpa tekanan atau paksaan orang lain adalah yang utama. Sejenak kita boleh menyombongkan diri karena tidak menjadi boneka dari siapapun. 

Kau dan aku bukanlah orang yang bangga bisa hidup dari uang hasil suap. Karena suap adalah bentuk pelecehan yang kadang tidak disadari.

Kau, yang seorang Cina kere, tak tergoda iming-iming kekuasaan. Kau memilih tetap di jalurmu. Tetap menjadi orang lurus yang tak tergoda bujuk rayu serta kenikmatan hidup instan. Meski itu artinya kau akan dikucilkan oleh orang-orang di sekitarmu. Saya kagum padamu Gie.

Rasa-rasanya sudah cukup saya berkeluh kesah soal kegelisahan yang sama padamu. Kau sudah lama tiada tapi prinsip dan jalan hidupmu terasa kekal. Saya tahu, hanya dengan jalan hidup dan prinsip yang kau tunjukkan itu akan membuat kita dipandang lain dan lebih dihargai oleh khalayak. 

Jalan hidup dan segenap prinsip itu pula yang membuat kau akan selalu diingat sebagai lelaki dalam kemelut sejarah.
Read More

Minggu, 28 November 2021

Tidak Berhenti di 28

If you can imagine what your life will be in the future, it shows your lack of imagination,” – Daniel Gilbert. 

Saya berpikir hidup sudah mapan di usia 28. Saya pernah mengikuti mereka-mereka yang membuat daftar tentang apa saja yang harus dicapai sebelum 20, sebelum 30, sebelum 40, apapun sebelum jantung berhenti berdetak. 

Daftar itu kian panjang karena usia yang terus bertambah. Saya bak atlet lari halang rintang yang mengatasi satu demi satu rintangan. Seringkali rintangan tidak diatasi tapi lewat begitu saja. 

Semua berlalu, bukan? Lahir dan dibesarkan di tengah masyarakat konservatif membikin saya agak percaya bahwa di usia 28 seharusnya semua sudah final. Apa saja itu? Tentu karier dan pasangan hidup. 

Kalau kata banyak orang dua hal itu saja yang paling penting dari hidup yang singkat. Yang lain hanya figuran yang muncul dan tidak mengubah jalan cerita. Seringkali kita setia pada daftar yang kita buat. 

Setia pada pada daftar menunjukkan tekad, kekerasan hati, dan perjuangan. Individu macam itu diidamkan di banyak level kehidupan. Tapi, hidup saya bukan daftar belanjaan. Bahkan, ketika daftar-daftar dibuat, kejutan selalu datang. 

Menjadi 28 dan tidak dapat membayangkan masa depan seperti apa rasanya menakutkan. Mau kerja di bidang apa? Saya mau menulis sesuatu yang menggetarkan hati saya dan banyak orang. Tapi, bekerja pada orang? Hmm…itu sudah! Mau apa sesudah balik dari Ibu Kota? Mau pulang ke rumah dan memeluk ajik dan ibu tentunya. Mau menikah? Entar dulu deh.

Saya punya sahabat perempuan yang selalu dipusingkan dengan masalah pernikahan. Tekanan untuk segera menikah mungkin kerap datang kepadanya. Tapi, Oktober lalu ia baru saja berusia 27. Satu usia yang menurut saya tidak terlampau manula-manula amat sebagai seorang perempuan. Ya, ia masih muda dan enerjik. Kalaupun hilal pernikahan belum menghampirinya, agaknya Tuhan tengah menyimpan seseorang yang sangat berharga untuknya nanti.

Kabur

Masa depan mungkin kabur di mata saya. Tapi masa kini begitu jelas dan fokus bak objek yang dibidik dengan lensa bukaan 1,2. Saya kembali belajar jurnalisme dasar. Saya kembali belajar Bahasa Inggris yang singkat, bernas. Pikiran saya terus bekerja mencari ide-ide cerita untuk ditulis. 

Galau memang kadang berkunjung ketika membayangkan masa depan. Tapi, di tengah kegalauan saya teringat acara bincang-bincang yang pemandunya Daniel Gilbert. Singkat cerita, Daniel ingin bilang jika menjadi manusia adalah upaya yang tidak pernah selesai dan memang tidak bisa ‘diselesaikan’ melalui angka-angka seperti usia pun waktu. 

Pilihan kita di masa lalu tidak bisa dibandingkan dengan pilihan kita di masa depan karena kita adalah ‘diri’ yang berbeda. Mengingat masa lalu selalu lebih mudah ketimbang membayangkan masa depan. 

Saya manggut-manggut menonton video Daniel. Sepuluh tahun lalu saya tidak bisa membayangkan akan tinggal di Jakarta. Sepuluh tahun lalu saya tidak pernah berpikir untuk menjadi wartawan. Sepuluh tahun lalu saya tidak menyangka bahwa sepuluh tahun mendatang saya tetap membuat kesalahan. 

Masa depan tentu buah dari kerja keras masa kini. Tapi masa depan juga karya dari imajinasi yang terlalu liar pun kejutan yang seringkali mendebarkan. Seringai, sebuah grup musik rock oktan tinggi dari Bandung, punya lagu berjudul Berhenti di 15 yang berkisah tentang ekstase menonton konser metal grup musik idola ketika berusia 15 tahun. 

Musik kencang dan energi mengawang membeku di ingatan dan membuatmu berpikir hidup berhenti di 15. Tapi lagu ini juga menawarkan pandangan lain bahwa kau bisa terus punya jiwa muda berapapun usiamu melalui frase menyengat “jika musiknya terlalu keras, mungkin kau terlalu tua.” 

Dengan semangat yang sama, saya percaya bahwa hidup tidak berhenti di 28. Seorang teman yang baik pernah bilang, lebih baik mati berkali-kali dan lahir kembali dalam hidup daripada hanya hidup dan mati sekali. Itu metafora, tentunya. Hidup belum tamat dan untuk sesaat mari rehat membuat daftar. Mari berimajinasi kembali.

Read More

Senin, 22 November 2021

Lara, Nestapa, Sandiwara

Kau menemukanku, lotus berdaun dua belas

Kau menemukanku, tengkorak gelisah

Diredam empat dinding tembok putih

Dan jarum menatah inci demi inci kulit ari

Di ujung menit keseratuslimapuluh

Sakit adalah sebuah kesempurnaan
Read More

Selasa, 02 November 2021

Hujan

God is in the rain,” kata V, yang diperankan Natalie Portman nan cantik di film V for Vendetta. Dan Tuhan, belakangan ini, sedang turun dengan asiknya sepanjang hari di Tangerang Selatan. 

Bulir hujan merangsek ke celana jins, merembesi sepatu, membuat buram penglihatan. Begitu kosmopolit. 

Bulir hujan kadang begitu melankolis, saat menetes di kaca jendela, dan matamu nyalang menatap jalanan. 

Bulir hujan tampak begitu naif, menampung kaki telanjang bocah-bocah yang bermain kegirangan. 

Bulir hujan menebar ketakutan bagi petani yang menunggu panen empat bulanan. Tapi bagi saya, hujan selalu memunculkan tanya: menunggu atau menembus? 

Menunggu bisa jadi menyenangkan. Tidak basah kuyup sembari mengamati serpih-serpih Tuhan menghujami bumi. 

Menembus hujan jelas baju akan basah, walaupun sudah pakai jas hujan yang menjuntai hingga ke tanah. Hujan  selalu mampu melihat celah-celah yang merekah. 

Saya adalah orang yang cenderung memilih menembus hujan. Pun di sore yang sial tadi, hujan datang tanpa kompromi. Sedari pagi hingga senja, tak putus-putus dia menggoda. Dengan gembira saya menembusnya, mencumbu bulir-bulirnya, berdansa di dalamnya. 

Ada ekstase antara kesedihan dan kelegaan di dalamnya, seperti berhasil mengumpulkan semua bagian diri menjadi satu. Seperti mengetahui bahwa hujan akan membasahi, mengundang flu, membuat licin jalan, membuat got mampat dan cucian tak kering, tetapi semua tak mengapa. 

Semua yang akan tiba tidaklah mengapa. Dia tidak menyakiti. Ya, Tuhan mungkin ada di dalam hujan.
Read More

Minggu, 31 Oktober 2021

Tentang Menjadi 28 dan Baik-baik Saja

Get better, not bitter. Begitu pesan yang selalu disampaikan guru-guru yang mampir di kehidupan saya. Lalu, bagaimana cara menjadi lebih baik, ketika saya adalah laki-laki berusia 28 dengan pikiran yang terlalu liar di kepala? 

Saya resmi berusia 28 tahun empat bulan lalu. Tiga tahun lalu, saya membayangkan laki-laki berusia 28 sebagaimana teman semasa SMA. Mereka bekerja delapan jam sehari dengan seragam kantor dan meninggalkan istrinya tiap pagi. Tapi, kami punya mimpi yang berbeda. Di usia 28, saya masih berada di Jakarta, bergabung dengan media cetak terbesar di Indonesia setelah bergelut 1,5 tahun di koran lokal. Sementara teman semasa SMA saya memilih bertahan tinggal dan bekerja di Bali. 

Kesempatan mendapat pengalaman lebih pun tiba. Saya dinyatakan lulus untuk masuk Kompas setelah melalui serangkaian seleksi ketat di Surabaya. Lalu seorang teman jurnalis di Bali bilang: “Nggak semua orang seberuntung kamu bisa keterima di sana”. Satu pesan lagi : “Enaknya gabung di Kompas. Jam kerjanya kayak PNS, gajinya besar.” 

Saya laki-laki 28 tahun dengan pengalaman kerja enam tahun. Saya pikir saya jatuh cinta pada jurnalisme, tapi toh saya sesekali menggerutu pada dunia yang lekat dengan tenggat ini. 

Tawaran menggiurkan sempat datang dari lembaga nonprofit dan godaan bekerja di kampung halaman. Belum lagi saya pernah berjanji dengan seorang perempuan spesial dari Bali utara, bahwa saya berniat melanjutkan sekolah agar bisa berjalan bersisian dengannya. 

Semua punya dinamikanya tersendiri tetapi saya merasa tak mampu bergerak seirama dengan dinamika itu. Jadi, kalau dipikir-pikir mengeluh dan menggerutu, juga rencana melanjutkan sekolah, adalah eskapisme belaka. Ada benarnya juga. Walaupun nanti semisal bisa melanjutkan sekolah, saya yakin selalu ingin kembali bekerja saja. Dasar manusia. 

Menjadi 28 tahun dan sendirian di daerah orang adalah perjuangan yang lain. Saya independen dan individualis. Setidaknya saya selalu berpikir demikian. 

Saya ingat pada bulan-bulan awal saya tiba di Jakarta, saya tiba-tiba merasa begitu sendirian. Saya menelepon rumah dan menangis sesenggukkan. Ajik dan ibu saya tertawa-tawa. Saya tidak menangis ketika ditempatkan di Tangerang raya atau ketika saya harus liputan ketika Galungan dan Kuningan. 

Selama hampir 5 tahun jauh dari rumah, saya relatif jarang menelepon keluarga sembari menangis. Kali ini saya menangis, lebih disebabkan teman-teman dekat perlahan menghilang. Mereka jadi punya dunianya masing-masing dan saya hanya punya satu orang sahabat dekat saat ini. 

Saya menangis, dalam, panjang, dan bersuara atas keadaan ini. Terkadang hal-hal sepele bisa mengganggumu. 

Kadang kau bingung kenapa tidak ada seorangpun yang bisa kau ajak bicara soal musik yang kau suka, buku yang kau baca, film yang membuatmu tak mampu berkata-kata berhari-hari. 

Kadang kau bingung mengapa orang selalu suka hidup dalam gerombolan sementara petualangan paling mendebarkan datang ketika kau sendirian. 

Kadang kau bingung mengapa orang lebih suka menatap layar telepon genggam ketimbang mata lawan bicara. Kadang kau bingung kenapa manusia masih menonton televisi. 

Kadang kau bingung mengapa imajinasi tanpa batas selalu dimaknai sebagai absurditas. Tapi, lebih sering kau menyadari bahwa menemukan seorang teman dengan siapa kau berenang-renang di frekuensi yang sama adalah sulit. 

Menjadi 28 tahun di perantauan adalah pelajaran paling berharga. Dengan semua kebebasan yang saya punya dan ketidakpedulian pada apa kata orang, saya bisa melakukan apa saja. 

Saya membuat kesalahan. Saya memperbaikinya. Saya menemukan teman untuk bepergian atau membicarakan musik dan film. Saya menemukan teman untuk kisah-kisah lainnya. Saya menyadari tidak ada satu sosok yang bisa memenuhi semua keinginan saya. Sama halnya, saya tidak mampu menjadi satu sosok yang lengkap untuk memenuhi semua keinginan orang lain. 

Menjadi 28 tahun di daerah orang adalah pelajaran bahwa semua kehidupan di belakang saya mampu membuat saya menjadi pahit. Tapi, saya tidak memilih menjadi pahit. Dan lagi, imajinasi saya masih tanpa batas, pikiran saya masih liar, saya masih impulsif, saya masih iri pada burung-burung senja, saya masih suka nyinyir. Tapi, yah, saya baik-baik saja.
Read More

Sabtu, 14 Agustus 2021

Dunia Saya, Panggung Pengamen Jalanan

Sesaat saya serasa berada di konser mini beraliran musik folk ketika seorang pengamen di sebuah sentra kuliner di Rawamangun, Jakarta Timur, menyajikan tembang dari The Trees and The Wild dan Ikhsan Skuter 14 Agustus malam. Pengamen itu menyanyikan lagu-lagu folk kesukaan saya tanpa sedikit pun cela. Nada-nadanya pas, iramanya mengena, suaranya juga lumayan. 

 

Saya pikir ini bakal jadi malam folk pertama saya hanya dengan Rp 2000 perak di Jakarta. Tapi pengamen itu, langsung mematahkan hati saya ketika dari mulutnya kemudian meluncur salah satu lagu hasil aransemen ulang oleh Pasto. Saya memang kurang suka terhadap musisi yang suka me-recycle lagu-lagu karya musisi lama. Bagi saya, mendaur ulang karya musisi lain itu mencerminkan rendahnya kreativitas. 

 

Tapi saya terhibur sekali dengan penampilan si pengamen malam tadi. Dia tahu betul caranya menyenangkan penikmat musik folk yang sekian lama absen menonton konser akibat digebuk pandemi. Dia menciptakan panggung hiburan selayaknya konser folk mini yang terakhir kali saya saksikan tiga tahun silam.

 

Panggung hiburan sedianya punya misi untuk menghibur, dan yah saya pun tertawa kala itu. Tapi ada pertanyaan lebih besar di kepala saya, siapakah pengamen itu? Siapakah puluhan  orang-orang yang berada di sekitar saya di sentra kuliner itu? Apa yang membuat di masa penerapan PPKM darurat mereka lebih tersedot mencari "panggung hiburan" ketimbang berlindung di kubah rumah? 

 

Yang lebih dahsyat, salah seorang pengelola sentra kuliner ini mengaku akhir-akhir ini justru semakin sibuk mengawasi penerapan protokol kesehatan di sentra kuliner agar tak diteror petugas satuan polisi pamong praja (satpol pp). Setelah sempat mati suri di masa-masa awal PPKM darurat bulan lalu, sentra kuliner ini kembali bergeliat. Pedagang-pedagang kembali bekerja, alat masak menyala, dan uang-uang berpindah tangan. 

 

Mereka kembali berdagang tentu untuk mencari nafkah di tengah ketidakpastian situasi pandemi ini. Selain juga demi melayani warga yang selalu haus hiburan karena bosan berdiam diri di rumah. 

 

Ini konsekuensi sebuah kota, mungkin. Jakarta, yang jadi kota terbesar di Indonesia, menjadi tempat berkumpulnya belasan juta manusia. Kota ini jadi harapan terakhir bagi mereka-mereka yang berputus asa tak memperoleh apa-apa di daerah asal. Dan saya juga merupakan salah satunya.  

 

Jakarta sejak dulu sudah sangat padat dengan manusia. Orang-orang terus berdatangan ke sana, utamanya usai Idul Fitri dan arus balik Lebaran. Padahal, menurut saya apa juga gunanya menjejali Jakarta. Toh lebih enak bercocok tanam atau memancing ikan di sungai di desa. 

 

Tapi inilah ciri khas kota besar. Segalanya lengkap. Mau ke mal atau berobat di rumah sakit berfasilitas paling mutakhir, semuanya ada. Sistem transportasi publik di sini juga yang terbaik di Indonesia. 


Jakarta punya segalanya yang bisa dibeli oleh uang. Lalu, apa yang tertinggal dari sebuah kota?  Yang bisa saya ingat dari sebuah kota bukan hanya sebuah nama. Kita bukan berada di dunia Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap (RPUL) yang menandai setiap kota dan negara hanya dengan ibu kota dan monumen pentingnya. 

 

Kota, bagi saya, adalah sebuah pengalaman. Numpang tinggal selama tiga bulan saja tidak akan pernah cukup untuk menangkap nyawa sebuah kota, seperti hanya ibarat menonton panggung hiburan oleh pengamen sekitar 20 menit yang menyisakan senang sesaat.     

 

Dunia panggung  

 

Hampir lima tahun di Jakarta bagi saya memang masih seperti melihat panggung hiburan. Saya memaki budaya mal di sini tapi menyempatkan waktu untuk kadang nongkrong di dalamnya. Saya menontoni mereka yang datang ke mal dengan gaun dan rambut tertata rapi hanya untuk sepiring nasi goreng di sebuah kafe. 

 

Parfum-parfum berbaur dengan kretek terbakar, gincu disapu aroma kafein. Kota ini akan homogen dengan kota-kota lainnya yang berayah pembangunan dan beribu kandung industri. Anak-anaknya ialah gedung bertingkat, kawasan industri, infrastruktur setengah jadi, pelayanan publik setengah hati, dan mal-mal pongah percaya diri. Anak tirinya ialah kali-kali bau, sampah-sampah tak terangkut, lapak-lapak liar, dan mungkin saya, perantau kehilangan jati diri.  

 

Saya tidak pernah suka kota ini, tapi ini panggung saya. Ini tempat saya harus menjadi penampil yang baik, setidaknya bagi orang-orang dengan siapa saya bekerja. Tapi saya bukan pengamen itu yang begitu menjiwai perannya di "panggung" sentra kuliner. Apakah semua perantau selalu gelisah dengan kota perantauannya?  

 

Pukul 21.00 sentra kuliner ini harus tutup karena aturan PPKM darurat. Pengamen itu pun menyudahi pertunjukannya dengan senyuman terakhir di wajah seraya mengucapkan salam dan terima kasih. 

 

Tapi saya masih tertegun di sana, di panggung saya, menunggu pertunjukkan berikutnya.  Sejenak saya iri pada pengamen itu yang panggungnya lebih nyata dari panggung saya. 

 

Panggung saya terlalu asing dan abstrak. Atau mungkin semua orang sebetulnya berada di panggung imajiner mereka, merasa terasing di tengah kota yang tak lagi sama dengan ingatan mereka. Yah, semisal suatu saat ketika berkesempatan kembali bertemu pengamen itu, akan saya tanyakan namanya. Saya tanyakan ke mana dia ingin pulang. Mungkin saja kami sama-sama terasing, di Jakarta.  

Read More

Jumat, 13 Agustus 2021

Pengendara Ojek Daring dan Buku Bekas

Jalan Tarumanegara, Tangerang Selatan, Banten, cukup padat pada Kamis (12/8/2021) sore. Pengendara motor menyesaki sebagian ruas jalan di dekat kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, tersebut. Situasi arus lalu lintas sore itu amat kontras dibandingkan dengan beberapa jam sebelumnya.

 

Di tengah kepadatan arus lalu lintas, satu orang di antara pengendara motor itu menepi dari jalanan. Motornya ia parkir di depan sebuah toko buku bekas, tempat di mana saya sedang duduk-duduk sembari ngobrol dengan karyawan toko.

 

"Apa di sini jual buku soal metamorfosis?" tanya bapak pengendara sepeda motor itu setelah memarkir kendaraannya di halaman toko buku.

 

Karyawan toko buku bekas dan saya menghentikan obrolan sejenak. Pengendara sepeda motor itu rupanya seorang pengemudi ojek daring. Pakaiannya setengah lusuh. Jaket hijau yang dia kenakan agak kumal. 

 

"Enggak ada kayaknya buku itu. Di sini adanya buku mahasiswa," ucap karyawan toko buku.

 

Saya mengernyitkan dahi. Setahu saya ada buku ensiklopedia yang isinya kurang lebih soal metamorfosis dan rahasia alam semesta. Buku itu bila tak salah, sempat saya lihat beberapa jam sebelumnya di salah satu rak di dalam toko. Seketika saya sampaikan bahwa buku yang ia cari itu ada di dalam toko. Saya mengajaknya masuk dan ikut mencari.

 

Jadilah saya dan pengemudi ojek daring itu sibuk membolak-balik tumpukan buku di dalam rak. Sambil mencari buku, dia bercerita tentang anaknya. Rupanya buku metamorfosis itu akan dia berikan kepada sang anak yang masih duduk di bangku kelas 1 SD. 

 

Pengemudi ojek daring ini sengaja mampir ke sebuah toko buku bekas untuk mencarikan buku yang diminta sang anak. Ia menyisihkan sebagian waktunya untuk itu. Padahal target orderan atau mengantar penumpang hari itu belum ia capai.

 

"Anak saya sudah mulai suka membaca. Dia senang baca buku yang banyak gambarnya. Saya belikan saja buku biar dia tidak main HP terus," katanya.

 

Saya tertegun mendengar perkataannya. Keinginan bapak pengemudi ojek daring itu menyentuh sanubari. Saya menilai ia orang yang perduli pada tumbuh kembang anaknya. Kendati (menurut dia) penghasilannya sebagai pengemudi ojek daring pas-pasan, tapi dia menginginkan buku sebagai benteng bagi anaknya agar tak melulu menengok layar ponsel. 

 

Sekitar 20 menit kami mencari buku yang dimaksud, tapi belum ketemu. Sampai pada akhirnya pandangan saya tertuju ke sebuah buku setebal 3 sentimeter di bagian rak paling atas. Ada dua buku ensiklopedia khusus anak-anak dengan banyak gambar di dalamnya. Persis seperti yang bapak pengemudi ojek daring itu cari.

 

Saya serahkan buku itu kepadanya, ia lalu membolak-balik halaman demi halaman. "Wah ini yang saya cari. Terima kasih ya, mas," katanya. 

 

Bapak pengemudi ojek daring kemudian menanyakan harga buku itu. Karyawan toko buku bekas menyebut harganya Rp 40 ribu. Harga yang bagi saya masih terjangkau.

 

"Rp 40 ribu? Saya kira bisa dapat harga Rp 20 ribu," kata bapak pengemudi ojek daring.

 

Saya terdiam mendengar jawabannya. Tak disangka buku bekas seharga Rp 40 ribu teramat berat bagi dia. Hari itu barangkali penghasilannya belum seberapa. Atau mungkin uang segitu sudah dia kantongi, namun ada keperluan lain yang lebih mendesak untuk dipenuhi. 

 

Dengan wajah sedikit kecewa ia mengembalikan buku ensiklopedia itu kepada karyawan toko. "Tolong buku ini disimpan dulu saja. Saya mau narik ojek biar dapat uangnya dulu. Setelah itu saya balik lagi ke sini ambil bukunya," katanya.

 

Bapak pengendara ojek daring itu beranjak pergi. Sejurus kemudian saya mencegah dia berlalu. Saya tawarkan buku itu untuknya. Urusan bayar-membayar biar saya yang selesaikan. Bapak itu berhenti. Dia memandang saya lekat-lekat seolah tidak percaya.

 

"Terima kasih mas. Apa ini saya jadinya tidak merepotkan mas? Tidak apa-apa saya narik lagi aja dulu," katanya.

 

"Tidak apa-apa pak. Biar saya yang traktir buku itu buat anak bapak. Bapak habis ini pulang saja. Nggak usah narik lagi buat cari uang bayar buku." Saya lalu masuk ke dalam toko untuk mengambil dompet di dalam tas.

 

Bapak itu mengikuti saya ke dalam toko. Sepatu yang sudah dia kenakan dilepaskan lagi. Di dalam toko, ia menyalami saya dengan setengah menundukkan badan. Kedua tangannya menggenggam erat tangan kanan saya.

 

"Terima kasih banyak mas. Semoga berkah," katanya.

 

Luluh juga hati saya mengalami momen tersebut. Tidak disangka uang Rp 40 ribu sangat berarti baginya. Di sini saya merasa beruntung sekaligus bersyukur masih diberikan rezeki oleh Hyang Widhi untuk bebas memilih dan membeli buku apapun yang saya mau. Saat masih kecil, orangtua saya tergolong mampu untuk membeli semua buku yang saya pinta. 

 

Kejadian sore itu membuat saya semakin tersadar. Masih banyak orang kurang beruntung di belahan dunia sana. Sejujurnya, saya tidak memiliki motif apa-apa kecuali membayangkan anak bapak pengendara ojek daring itu tersenyum ketika melihat buku yang dia incar sudah dibawa pulang oleh sang bapak. Hanya itu.

 

Saya dapat mengerti bagaimana rasanya diberikan buku oleh ajik dulu. Kegemaran saya membaca juga karena beliau sejak dulu rutin membelikan saya buku-buku, entah itu komik, majalah, atau pengetahuan umum. Maka, ketika ada seorang bapak yang dengan niat mulia ingin memberikan bahan bacaan untuk anaknya, saya tidak kuasa untuk tidak menolongnya.

 

Read More

Minggu, 06 Juni 2021

Sesat

Pada suatu perkuliahan di kampus FISIP Universitas Airlangga sekitar tahun 2014, dosen saya, Antun Mardianta berkali-kali menekankan pentingnya mahasiswa mempelajari materi kuliah dari sumber yang kredibel. Saya masih ingat ia mengeluhkan pengetahuan mahasiswanya yang diperoleh dari sumber-sumber tak jelas macam blogspot atau media sosial. 

“Jangan ikuti itu, itu sesat,” demikian katanya dengan ekspresi wajah datar sembari menahan rasa letih di tengah-tengah jam mengajar. 

Saya menilai Pak Antun sebagai dosen yang disiplin dan tegas. Ia tak menyukai mahasiswa yang malas membaca. Dalam satu kesempatan pula, ia menyindir polah mahasiswa yang lebih senang membaca berita-berita sepak bola dibandingkan ragam pengetahuan yang ada di rubrik opini Kompas.

Sikapnya itu didasari keinginan agar kami, mahasiswa ilmu administrasi negara, punya pemahaman yang utuh dan menyeluruh atas materi kuliah. Dari kebiasaan memperoleh pengetahuan dari sumber-sumber yang kredibel, Pak Antun berharap kami mampu menghasilkan karya tulis yang baik.

Kebiasaan Pak Antun itu kembali saya ingat di awal Juni 2021 ini, tujuh tahun setelah momen di ruang perkuliahan itu. Saya kembali ingat karena hari ini berkali-kali keliru dalam mendapatkan informasi terkait berita keberhasilan peselancar Indonesia lolos ke Olimpiade Tokyo 2020.

Berita sudah saya tuntaskan menjelang sore hari. Sumber-sumber atau bahan berita saya dapatkan dari hasil wawancara dengan Sekretaris Jenderal Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Ferry Kono dan Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot S Dewa Broto. 

Tulisan kurang lebih menginformasikan satu peselancar Indonesia, Rio Waida, berhasil menyegel satu tiket ke Olimpiade Tokyo setelah mengikuti kualifikasi di El Salvador. Kebetulan ini adalah kali pertama saya menulis tentang olahraga selancar. Tambahan lagi, saya baru seminggu bergabung kembali ke desk olahraga harian Kompas setelah sebelumnya berpindah-pindah desk.

Dengan kondisi begitu, tentunya butuh adaptasi dalam memahami isu-isu olahraga. Keadaan menjadi semakin rumit manakala yang saya tulis adalah selancar. Cabang olahraga yang saya tak begitu pahami.

Maka dari itu, mulailah saya meriset-riset tentang selancar. Dari sana saya baru tahu bahwa selancar baru kali ini dipertandingkan di Olimpiade. Setelah bahan terkumpul, saya menulis dan mengirimkannya ke editor. 

Malamnya, salah satu editor berkali-kali menghubungi saya. Katanya, berita saya diplot untuk naik di halaman satu Kompas esok hari. Saya diminta menambahkan sejumlah informasi esensial, seperti mengapa selancar baru kali ini masuk Olimpiade dan berapa jumlah kontingen Indonesia di Olimpiade sebelumnya.

Perbaikan dan tambahan pun saya kirim ulang ke editor. Namun, masalah tidak selesai sampai di sana. Beberapa jam kemudian, editor kembali menelepon. Ia mempertanyakan validitas informasi yang saya benamkan di tubuh berita. 

Untuk hal ini saya mengakui sangat teledor. Saya mengutip mentah-mentah sejumlah paragraf dalam siaran pers yang dikirimkan KOI. Karena dikirim oleh lembaga sekelas KOI, saya pun tak bersikap skeptis dan menuliskan semua informasi yang termaktub di siaran pers tanpa mengujinya lagi.

Editor memberitahu saya bahwa lokasi tempat selancar dipertandingkan di Jepang nanti bukan Pantai Shidashita, melainkan di Pantai Tsurigasaki. Mendengar hal sepenting itu bisa keliru, saya malu bukan main. Betapa bodohnya saya begitu saja mempercayai informasi dari KOI tanpa memeriksanya lebih dulu. 

Kekeliruan itu bisa terjadi antara lain karena KOI menyewa public relation atau humas eksternal untuk menyiapkan siaran pers dan melayani wartawan. Saya luput menyadari hal itu. Dari awal semestinya saya sadar humas eksternal yang dipekerjakan KOI sangat mungkin keliru dalam memberikan informasi. Bahkan orang KOI pun juga tak mungkin bisa seratus persen akurat dalam memberikan keterangan.

“Lain kali, pahami dulu apa maksud informasi yang ada di rilis. Setelah itu baru kamu tulis lagi dengan kalimatmu sendiri. Jangan langsung copy-paste, karena siaran pers kualitasnya biasanya enggak memenuhi standar Kompas,” begitu kata editor. 

Kali ini saya diingatkan kembali tentang salah satu disiplin dasar dari jurnalistik: verifikasi, verifikasi, verifikasi. Sebagai wartawan, saya melupakan begitu saja prinsip dasar dalam mencari informasi. Kemalasan dan perasaan ingin segera bebas dari tugas membuat saya lengah.

Informasi lain juga saya kutip secara serampangan. Jumlah kontingen Indonesia di Olimpiade sebelumnya, yaitu Olimpiade Rio 2016 saya keliru sebutkan. Saya awalnya mencantumkan kontingen Indonesia pada 2016 sebanyak 22 orang dari 28 cabang olahraga. Setelah dicek kembali, jumlah atlet Indonesia di Rio kala itu ternyata 28 orang dari 7 cabang olahraga. 

Kesalahan itu karena saya mengambil informasi yang berceceran di media online lain. Informasi-informasi yang ada di media-media online ternyata jarang yang akurat. Saya paham benar kondisi itu, tapi menutup mata agar bisa segera merampungkan tulisan. Serta merta saya merasa sangat bersalah dan bodoh hari ini. 

Semua sudah berlalu dan yang bisa saya lakukan sekarang adalah lebih berhati-hati ke depan. Nasihat Pak Antun bertahun-tahun silam kembali relevan bagi saya yang kini berada di dunia kerja. Bila saat masih mahasiswa dulu saya bisa mendapat permakluman jika salah mengambil informasi dan tersesat, kini dengan posisi sebagai wartawan saya tak bisa mengambil risiko menyesatkan orang yang membaca tulisan saya.


Read More

Selasa, 25 Mei 2021

Segala Hal yang Serba Singkat

Apa yang mungkin lebih singkat dari Kabinet Dwikora II? Kebersamaan saya di desk multimedia harian Kompas. Bila Kabinet Dwikora II hanya berusia 32 hari, saya hanya bertahan sekitar 14 hari di desk multimedia. Sebagai jurnalis, perpindahan atau rotasi adalah hal yang biasa.

Per 1 Mei 2021, sesuai kebutuhan perusahaan, saya dirotasi dari desk saya sebelumnya, yaitu desk regional ke desk multimedia. Target dan kebutuhan perusahaan mengharuskan adanya perpindahan itu. Awalnya saya kaget menerima pengumuman pindah, selain karena baru 1 tahun di desk regional, keputusan itu disampaikan mendadak. Tapi beginilah dunia jurnalistik. Kita harus siap sedia bila kantor membutuhkan tenaga kita sewaktu-waktu. 

Setelah bergabung di desk multimedia, perusahaan kembali merotasi saya. Kali ini lebih mendadak lagi lantaran seorang senior memutuskan resign. Alhasil jadilah kebersamaan singkat saya tersebut mematahkan rekor Kabinet Dwikora II seperti yang sudah disinggung di atas.

Entah mengapa tahun 2021 ini saya lekat dengan kebersamaan yang singkat. Selain urusan desk alias pekerjaan, hubungan saya dengan seorang perempuan di Bali yang hanya tiga bulan juga harus kandas. 

Saya bersedih atas kehilangan yang beruntun tersebut. Seakan-akan dunia tak berpihak lagi pada saya. Tapi seperti kata orang, selalu ada hal yang bisa disyukuri dari segala duka. Pasti ada hikmah yang bisa dipetik dari setiap nestapa. Ada yang menggugah dalam suatu scene di film The Life of PI. Karakter utama si PI mengatakan hal yang menyentuh: ketika Tuhan seolah meninggalkan dan tak perduli pada nasib kita, sesungguhnya ia sedang menjaga kita. 

Atau ingatlah pula apa yang dikatakan Quraish Shihab pada Najwa: boleh jadi keterlambatanmu dari suatu perjalanan adalah keselamatanmu. Bisa saja tertundanya pernikahanmu adalah suatu keberkahan. Boleh jadi engkau membenci sesuatu tapi ternyata itu baik untukmu. Karena Tuhan maha mengetahui, sedangkan kita tidak mengetahui. 

Dan saya bersyukur, selalu ada teman-teman di sekitar yang mendukung tak perduli bagaimana kondisimu. Mereka senantiasa ada untuk mendengarkan. Sebuah uluran tangan yang sepele tapi sangat berarti. 

Kembali ke hal yang singkat-singkat, uluran tangan itu bisa berbentuk kesediaan menerima telepon di malam hari, atau menyaksikan matahari terbenam di BSD. 

Momen menyaksikan langit jingga itu sangat singkat. Tetapi amat berarti. Seolah, dalam tempo dua jam saja aura yang tersaji di sana mampu menghapus semua duka. Meski hanya sesaat. Sore-sore yang kita lewati itu jadi hal yang singkat daripada kebersamaan saya di desk multimedia.

Saya salah. Awalnya saya kira tak ada lagi hal yang lebih singkat. Ternyata, ada. Ini menyadarkan saya bahwa selalu ada langit di atas langit. Pun dengan seorang perempuan di Bali yang saya pikir tak ada yang lebih memukau dibandingkan dengannya. 

Semoga kelak suatu saat, saya dipertemukan dengan seorang perempuan yang lebih bersinar. Lebih dapat memahami. Juga lebih mengerti. Perempuan yang akan menghapus segala yang singkat-singkat dari hidup saya yang sesaat.

Read More

Follow This Blog