Tampilkan postingan dengan label Motivasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Motivasi. Tampilkan semua postingan

Senin, 05 September 2022

Mengingat

Mengingat itu butuh energi. Seumur hidup, kita menghabiskan energi untuk mengingat angka-angka yang menandai semua sisi hidup. Misalnya saja tanggal lahir, usia, nomor telepon, nomor kartu tanda penduduk, nomor induk karyawan, dan nomor rekening. 

Kau ingat betapa angka adalah romantika yang membawamu pada ruang dan waktu berbeda. Plat nomor, nomor rumah, angka di sebuah kaus, hingga nomor telepon yang kau hapal di luar kepala tanpa berani kau simpan dan bekukan di ponsel. 

Kau mengingat angka yang satu dan melupakan yang lain. Mengingat dia ketimbang diriNya. Kau mengingat karena dia punya jejak, yang, entah apa. 

Mengingatnya membuat energimu melambung hingga ke langit. Kau pikir kau bisa terbang saking besarnya energimu. Kau menjelma capung dan burung-burung. Ah, dan kau, kau, dan kau mengingat. Mengingat hal-hal yang terlewat oleh mata orang banyak. 

Kau mengingat dengan keterlambatan yang entah disengaja atau tidak. Kau mengingat dengan kejutan yang kuncup di pengujung hari. Kau membuat aku menjelma burung-burung. 

Ah, terima kasih untuk mengingat. Mungkin kita telah saling memberi jejak di sebuah dimensi yang hanya bisa kita raba. Terima kasih untuk mengingat, setidaknya hari-hari di Februari itu.

Karena, esok saatnya melupakan.

Read More

Rabu, 31 Agustus 2022

Cisilia

Sosoknya sudah lama absen, tapi pernah menghiasi hidup saya. Cisilia Agustina Siahaan, biasa dipanggil Cile, terakhir muncul sekitar enam tahun yang lalu. Dia adalah wartawati Tribun Bali dengan beat liputan di bidang pendidikan. 

Perempuan asal Bandung, Jawa Barat, itu adalah penggemar segala sesuatu yang berkaitan dengan budaya dan kesenian Bali. Selain itu, dia juga tertarik pada dunia kesusastraan. Ketertarikan dengan segala hal yang berbau Bali juga yang mengantarkannya berlabuh ke Pulau Seribu Pura, jauh meninggalkan keluarganya di Bandung. Seingat saya, ia alumni jurusan teknik arsitektur. Kenapa arsitek justru berkubang di dunia tulis menulis. 

Selama hampir tiga tahun berkarya di Tribun Bali, tulisan-tulisan Cile tajam, menarik, dan kritis. Satu hal yang saya kenang dan kagumi dari etos kerjanya, dia bekerja seperti elang, bukan gerombolan semut. 

Cile bukan tipe orang yang asal ngikut wartawan lain. Sebagaimana orang kerap mengkotak-kotakkan kepribadian orang menjadi dua, ekstrovert dan interovert, Cile termasuk wartawan introvert dalam metode bekerja. 

Sebagai wartawan introvert, bukan berarti ia anti sosial atau tak memiliki banyak teman. Pembawaannya yang ramah dan murah senyum membuatnya disenangi rekan-rekan wartawan di Denpasar. Namun, sikap itu berubah kala sedang berburu informasi atau bahan berita. Laksana elang, Cile terbang sendirian mencari mangsa. Matanya tajam dalam mencari isu-isu. Di saat wartawan lain datang meliput dengan bergerombol atau saling berbagi informasi, Cile melakukannya seorang diri. 

Saya pernah menanyakan cara kerjanya karena menganggap hal itu agak kurang lazim dilakukan wartawan kebanyakan. Maklum, saat itu, pertengahan 2016, saya baru enam bulan bergabung di Tribun Bali. Saya pun, sebagaimana wartawan lain, kerap bergerombol dalam mencari informasi. 

Semua itu saya lakukan karena takut kebobolan. Istilah kebobolan mengacu pada kondisi di mana seorang wartawan tidak mendapatkan berita yang didapatkan rekan-rekannya yang lain. Kalau sudah begitu, atasan wartawan pasti akan menegur. “Kok berita ini kamu enggak dapet?” 

Dengan metode kerja yang sering mencari informasi seorang diri, bagi saya Cile amat rentan kebobolan. Ketika saya utarakan kekhawatiran itu, Cile dengan entengnya menjawab, “Coba kamu hitung siapa yang lebih sering ngebobol.” Saya tertegun. 

Kalau dipikir-pikir, benar yang dikatakan Cile. Dia selalu punya berita eksklusif yang tidak dimiliki wartawan lain, termasuk senior-senior di liputan pendidikan. Ini lebih disebabkan karena Cile rajin turun ke lapangan, termasuk berkeliling ke sekolah-sekolah menemui langsung pokok permasalahan dan isu-isu pendidikan yang tengah berkembang. 

Sedangkan wartawan lain lebih cenderung memilih menunggu isu datang dengan duduk-duduk di media center atau warung kopi. Wartawan lain juga sangat senang menulis berita-berita siaran pers atau rilis yang dikirimkan pemerintah. Alhasil, berita di semua media hampir sama karena bersumber dari satu siaran pers. Ini menjemukan bagi mereka yang butuh asupan informasi bergizi juga bervariasi. 

Berita-berita yang bersumber dari siaran pers tentu hanya berat sebelah, dalam artian lebih kental nuansa kepentingan pemerintah dalam mempropagandakan agenda mereka. Saya melihat wartawan sering terjebak di sana. Bagaimana tidak, memperoleh siaran pers sangat memanjakan. Tanpa perlu bersusah-susah, berpeluh-peluh, wartawan mendapat berita yang siap tayang.

Tulisan-tulisan Cile menjadi antitesis dari kondisi berita seragam itu. Di saat wartawan lain bergerombol dan mengerjakan berita dari siaran pers, dia bergerak seorang diri. Oleh sebab itu, liputannya sangat kaya dan beragam. 

Secara pribadi, saya tertarik dengan metode kerja Cile. Perlahan-lahan saya mulai memisahkan diri dari gerombolan. Kebetulan saya bertugas di desk kriminal sehingga pilihan langkah itu mengharuskan saya semakin rajin turun ke lapangan saat ada peristiwa sekecil apapun atau melipir ke polsek-polsek dan polres. 

Saya bahkan pernah menginap di kantor polisi hanya untuk lebih dekat dengan sumber-sumber di sana. Seminggu sekali, di saat esoknya mendapat jatah libur, saya minta izin tidur di kantor polisi. Di sana saya bertemu dengan berbagai macam polisi mulai dari yang pangkatnya paling rendah hingga tingkatan kepala satuan (kasat). 

Dari kebiasaan itu narasumber saya semakin banyak. Beberapa polisi dari satuan intelkam adalah yang paling berharga dijadikan sumber informasi. Saya dan narasumber dari intel itu sering bertukar informasi, walau harus diakui dia lebih banyak berkontribusi dibandingkan saya. 

Berita yang saya tulis pun pada akhirnya berbeda dengan rekan-rekan wartawan yang juga bertugas di desk kriminal. Mereka sering bertanya-tanya dari mana saya mendapatkan informasi. Beberapa di antara kawan itu juga jadi lebih sering bertanya isu-isu kriminal yang bisa diliput. 

Tanpa disadari, saya sudah mulai mengikuti alur kerja Cile. Rasanya memang lebih bangga dengan karya-karya yang saya buat, di mana itu mampu tampil berbeda dengan wartawan kebanyakan. Beberapa kali berita yang saya buat menjadi viral di Denpasar, saking tidak ada wartawan lain yang menulisnya. Sumber berita yang dibuat oleh akun-akun medsos dengan ratusan ribu pengikut itu hanya berita saya. 

Kebiasaan untuk bekerja sendirian itu terbawa hingga saya bekerja di Jakarta. Hal itu sejalan dengan arahan kantor saya di Kompas yang sering menekankan kepada wartawannya untuk membiasakan membuat dan mengolah isu sendiri. 

Hal itu sangat penting, terutama ketika hari-hari sepi berita mendera. Otak akan terbiasa berpikir sehingga sangat mudah menemukan ide-ide atau isu untuk ditulis saat sepi peristiwa. Semua ini karena mengikuti Cile. 

Kami sempat bersama-sama mengikuti seleksi di Kompas. Namun, sayang dia tidak lulus. Hari-hari menjalani seleksi di Kompas itu ternyata adalah pertemuan terakhir saya dengan Cile. Meski dia telah menghilang, semangatnya akan tetap tersimpan di hati saya. Sampai akhirnya saya memutuskan berhenti dan tak menjadi wartawan lagi.
Read More

Jumat, 13 Agustus 2021

Pengendara Ojek Daring dan Buku Bekas

Jalan Tarumanegara, Tangerang Selatan, Banten, cukup padat pada Kamis (12/8/2021) sore. Pengendara motor menyesaki sebagian ruas jalan di dekat kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, tersebut. Situasi arus lalu lintas sore itu amat kontras dibandingkan dengan beberapa jam sebelumnya.

 

Di tengah kepadatan arus lalu lintas, satu orang di antara pengendara motor itu menepi dari jalanan. Motornya ia parkir di depan sebuah toko buku bekas, tempat di mana saya sedang duduk-duduk sembari ngobrol dengan karyawan toko.

 

"Apa di sini jual buku soal metamorfosis?" tanya bapak pengendara sepeda motor itu setelah memarkir kendaraannya di halaman toko buku.

 

Karyawan toko buku bekas dan saya menghentikan obrolan sejenak. Pengendara sepeda motor itu rupanya seorang pengemudi ojek daring. Pakaiannya setengah lusuh. Jaket hijau yang dia kenakan agak kumal. 

 

"Enggak ada kayaknya buku itu. Di sini adanya buku mahasiswa," ucap karyawan toko buku.

 

Saya mengernyitkan dahi. Setahu saya ada buku ensiklopedia yang isinya kurang lebih soal metamorfosis dan rahasia alam semesta. Buku itu bila tak salah, sempat saya lihat beberapa jam sebelumnya di salah satu rak di dalam toko. Seketika saya sampaikan bahwa buku yang ia cari itu ada di dalam toko. Saya mengajaknya masuk dan ikut mencari.

 

Jadilah saya dan pengemudi ojek daring itu sibuk membolak-balik tumpukan buku di dalam rak. Sambil mencari buku, dia bercerita tentang anaknya. Rupanya buku metamorfosis itu akan dia berikan kepada sang anak yang masih duduk di bangku kelas 1 SD. 

 

Pengemudi ojek daring ini sengaja mampir ke sebuah toko buku bekas untuk mencarikan buku yang diminta sang anak. Ia menyisihkan sebagian waktunya untuk itu. Padahal target orderan atau mengantar penumpang hari itu belum ia capai.

 

"Anak saya sudah mulai suka membaca. Dia senang baca buku yang banyak gambarnya. Saya belikan saja buku biar dia tidak main HP terus," katanya.

 

Saya tertegun mendengar perkataannya. Keinginan bapak pengemudi ojek daring itu menyentuh sanubari. Saya menilai ia orang yang perduli pada tumbuh kembang anaknya. Kendati (menurut dia) penghasilannya sebagai pengemudi ojek daring pas-pasan, tapi dia menginginkan buku sebagai benteng bagi anaknya agar tak melulu menengok layar ponsel. 

 

Sekitar 20 menit kami mencari buku yang dimaksud, tapi belum ketemu. Sampai pada akhirnya pandangan saya tertuju ke sebuah buku setebal 3 sentimeter di bagian rak paling atas. Ada dua buku ensiklopedia khusus anak-anak dengan banyak gambar di dalamnya. Persis seperti yang bapak pengemudi ojek daring itu cari.

 

Saya serahkan buku itu kepadanya, ia lalu membolak-balik halaman demi halaman. "Wah ini yang saya cari. Terima kasih ya, mas," katanya. 

 

Bapak pengemudi ojek daring kemudian menanyakan harga buku itu. Karyawan toko buku bekas menyebut harganya Rp 40 ribu. Harga yang bagi saya masih terjangkau.

 

"Rp 40 ribu? Saya kira bisa dapat harga Rp 20 ribu," kata bapak pengemudi ojek daring.

 

Saya terdiam mendengar jawabannya. Tak disangka buku bekas seharga Rp 40 ribu teramat berat bagi dia. Hari itu barangkali penghasilannya belum seberapa. Atau mungkin uang segitu sudah dia kantongi, namun ada keperluan lain yang lebih mendesak untuk dipenuhi. 

 

Dengan wajah sedikit kecewa ia mengembalikan buku ensiklopedia itu kepada karyawan toko. "Tolong buku ini disimpan dulu saja. Saya mau narik ojek biar dapat uangnya dulu. Setelah itu saya balik lagi ke sini ambil bukunya," katanya.

 

Bapak pengendara ojek daring itu beranjak pergi. Sejurus kemudian saya mencegah dia berlalu. Saya tawarkan buku itu untuknya. Urusan bayar-membayar biar saya yang selesaikan. Bapak itu berhenti. Dia memandang saya lekat-lekat seolah tidak percaya.

 

"Terima kasih mas. Apa ini saya jadinya tidak merepotkan mas? Tidak apa-apa saya narik lagi aja dulu," katanya.

 

"Tidak apa-apa pak. Biar saya yang traktir buku itu buat anak bapak. Bapak habis ini pulang saja. Nggak usah narik lagi buat cari uang bayar buku." Saya lalu masuk ke dalam toko untuk mengambil dompet di dalam tas.

 

Bapak itu mengikuti saya ke dalam toko. Sepatu yang sudah dia kenakan dilepaskan lagi. Di dalam toko, ia menyalami saya dengan setengah menundukkan badan. Kedua tangannya menggenggam erat tangan kanan saya.

 

"Terima kasih banyak mas. Semoga berkah," katanya.

 

Luluh juga hati saya mengalami momen tersebut. Tidak disangka uang Rp 40 ribu sangat berarti baginya. Di sini saya merasa beruntung sekaligus bersyukur masih diberikan rezeki oleh Hyang Widhi untuk bebas memilih dan membeli buku apapun yang saya mau. Saat masih kecil, orangtua saya tergolong mampu untuk membeli semua buku yang saya pinta. 

 

Kejadian sore itu membuat saya semakin tersadar. Masih banyak orang kurang beruntung di belahan dunia sana. Sejujurnya, saya tidak memiliki motif apa-apa kecuali membayangkan anak bapak pengendara ojek daring itu tersenyum ketika melihat buku yang dia incar sudah dibawa pulang oleh sang bapak. Hanya itu.

 

Saya dapat mengerti bagaimana rasanya diberikan buku oleh ajik dulu. Kegemaran saya membaca juga karena beliau sejak dulu rutin membelikan saya buku-buku, entah itu komik, majalah, atau pengetahuan umum. Maka, ketika ada seorang bapak yang dengan niat mulia ingin memberikan bahan bacaan untuk anaknya, saya tidak kuasa untuk tidak menolongnya.

 

Read More

Minggu, 06 Juni 2021

Sesat

Pada suatu perkuliahan di kampus FISIP Universitas Airlangga sekitar tahun 2014, dosen saya, Antun Mardianta berkali-kali menekankan pentingnya mahasiswa mempelajari materi kuliah dari sumber yang kredibel. Saya masih ingat ia mengeluhkan pengetahuan mahasiswanya yang diperoleh dari sumber-sumber tak jelas macam blogspot atau media sosial. 

“Jangan ikuti itu, itu sesat,” demikian katanya dengan ekspresi wajah datar sembari menahan rasa letih di tengah-tengah jam mengajar. 

Saya menilai Pak Antun sebagai dosen yang disiplin dan tegas. Ia tak menyukai mahasiswa yang malas membaca. Dalam satu kesempatan pula, ia menyindir polah mahasiswa yang lebih senang membaca berita-berita sepak bola dibandingkan ragam pengetahuan yang ada di rubrik opini Kompas.

Sikapnya itu didasari keinginan agar kami, mahasiswa ilmu administrasi negara, punya pemahaman yang utuh dan menyeluruh atas materi kuliah. Dari kebiasaan memperoleh pengetahuan dari sumber-sumber yang kredibel, Pak Antun berharap kami mampu menghasilkan karya tulis yang baik.

Kebiasaan Pak Antun itu kembali saya ingat di awal Juni 2021 ini, tujuh tahun setelah momen di ruang perkuliahan itu. Saya kembali ingat karena hari ini berkali-kali keliru dalam mendapatkan informasi terkait berita keberhasilan peselancar Indonesia lolos ke Olimpiade Tokyo 2020.

Berita sudah saya tuntaskan menjelang sore hari. Sumber-sumber atau bahan berita saya dapatkan dari hasil wawancara dengan Sekretaris Jenderal Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Ferry Kono dan Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot S Dewa Broto. 

Tulisan kurang lebih menginformasikan satu peselancar Indonesia, Rio Waida, berhasil menyegel satu tiket ke Olimpiade Tokyo setelah mengikuti kualifikasi di El Salvador. Kebetulan ini adalah kali pertama saya menulis tentang olahraga selancar. Tambahan lagi, saya baru seminggu bergabung kembali ke desk olahraga harian Kompas setelah sebelumnya berpindah-pindah desk.

Dengan kondisi begitu, tentunya butuh adaptasi dalam memahami isu-isu olahraga. Keadaan menjadi semakin rumit manakala yang saya tulis adalah selancar. Cabang olahraga yang saya tak begitu pahami.

Maka dari itu, mulailah saya meriset-riset tentang selancar. Dari sana saya baru tahu bahwa selancar baru kali ini dipertandingkan di Olimpiade. Setelah bahan terkumpul, saya menulis dan mengirimkannya ke editor. 

Malamnya, salah satu editor berkali-kali menghubungi saya. Katanya, berita saya diplot untuk naik di halaman satu Kompas esok hari. Saya diminta menambahkan sejumlah informasi esensial, seperti mengapa selancar baru kali ini masuk Olimpiade dan berapa jumlah kontingen Indonesia di Olimpiade sebelumnya.

Perbaikan dan tambahan pun saya kirim ulang ke editor. Namun, masalah tidak selesai sampai di sana. Beberapa jam kemudian, editor kembali menelepon. Ia mempertanyakan validitas informasi yang saya benamkan di tubuh berita. 

Untuk hal ini saya mengakui sangat teledor. Saya mengutip mentah-mentah sejumlah paragraf dalam siaran pers yang dikirimkan KOI. Karena dikirim oleh lembaga sekelas KOI, saya pun tak bersikap skeptis dan menuliskan semua informasi yang termaktub di siaran pers tanpa mengujinya lagi.

Editor memberitahu saya bahwa lokasi tempat selancar dipertandingkan di Jepang nanti bukan Pantai Shidashita, melainkan di Pantai Tsurigasaki. Mendengar hal sepenting itu bisa keliru, saya malu bukan main. Betapa bodohnya saya begitu saja mempercayai informasi dari KOI tanpa memeriksanya lebih dulu. 

Kekeliruan itu bisa terjadi antara lain karena KOI menyewa public relation atau humas eksternal untuk menyiapkan siaran pers dan melayani wartawan. Saya luput menyadari hal itu. Dari awal semestinya saya sadar humas eksternal yang dipekerjakan KOI sangat mungkin keliru dalam memberikan informasi. Bahkan orang KOI pun juga tak mungkin bisa seratus persen akurat dalam memberikan keterangan.

“Lain kali, pahami dulu apa maksud informasi yang ada di rilis. Setelah itu baru kamu tulis lagi dengan kalimatmu sendiri. Jangan langsung copy-paste, karena siaran pers kualitasnya biasanya enggak memenuhi standar Kompas,” begitu kata editor. 

Kali ini saya diingatkan kembali tentang salah satu disiplin dasar dari jurnalistik: verifikasi, verifikasi, verifikasi. Sebagai wartawan, saya melupakan begitu saja prinsip dasar dalam mencari informasi. Kemalasan dan perasaan ingin segera bebas dari tugas membuat saya lengah.

Informasi lain juga saya kutip secara serampangan. Jumlah kontingen Indonesia di Olimpiade sebelumnya, yaitu Olimpiade Rio 2016 saya keliru sebutkan. Saya awalnya mencantumkan kontingen Indonesia pada 2016 sebanyak 22 orang dari 28 cabang olahraga. Setelah dicek kembali, jumlah atlet Indonesia di Rio kala itu ternyata 28 orang dari 7 cabang olahraga. 

Kesalahan itu karena saya mengambil informasi yang berceceran di media online lain. Informasi-informasi yang ada di media-media online ternyata jarang yang akurat. Saya paham benar kondisi itu, tapi menutup mata agar bisa segera merampungkan tulisan. Serta merta saya merasa sangat bersalah dan bodoh hari ini. 

Semua sudah berlalu dan yang bisa saya lakukan sekarang adalah lebih berhati-hati ke depan. Nasihat Pak Antun bertahun-tahun silam kembali relevan bagi saya yang kini berada di dunia kerja. Bila saat masih mahasiswa dulu saya bisa mendapat permakluman jika salah mengambil informasi dan tersesat, kini dengan posisi sebagai wartawan saya tak bisa mengambil risiko menyesatkan orang yang membaca tulisan saya.


Read More

Selasa, 25 Mei 2021

Segala Hal yang Serba Singkat

Apa yang mungkin lebih singkat dari Kabinet Dwikora II? Kebersamaan saya di desk multimedia harian Kompas. Bila Kabinet Dwikora II hanya berusia 32 hari, saya hanya bertahan sekitar 14 hari di desk multimedia. Sebagai jurnalis, perpindahan atau rotasi adalah hal yang biasa.

Per 1 Mei 2021, sesuai kebutuhan perusahaan, saya dirotasi dari desk saya sebelumnya, yaitu desk regional ke desk multimedia. Target dan kebutuhan perusahaan mengharuskan adanya perpindahan itu. Awalnya saya kaget menerima pengumuman pindah, selain karena baru 1 tahun di desk regional, keputusan itu disampaikan mendadak. Tapi beginilah dunia jurnalistik. Kita harus siap sedia bila kantor membutuhkan tenaga kita sewaktu-waktu. 

Setelah bergabung di desk multimedia, perusahaan kembali merotasi saya. Kali ini lebih mendadak lagi lantaran seorang senior memutuskan resign. Alhasil jadilah kebersamaan singkat saya tersebut mematahkan rekor Kabinet Dwikora II seperti yang sudah disinggung di atas.

Entah mengapa tahun 2021 ini saya lekat dengan kebersamaan yang singkat. Selain urusan desk alias pekerjaan, hubungan saya dengan seorang perempuan di Bali yang hanya tiga bulan juga harus kandas. 

Saya bersedih atas kehilangan yang beruntun tersebut. Seakan-akan dunia tak berpihak lagi pada saya. Tapi seperti kata orang, selalu ada hal yang bisa disyukuri dari segala duka. Pasti ada hikmah yang bisa dipetik dari setiap nestapa. Ada yang menggugah dalam suatu scene di film The Life of PI. Karakter utama si PI mengatakan hal yang menyentuh: ketika Tuhan seolah meninggalkan dan tak perduli pada nasib kita, sesungguhnya ia sedang menjaga kita. 

Atau ingatlah pula apa yang dikatakan Quraish Shihab pada Najwa: boleh jadi keterlambatanmu dari suatu perjalanan adalah keselamatanmu. Bisa saja tertundanya pernikahanmu adalah suatu keberkahan. Boleh jadi engkau membenci sesuatu tapi ternyata itu baik untukmu. Karena Tuhan maha mengetahui, sedangkan kita tidak mengetahui. 

Dan saya bersyukur, selalu ada teman-teman di sekitar yang mendukung tak perduli bagaimana kondisimu. Mereka senantiasa ada untuk mendengarkan. Sebuah uluran tangan yang sepele tapi sangat berarti. 

Kembali ke hal yang singkat-singkat, uluran tangan itu bisa berbentuk kesediaan menerima telepon di malam hari, atau menyaksikan matahari terbenam di BSD. 

Momen menyaksikan langit jingga itu sangat singkat. Tetapi amat berarti. Seolah, dalam tempo dua jam saja aura yang tersaji di sana mampu menghapus semua duka. Meski hanya sesaat. Sore-sore yang kita lewati itu jadi hal yang singkat daripada kebersamaan saya di desk multimedia.

Saya salah. Awalnya saya kira tak ada lagi hal yang lebih singkat. Ternyata, ada. Ini menyadarkan saya bahwa selalu ada langit di atas langit. Pun dengan seorang perempuan di Bali yang saya pikir tak ada yang lebih memukau dibandingkan dengannya. 

Semoga kelak suatu saat, saya dipertemukan dengan seorang perempuan yang lebih bersinar. Lebih dapat memahami. Juga lebih mengerti. Perempuan yang akan menghapus segala yang singkat-singkat dari hidup saya yang sesaat.

Read More

Rabu, 05 Agustus 2020

Timnas Bhutan dan Pentingnya Menangkap Serpihan Kebahagiaan di Sekitar Kita

Penduduk Bhutan seolah selalu punya mantra yang mampu mengubah serpihan kecil kebahagiaan menjadi energi besar yang berdampak luar biasa.

 

Bhutan, negara kecil di kaki Gunung Himalaya, terbiasa menyuguhkan kebahagiaan. Di Bhutan, arti sesungguhnya dari kebahagiaan bisa dipelajari, bahkan dari sebuah pertandingan sepak bola.

 

Pada satu pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2018 Zona Asia menghadapi Maladewa, penggawa Bhutan menunjukkan betapa kebahagiaan sebetulnya selalu ada di sekitar kita. Makna kebahagiaan senantiasa tergantung pada bagaimana kita menangkapnya.

 

Pertandingan yang saya maksud dihelat di Changlimithang Stadium di Kota Thimphu, Ibu Kota Bhutan, Oktober 2015. Pendukung Timnas Bhutan sudah menjejali seisi stadion beberapa jam menjelang sepak mula pertandingan. Riuh penonton kian menggema saat pemain kedua tim memasuki lapangan.

 

Dukungan tak hanya datang dari penonton, melainkan juga Sang Buddha. Iya, patung Buddha, lebih tepatnya. Di luar stadion, patung Buddha setinggi sekitar enam meter menjulang, wajah Buddha menatap ke arah lapangan. Telapak tangan patung Buddha itu mengarah ke arah dalam stadion, seolah memberikan ‘mertha’ atau doa restu bagi pasukan Bhutan. Namun, luapan dukungan itu tak membuat Timnas Bhutan mengawali laga dengan apik.

 

Gawang Hari Gurung sudah jebol secara prematur di menit ke-11. Pelakunya adalah Ahmed Nasid, pemain serang utama Maladewa. Mendapat sodoran bola lambung dari lini tengah, Nasid tak kesulitan mengarahkan bola melewati Gurung yang telanjur meninggalkan sarangnya. Seisi stadion sempat mengambil jeda sejenak, mereda dari sorak sorai, namun segera riuh kembali tak lama berselang.

 

Penderitaan Bhutan belum cukup sampai di sana. Sebab, 12 menit setelahnya gawang mereka kembali dibombardir Ali Ashfaq dengan enteng sebanyak tiga kali. Benar, saya tak salah tulis, tiga kali! Trigol Ashfaq tercipta dengan rincian dua kali di babak pertama, dan sekali di babak kedua. Tertinggal empat gol bukanlah situasi yang mengenakkan bagi Bhutan. Bagaimana pertanggung jawaban mereka kepada para suporter –dan bahkan Sang Buddha- yang telah mendukung mereka mati-matian?

 

Gurung yang menjabat kapten Bhutan di pertandingan itu tersenyum simpul. Ia menoleh ke arah tribun stadion yang atapnya lebih menyerupai atap kuil. Para pendukung Bhutan masih di sana. Mereka tidak meninggalkan bangku stadion lalu memilih pulang. Pendukung Bhutan bergeming, meski mereka tahu timnas mereka di ambang kekalahan telak.

 

Dalam kondisi tertinggal begitu jauh, toh, mereka tetap bernyanyi serta meneriakkan kata-kata yang membakar semangat pemain Bhutan. Para suporter, agaknya, hendak menunjukkan kepada pemain timnas Bhutan bahwa mereka tidak sendirian. “Penderitaan ini biarlah kita tanggung bersama”, mungkin demikian gumam para suporter Bhutan. Pada titik itulah saya melihat momen perjuangan kolektif sebuah bangsa dipertontonkan secara telanjang. Di tengah situasi sulit, mereka tak meninggalkan satu sama lain, tapi justru saling menguatkan.

 

Dan entah kenapa tampaknya dukungan tak putus-putus dari penonton itu seakan berubah menjadi mantra baru yang menyuntikkan energi kepada para pemain Bhutan. Benar saja, di pengujung pertandingan, para pemain Maladewa yang sudah siap kembali ke negara mereka dengan kemenangan mudah malah direpotkan oleh pemain Bhutan.

 

Tshering Dorji mengawali perlawanan balik Bhutan tersebut. Memanfaatkan bola liar di depan gawang Maladewa, Dorji dengan lihai menyepak bola yang gagal ditangkap secara sempurna oleh Imran Mohamed. Gol tersebut sontak membuat pendukung Bhutan kian bergemuruh. Sepakan Dorji mengawali semangat baru anak-anak Bhutan.

 

Sisa waktu coba dimanfaatkan pemain Bhutan untuk mengejar ketertinggalan. Mereka tampil kesetanan jelang laga berakhir. Pemain Maladewa mereka bikin kewalahan meladeni tusukan-tusukan tajam nan berbahaya.

 

Harapan itu terjawab di menit ke-88. Chenco Gyelthsen merobek jala Maladewa dan disusul dua menit setelahnya Biren Basnet melakukan hal serupa. Papan skor tak lagi timpang 0-4 melainkan berubah 3-4. Semangat pemain Bhutan mampu memangkas jarak yang sedemikian lebar dengan Maladewa.

 

Pemain Bhutan enggan takluk begitu saja, menolak kalah secara cuma-cuma. Anak-anak Bhutan tampil militan di menit-menit akhir, seolah tak rela membiarkan pemain Maladewa membawa pulang tiga poin dengan mudah.

 

Meski tak mampu menang atau minimal menahan seri Maladewa, skor 3-4 tersebut sudah lebih dari cukup bagi Bhutan. Maladewa, nyatanya, jauh berpengalaman dan memiliki materi pemain lebih baik dari Bhutan. Apalagi sebelumnya mereka sempat mengalami defisit hingga empat gol. Memberikan perlawanan sengit hingga mampu menceploskan tiga gol di menit-menit akhir pertandingan sudah dirasa seperti kemenangan bagi pemain Bhutan.

 

Semua raihan Bhutan di malam pertandingan itu tak lepas dari kontribusi pendukung setia mereka dan, tentu saja, restu Sang Buddha.

 

Alih-alih lempar handuk dan membiarkan Maladewa menang dengan mudah, anak-anak Bhutan memilih mengumpulkan serpihan-serpihan kebahagiaan yang dilemparkan para pendukungnya sepanjang pertandingan. Yel-yel dukungan serta sorak sorai menjadi lebih dari sekadar kata-kata penyemangat, tapi telah menjelma bagai sebuah kebahagiaan tak terpermanai bagi pemain Bhutan.

 

Situasinya seperti Anda berada pada sebuah kondisi mahasulit, yang mana satu per satu orang kepercayaan Anda mulai meninggalkan Anda. Di saat orang lain membiarkan Anda berkubang dalam masalah, pendukung Bhutan tetap tinggal dan menjadi semacam support system yang ajek. Mentalitas seperti itu tak mungkin diperoleh dari tipe masyarakat yang ‘ngambekan’ atau baperan. Sering kita lihat, di pertandingan besar sebuah liga elite eropa, suporter sebuah tim buru-buru cabut dari stadion lantaran tim kesayangannya bermain kelewat jelek.

 

Timnas Bhutan di awal-awal laga, bisa dilihat, bermain sama jeleknya. Bahkan mungkin lebih jelek dari kesebelasan Eropa itu. Namun, penduduk Bhutan bersetia, entah berapa kali gawang mereka kebobolan, pendukung Bhutan selalu bertepuk tangan menyemangati para pemain. Itulah sebentuk kecil kebahagiaan yang menyelinap di relung hati para pemain Bhutan.

 

Identik dengan kebahagiaan

 

Dalam persepktif dunia luar, Bhutan memang telanjur identik dengan kebahagiaan. Ini tidak lain berkat gagasan besar raja keempat Bhutan, Jigme Singye Wangchuck (1972-2006), yang enggan mengikuti arus utama dunia dalam mengukur kesejahteraan suatu negara. Ia tidak berpedoman pada gross national product (GNP) atau produk nasional bruto, pendapatan total ekonomi negara selama setahun.

 

Sang Raja telah menelurkan gagasan sendiri untuk negerinya, yakni gross national happiness (GNH). Ini adalah pendekatan pembangunan yang berkelanjutan dan holistik, yang mengharmoniskan aspek material dan non-material, demi kebahagiaan rakyat. Dari gagasan besar GNH inilah yang kemudian turun menjadi empat pilar prinsip pembangunan, yaitu konservasi lingkungan, preservasi dan promosi kebudayaan, keberlanjutan dan kesetaraan pembangunan sosial ekonomi, serta praktik pemerintahan yang baik.

 

Ide besar raja itu sebenarnya amat dipengaruhi filosofi ajaran Buddha dalam memaknai konsep kebahagiaan. Bhutan sendiri adalah negeri kerajaan Buddha Himalaya terakhir di dunia. Kini, setelah Bhutan dikenal di arena internasional, mereka tidak ragu untuk mempromosikan nilai-nilai warisan luhur itu kepada dunia.

 

Soal bagaimana memaknai kebahagiaan, ada penjelasan sederhana, yaitu suatu kondisi batin yang terbebas (atau setidaknya berjarak) dari rasa menderita. Dan, itu dapat dimulai dengan melatih kesadaran atau mindfulness, kasih sayang atau compassion, kesabaran, kebaikan hati, dan kekosongan atau emptiness. Latihan meditasi menjadi metode yang signifikan untuk mengembangkan kemampuan tersebut.

 

Kembali ke pertandingan menggugah tersebut, laga antara Bhutan dan Maladewa agaknya bisa kita gunakan untuk sedikit melihat bagaimana cara orang Bhutan memaknai kebahagiaan, walau untuk hal yang remeh sekalipun. Kebahagiaan, bagi orang Bhutan, jauh dari sekadar petantang-petenteng mengagung-agungkan privilese.

 

Lebih dari itu, kebahagiaan menurut mereka adalah bagaimana bereaksi terhadap masalah dengan itikad tulus untuk mengubahnya menjadi kebaikan bersama.

 

Read More

Senin, 06 Juli 2020

Malam Terakhir


 

Pernah merasakan dahsyatnya ekspektasi? Seperti yang sudah usang dan berulang, kenyataan lagi-lagi tiada seindah angan.

 

Bayangkan diri Anda adalah seorang yang permisif, pencari peluang, dan terimpit usia-usia yang kian menua. Malam ini kecewa itu hadir kembali. Perempuan yang dalam dua pekan terakhir mengisi kolom obrolan ternyata tak memendam perasaan yang sama. kecewa, marah, sedih, dan perasaan bersalah menggulung jadi satu.

 

Malam ini untuk kesekian kalinya pula saya salah paham. Salah mengartikan gayung bersambut. Semuanya fana, seperti ia selalu jadi bagian kehidupan. Dan celakanya saya lupa akan hal itu. Saya meminta kepastian, sebagaimana Ardhito Pramono tumpahkan dalam lirik What Do You Feel About Me-nya.

 

Tuntutan untuk tak lagi menjalani tarik ulur membesar. Saya mendesaknya dengan kata-kata. Seperti saya mendesak pejabat publik kotor dengan pertanyaan saban hari.

 

Tak semestinya saya menggunakan cara tak halus seperti itu. Terlebih sang puan bukanlah pejabat publik atau politisi dari kubangan lumpur. Seharusnya saya memperlakukannya tetap anggun.

 

Bagaimanapun ia perempuan biasa yang dengan tangan terbuka menerima ajakan obrolan saya. Mungkin tak terlintas sedikit pun di benaknya untuk mempermainkan. Di titik kontemplasi itu saya tersadar, ekspektasi kembali menerkam.

 

Malam ini jadi malam terakhir, benar-benar terakhir. Harapan tinggi jatuh, menguap tak berbentuk. Nyata bukan pertanda, hanya pikiran ku saja, harapan itu semu. Sulit untuk aku percaya sampai akhirnya aku lihat sendiri. Kunto Aji- Ekspektasi

Read More

Rabu, 02 Juli 2014

From Surabaya With Care

Pada tulisan kali ini, saya akan memberikan pandangan mengenai dua kejadian pahit dan menyedihkan yang baru saya alami.

Tak terasa sudah hampir tiga tahun saya berpetualang di Surabaya untuk menimba ilmu. Semenjak kelulusan saya dari Sekolah Menengah Atas (SMA) 2011 silam, banyak pengalaman berharga yang sudah saya dapatkan dalam waktu yang cukup singkat ini. Secara pribadi saya merasa ada peningkatan dalam aspek kognitif selama saya menimba ilmu di Kota Pahlawan. Dengan banyaknya teman-teman baru dari berbagai daerah di Indonesia disadari atau tidak telah mampu menambah atau memperkaya perspektif saya terhadap segala hal sentimentil yang ada di kehidupan ini. Yang ingin saya sampaikan di sini adalah pentingnya bagi kita untuk memperkaya pandangan atau perspektif di era yang semakin dinamis ini. Kita tidak dapat hanya mempunyai satu perspektif dalam memandang suatu hal. Seperti yang Prof. Rhenald Khasali pernah utarakan, "Belajarlah memandang segala sesuatu dari berbagai perspektif."

Selama hampir tiga tahun menetap di Surabaya, saya senang sekali sudah berhasil meraih berbagai pencapaian diantaranya juara di berbagai kompetisi menulis ilmiah dan kompetisi dengan berbasiskan disiplin ilmu yang sedang saya geluti sekarang. Punya banyak teman, meraih prestasi, dan perspektif yang makin kaya adalah hal yang tidak ternilai bagi saya dan saya sangat berterima kasih serta bersyukur kepada Ida Shang Hyang Widhi Wasa atas bimbingan dan anugerahnya hingga saya bisa memperoleh berbagai hal indah dalam kurun waktu tiga tahun ini.

Seperti konsep wastra poleng (kain hitam-putih) di Bali yang mengajarkan bahwa hal buruk dan baik senantiasa berdampingan dan saling mengisi, saya pun tidak terhindar dari hukum alam tersebut. Di samping beberapa hal baik yang saya peroleh selama di Surabaya, saya pun mengalami beberapa rentetan nasib buruk dan menyedihkan di sini. Kemalangan pertama yang baru-baru ini saya alami adalah pada pertengahan bulan Juni ini saya mengalami musibah kehilangan gadget iPhone kesayangan. Menyedihkan sekali, mengingat ponsel pintar itu genap sudah setahun lalu Ajik (Ayah) membelikannya untuk saya. Kehilangan itu pun karena kecerobohan saya sendiri dan saya tidak ingin mengungkit kehilangan itu lebih jauh. Saya menjadikan kehilangan ini sebagai pelajaran yang teramat penting dalam hal menjaga barang berharga terutama di kota besar yang sangat rawan dengan aksi pencurian.  

Lebih lanjut, kurang dalam kurun waktu seminggu, kejadian menyedihkan lainnya menghampiri. Berita mengejutkan datang dari kawan -mungkin saya lebih pantas menyebutnya sahabat- lama saat SMA dulu. Namanya Gus Adi, dan ia merupakan salah seorang kawan dekat yang sudah saya anggap saudara saya sendiri. Kami terbiasa bepergian bersama, menjalani berbagai hal dan sudah lama mengenal satu sama lain sejak pertama kali kami dinyatakan lulus ujian masuk SMA. Banyak hal menyenangkan yang sudah saya lewati bersama ia dan teman-teman lainnya. Berita mengejutkan itu ternyata berita duka yang menyampaikan bahwa Ayahanda dari Gus Adi telah berpulang dan jujur saya sangat terkejut dengan berita tersebut. Setahu saya ayah dari Gus Adi adalah pria yang enerjik dan penuh semangat. Ia merupakan ayah yang baik dan setiap anak di dunia pasti mendambakan memiliki ayah seperti ayah Gus Adi. Dukungannya dalam menjadikan Gus Adi seorang calon dokter merupakan hal yang paling saya kagumi.

Sebagai kawan dekat tentu saya turut berduka cita yang amat dalam atas kepergian ayahanda dari Gus Adi. Air mata saya tidak terasa menetes setelah mendengar berita itu. Ingin rasanya saya segera berkemas menuju Denpasar untuk mengucapkan bela sungkawa dan memberikan dukungan moril kepadanya setelah kenyataan pahit yang harus ia alami. Tapi apa daya dengan jadwal kuliah yang masih padat ditambah dengan saat ini saya mulai memasuki musim Ujian Akhir Semester menghalangi niat saya untuk pulang. Dengan berat hati dan rasa kecewa karena tidak bisa secara langsung menyampaikan rasa duka cita, akhirnya malam ini saya berinisiatif untuk menelepon Gus Adi dan memberikan motivasi serta dukungan dan semangat baginya untuk tetap mengarungi kehidupan. Saya selalu katakan padanya, "Kamu tidak sendirian". Kami sebagai temanmu senantiasa ada di saat kamu memerlukan kami.

Itulah berbagai rentetan hal buruk yang saya alami di pertengahan tahun 2014 ini. Mungkin benar kata leluhur saya yang pernah mengajarkan filsafat wastra poleng kepada saya. Filsafat dari wastra poleng sendiri adalah seberapa pun bahagia yang kita rasakan, segitu pula kesedihan yang akan kita alami. Sementara seberapa pun kesedihan yang kita rasakan maka kebahagiaan yang setara pun juga akan kita rasakan. Inti dari filsafat ini adalah keseimbangan kehidupan (balanced life). Orang Bali senantiasa menjaga keseimbangan dalam kehidupan mereka sehari-hari, hal ini dijabarkan dalam konsep Tri Hita Karana dalam kehidupan masyarakat Bali. Kembali kepada topik tentang kejadian menyedihkan yang baru saya alami, saya sendiri harus dewasa dalam menyikapi berbagai kejadian buruk dan tidak mengenakkan yang baru saja saya alami. Ini adalah proses untuk mendewasakan diri dan saya menganggap kejadian ini juga upaya dari Tuhan untuk lebih meningkatkan rasa mawas diri sekaligus memperkaya pandangan atau persepektif seperti yang sudah saya tuliskan di awal.

Mengingat filosofi wastra poleng, saya berharap setelah gelap ini akan terbit terang yang akan bersiap meyapa di ufuk. Bukankah orang Jepang dengan ritual minum tehnya (Shodou) mengajarkan kita semua bahwa hidup itu berkenaan dengan hal-hal pahit (perjuangan, kerja keras, dll) yang tercermin dalam teh yang rasanya sangat pahit, kemudian akan berganti dengan rasa manis -kue-kue manis yang disajikan setelah upacara minum teh- setelahnya. Ya, ini memang suatu fase hidup yang kadang kita berada di bawah dan kadang juga kita berada di atasnya. 

Read More

Sabtu, 02 April 2011

Keteguhan

Ketika Raja Louis XVI digulingkan dari takhtanya dan dijebloskan ke dalam penjara, puteranya yang merupakan pangeran penerus takhta kerajaan diculik oleh orang-orang yang mengkudeta kerajaan.

Sang pangeran dihadapkan pada hal-hal yang paling menjijikan secara moral. Mereka pikir, jika sang pangeran terpengaruh pada godaan duniawi maka ia tidak akan bisa mencapai takdirnya sebagai raja.

Setiap hari, sang pangeran disuguhi berbagai makanan yang mewah yang jumlahnya sangatlah banyak, minuman anggur, para pelacur yang sangat erotis, bahkan kata-kata jorok dan kasar yang tidak layak diucapkan oleh bangsawan seperti dia.

Hari berganti hari, hingga akhirnya setelah enam bulan, mereka menyerah. Sang pangeran ternyata tidak tergoda sedikit pun terhadap godaan dunia. Mereka pun bertanya kenapa sang pangeran begitu teguh. Sang pangeran berujar, ”Aku tidak mungkin melakukan hal-hal menjijikan seperti itu, karena sejak dilahirkan Aku telah ditakdirkan sebagai seorang raja“.

Kita harus mempunyai keteguhan dalam mempertahankan impian kita. Tidak dapat dimungkiri bahwa perjalanan menuju ke tangga sukses penuh onak dan duri.

Lantas bagaiamana kita bisa memiliki keteguhan? Yang terpenting kita harus mempunyai paradigma atau citra diri yang positif kepada diri kita. Siapakah kita? Apa takdir kita di dunia ini?

Diri Anda andalah makhluk Tuhan yang paling sempurna. Takdir Anda adalah mengabdikan dirinya. Menyerukan namanya di dunia ini. Apapun impian
Read More

Pantang mengeluh


Sebagai manusia, wajarlah jika sesekali kita mengeluh dengan keadaan yang tidak sesuai keinginan. Tetapi, tidak pantas rasanya jika setiap kali kita menemukan hal yang melenceng saja dari apa yang kita inginkan dihadapi dengan mengeluh.

Mengeluh sepertinya sudah menjadi “tren”. Contohnya saja dengan adanya jejaring sosial yang memungkinkan untuk kita bisa share apapun yang kita alami. Ini secara tidak langsung dapat menjadi hal pelancar mengeluh. Pentingkah menceritakan semua yang menimpa kita kepada semua orang? Apakah dengan menceritakan semuanya dapat menghilangkan masalah itu? Tentu tidak.

Memang, mengeluh sah-sah saja untuk mencari solusi masalah kita. Yang terjadi ketika kita mengeluh, apakah kita berpikir untuk menemukan solusi? Kebanyakan kita tidak berpikir jauh seperti itu. Secara tersirat, tujuannya hanya ingin orang mendengarkan keluh kesah kita

Sebenarnya, dengan atau tanpa mengeluh hidup tetaplah hidup. Yang harus dijalani walaupun lelah, yang harus dihadapi walaupun berat, yang harus dimengerti walaupun rumit. Memperlihatkan kelemahan kita justru akan menjadi negatif.

Sebegitu susahkah untuk bersyukur?

Read More

Selasa, 23 Maret 2010

Blogger vs Anak Band


Trend warna musik ala anak band, yang kian mendominasi pentas musik tanah air, tak dapat dipungkiri telah melahirkan banyak anak-anak muda kreatif di negeri ini. Dan atas karya yang mereka hasilkan, tentu saja tak sedikit keuntungan yang berhasil di raih, dari mulai popularitas hingga limpahan materi.

Dan menurut teman saya di kelas,kebetulan dia adalah anak band juga dan bandnya cukup dikenal di seputaran Denpasar dan Badung bahkan mungkin hingga saya menulis postingan ini,band yang dia gawangi sudah mulai di kenal di Bali,
kata dia sih.., selain popularitas dan materi,keuntungan lainnya menjadi anak band itu adalah sangat gampang untuk menaklukan hati wanita yang sekalipun bukan merupakan fansnya.

Image anak band yang Keren,Cool dan macho nampaknya sudah mulai melekat di kalangan Kaum Hawa satu dekade ini.
Sampai saya pun berpikir untuk beralih Profesi dari Yang hanya seorang Blogger yang nggak dikenal menjadi seorang anak band yang dengan sejuta fansnya menyihir wanita-wanita manapun yang meliiknya,Memang saya rasa sangat menguntungkan berprofesi anak band daripada seorang Blogger,Honor yang diterima anak band jauh melampaui honor yan diterima seorang Blogger dari pemasangan Iklan di Blog mereka.

Tapi apa daya saya sudah sangat terlanjur mencintai dunia Tulis menulis dan Posting di dunia maya ini,seakan sudah menjadi nafas bagi saya.
ada keasyikan sendiri bagi saya dalam menggeluti profesi sebagai seorang blogger,
Buat kawan Blogger teruslah berkarya walaupun beda dengan Musisi atau anak band yang hasil karyanya berupa Lagu-lagu nan eksotis.
Blogger dapat menciptakan karya tulisan yang tidak kalah dari bagusnya alunan melodi sang anak band,
Intinya apapun profesi kita,kita harus memiliki Tekad dan kemauan yang keras dalam menjalaninya "ASTUNGKARA" segalanya itu akan berbuah manis,karena Tuhan tidak pernah menutup jalan seseorang kita harus terus berusaha..

Salam Blogger,


By blog3hari.blogspot.com
Read More

How to make your Blog Succes


One of the most important things that should not be overlooked is to find your own niche. Take a look at some popular blogs then you will find that the majority of them specialize in a particular field. So, please do not post unrelated contents on your blog. The best way is to pick a subject in which you are interested in and you are really knowledgeable about. The next step to take is to create content that are centered around that matter. After you have been recognized as an expert in your chosen field, people will pay a visit to your blog regularly in order to see your latest writings. This kind of visitors, the ones who are also interested in your topic, is very potential to be your loyal readers.

Another essential factor is, as stated previously, the content should be kept updated on a regular basis. A large number of blogs rarely get updated, and as a consequence do not have any kind of loyal audience. Ensure that you do not fall into this category. Strive for consistent and frequent updates to make certain that your readers will have a good reason to coming back. Adding new content on a daily basis is actually very ideal. However , if you simply cannot cope with it, then at the very least make an effort to post two or three articles per week.

Besides quantity, do not forget to think about the quality of your blog posts. You need to make sure that the articles are informative, the ones that provide something useful to the readers. Keep away from producing short blog posts that do not provide something fresh, as well as posts that can be classified as an advertisement. You want visitors to stay longer on your blog. Give them something unique that they cannot find anywhere. Find a way to provide things like in-depth product reviews, a clear explanation to accomplish something, rare interviews, or perhaps lists of resources that will be beneficial to your readers.

When creating your blog posts, keep your reader in mind. If they are newcomers, create content which are easy to grab. But for the expert audiences, you may provide technical terms and an appropriate language. It is also essential to check your blog stats regularly since they can tell you what your visitors are actually searching for. Make the most of these stats, and create more content based on the data generated.

These days there are an incredible number of weblogs on the cyberspace. So, to create one that stands out of the crowds, it is a must to provide quality, informative content for your blog.

By: andre rausin
Read More

Sabtu, 20 Maret 2010

5 Ways To Succesfully Motivate



There does exist ways to ensure that you do not suffer the same fate many do when they fail to reach goals they have set for themselves.

Here are 5 simple techniques you can use to help maintain your self motivation so that you can consistently accomplish any objectives you set for yourself.

Remember Your Reasons

It is important to continually remind yourself as to why it is you are pursuing any particular goal or objective. This is especially true with goals that may take longer to achieve than others. It is normal to lose motivation after investing a lot of effort and not seeing the desired results. Reminding yourself of the benefits 'reinvigorates' your motivation so that you can continue to move closer to accomplishing your objectives.

Daily Inspiration

Periodic reinforcement of the success of others is an effective way to strengthen your own self motivation. Knowing that others have endured the same or similar challenges and succeeded is both inspirational and proof that it can be done.

Associate with Like Minded People

Surrounding yourself with like minded people or those who at least are supportive of your actions will help you to maintain your motivation. Having a source of support and encouragement can help you through times of frustration and can also offer insight that may be helpful.

Monitor Your Progress

Chart your progress and especially if you expect that your efforts will take a long time before you see any results. By doing this you can seek and find encouragement as you see progress being made. Nothing will zap your motivation quicker than realizing your efforts are getting you nowhere.

Learn from Set Backs

Expect setbacks and mistakes to occur so that when they do you can identify what went 'wrong' so that it does not happen again. Every mistake should teach you something of value if you are observant and this will make you better at what it is you are trying to accomplish. This feeling of 'empowerment' is a great source of confidence and self motivation.

When you learn how to motivate yourself you no longer fear those unexpected obstacles life often presents that may not allow you to reach goals you have set. Self motivation is a very empowering feeling since you do not have to rely upon others to maintain your ambition. Having the ability to call upon your own 'inner means' to either overcome a lack of motivation or to strengthen what you already have is a liberating sensation. The 5 techniques discussed above will help you maintain your self motivation for whatever reasons you may have. The end result will be more successes and less failures making for a happier and fuller life for you.

By: T. J. Philpott
Read More

10 Reasons To Stop Complaining About The Rain



Almost every summer the banks of Goonoo Goonoo (pronounced Gunny Ganoo) Creek would burst and flow up through the paddocks to our house. If we were not fast enough with sandbags, the water would flow on inside. Thankfully there were usually warnings from farmers further upstream of the flood water approaching.

My folks usually evacuated us until it subsided. It became common for the local newspaper to publish photos of us four children on the tractor, being taken out through the flood water to safety.

Our next farm was struck by severe drought, lasting most of the decade. While school friends headed off to the beach with their families, our holidays were spent sitting on the backs of our horses in scorching summer heat, minding the sheep as they fed off the sides of the roads. There was no longer any food left for them in our own paddocks.

The dams dried up and the well was so low that the windmill no longer pumped water. We dragged bucket after bucket of water up on a rope to fill the trough. We could not do it fast enough for the animals though. They would drink it down before we had started on the next bucket. It was a long process.

Eventually water had to be purchased by the truckload. Around the same time we were dragged off to church for special services put on for the farming communities to pray for rain. Being a teenager seemed a long, tiresome stint at times.

Naturally, a child would prefer being transported on a tractor through flood waters than being dragged off to church to pray for rain, or spending their holidays eating peanut butter sandwiches and drinking green cordial while on horseback, battling it out with the flies for their lunch.

As a result, I have grown to absolutely adore the rain. Living in the tropics at one time was a dream come true, with heavy solid rain every day for months. I never tired of it.

Looking out the window now, I see the creek is flowing well. The sound of rain on the tin roof is heaven and frogs are singing new songs.

I know all about floods and the damage they cause to those living in their path. I do not wish such misfortune on anyone. But it is going to rain anyway, so if you do not need to be considering the safety of your family, then why not just enjoy it?

We are blessed to have access to clean water. As Westerners, we have it very easy. Look at our fellow humans and how difficult a simple thing like a drink of clean, healthy water is to obtain. People’s whole lives revolve around the basics of survival, getting enough food and water to get through each day.

The song of the rain on the roof is always one that nurtures me. Living under a tin roof again, rather than a tiled one, is splendour in the truest sense of the word. I am overwhelmed with gratitude on this gorgeous rainy afternoon.

So before you complain about the rain, or if you are looking to combat someone else’s complaining, here are some points to consider.

Without rain:

1. We would be thirsty. Nothing we drink would exist without water.

2. We would be smelly. With no showers or water to swim in, we would get a tad rough on the nose before too long.

3. We would be very sunburned. No rain means trees don’t grow. No trees mean no shelter. Even mud houses cannot be made without liquid.

4. There would be no flowers. What would a world be like without such beauty? I shudder to think of life without such kisses of colour.

5. We would all be rather quiet. With nothing to drink, our mouths would dry up and provide no saliva. Conversations would surely cease if no liquid substitute were possible.

6. We would be hungry. No rain means no veggies or other delicious healthy food. Or for the carnivores, it means no crops to feed the animals and no water for them to survive anyway.

7. We would have no excuse to stay at home unexpectedly. Many people cannot stay home unless they give themselves permission to. Rain tends to do that for some.

8. We would be mighty unpleasant on the eye. As our bodies are mostly made up of water, if not replaced, we would shrivel up pretty fast…if we managed to live that long, which we wouldn’t. But if we did, we would resemble a prune. Not that there would be any prunes to compare ourselves to. No rain, no prunes.

9. We would have no rainbows, one of the greatest losses of all. How can the sky show us its magical spectrum without water falling?

10. We would be dead, as simple as that, and within a very short time.

So I prefer to rejoice on rainy days. There is little I love more than to watch everything washed clean, to hear the sound of rain falling, and to watch the natural world unfold as it has done for millions of years, long before we came along and started complaining about some clear, wet stuff falling from the sky.

Let us give thanks for rainy days. The sun will shine again. But we need the rain too.

Let us focus on the blessings of rain, rather than the imagined inconvenience of it.

It is a life force we cannot survive without.

And what is so bad about walking in the rain anyway?

Perhaps you will even find yourself jumping in a puddle now and then. But be careful…it just might be fun.

Taken From Bronnie ware
Read More

Kamis, 18 Maret 2010

kemenangan menjadi hal termanis jika anda pernah merasakan kekalahan


Sangat manusiawi dan merupakan fitrah jika kita berharap hidup sukses dan terhindar dari berbagai masalah. Tidaklah normal manakala orang berharap kemiskinan atau munculnya masalah dalam hidup.


Sayangnya, jalan menuju kesuksesan tidak dibangun di atas kesuksesan. Ia dibangun di atas kegagalan bahkan kehancuran. Jatuh bangun bahkan nyaris prustasi, adalah jalan umum yang dilalui kebanyakan orang sukses.

Coba tengok kisah mereka yang menemukan kesejahteraan hidup. Anda akan menemukan onak dan duri dalam setiap perjalanannya. Caci maki, hina dina, dan segala bentuk rasa sakit menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan hidupnya.

Masalahnya, tidak semua orang mau menempuh perjalanan itu. Bahkan hanya sedikit yang bisa mencapai puncak kesuksesan karena memang hanya sebagain kecil yang bermental baja dan siap dengan segala tantangan.

Kebanyakan orang selalu dihantui perasaan tak percaya diri manakala menemui kendala. Parahnya, banyak yang justru menghindari segala bentuk kegagalan. Ia takut berbuat karena takut gagal. Tidak mau memulai bisnis karena takut rugi. Akhirnya hidup tidak pernah beranjak. Waktu terus berjalan, tapi mereka tak pernah bergerak kemanapun. Akhirnya waktu semakin meninggalkannya dan kehidupanpun kian gelap gulita.

Sementara mereka yang terus bergerak bahkan pergerakkannya lebih cepat dari waktu, mereka berhasil melewati kegelapan dengan penuh suka cita. Mereka adalah manusia bermental baja, tak akan pernah peduli segala kendala dan kegagalan. baginya, kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Caci maki dan segala bentuk hinaan adalah pupuk.

Dan tahukan Anda bahwa segala bentuk kegagalan masa lalu adalah kenangan termanis yang begitu indah untuk didengar dari mulut orang-orang sukses. Ternyata memang benar, kemenangan menjadi hal termanis jika Anda pernah merasakan kekalahan.

source: http://www.tohanasrudin.com
Read More

Jatuh dan tidak berani bangkit lagi,itulah gagal yang sebenarnya


Sejarah mencatat bahwa Wright bersaudara adalah orang yang pertama sekali berhasil menerbangkan pesawat. Meski demikian, mereka berdua sebenarnya bukanlah pelopor penelitian pesawat terbang. Pelopor pesawat terbang yang sebenarnya adalah Dr Samuel Langley yang sudah meneliti kemungkinan manusia terbang sejak tahun 1890 ( 13 tahun sebelum Wright menerbangkan pesawat ).

Mengapa Dr. Samuel Langley justru tidak dikenal orang? Ternyata, setelah melakukan penelitian dan berulang kali mengalami kegagalan selama 13 tahun, akhirnya Langley menghentikan penelitiannya. Keputusan itu diambil Langley ketika tgl 8 Oktober 1903 setelah untuk kesekian kalinya percobaannya gagal. Tahukah kita, bahwa hanya selang dua bulan dari sikap putus asa Langley tersebut, pada tanggal 17 Desember 1903, Wright bersaudara berhasil menerbangkan pesawatnya!

Patut disayangkan, bukan? Sedikit lagi Dr. Langley meraih kesuksesan, tapi sayang ia buru-buru berhenti karena tidak tahan menghadapi kegagalan.

Jatuh bukan berarti gagal. Jatuh dan tidak berani bangkit, itulah gagal yang sebenarnya! Jangan pernah putus asa dan menyerah kalah. Kita tidak pernah tahu bahwa sebenarnya tinggal selangkah lagi kita meraih keberhasilan, jangan sampai hal tersebut urung terjadi hanya gara-gara kita memutuskan untuk berhenti lebih awal. Seorang juara bukanlah mereka yang tidak pernah jatuh, melainkan dia yang selalu bangkit setiap kali gagal.

Kita semua pernah jatuh, yang membedakan hanyalah beberapa diantaranya menyerah kalah sementara yang lainnya berani bangkit kembali.

source: linkbee.com
Read More

Segera bangkit dari keterpurukan

Jika Anda mau menerima kegagalan dan belajar darinya, jika Anda mau menganggap kegagalan merupakan sebuah karunia yg tersembunyi dan bangkit kembali, maka Anda memiliki potensi menggunakan salah satu sumber kekuatan paling hebat untuk meraih kesuksesan."
~ Joseph Sugarman

Kehidupan kita tak akan pernah berjalan semulus yang kita pikirkan. Berbagai macam tantangan, misalnya kehilangan pekerjaan atau orang-orang yang dicintai, disabotase, bangkrut dan lain sebagainya, bisa saja menyeret kita dalam keterpurukan. Bila kita melihat ke sekeliling, begitu banyak orang-orang yang tenggelam dalam keterpurukan dan terjerat cukup lama dalam kegelapan, misalnya menjadi pecandu narkoba, budak hutang dan kemiskinan, korupsi atau melakukan tindak kejahatan lainnya lalu dipenjarakan, dan bentuk kemalangan lainnya.

Bila kita cukup cerdas dalam menghadapi tantangan kehidupan, bermacam bentuk benturan keras seperti itu seharusnya tidak membuat kita semakin terpuruk. Tantangan kehidupan adalah kesempatan untuk introspeksi diri. Benturan keras dalam kehidupan akan menjadikan kita lebih mulia, jika kita segera sadar atas kekeliruan yang telah dilakukan, kelemahan yang harus diperbaiki, kembali menyusun dan melaksanakan rencana dengan lebih baik.

"Remember the two benefits of failure. First, if you do fail, you learn what doesn't work; and second, the failure gives you the opportunity to try new approach. – Ingatlah 2 keuntungan yang kita peroleh dari kegagalan. Yang pertama adalah mempelajari apa yang tidak berjalan dengan baik; dan kedua adalah menjadi kesempatan bagi kita untuk mencoba pendekatan baru," kata Roger Van Oech.

Menurut Roger, tantangan kehidupan adalah bagian dari perjalanan hidup supaya kita menjadi lebih cerdas menghadapi tantangan kehidupan. Tokoh-tokoh terkenal dan sukses, misalnya Walt Disney, Soichiro Honda, Thomas Edison, Wright Bros, Fred Smith, Mohamad Ali, Henry Ford, Bill Gates, Steve Jobs, Oprah Winfrey, Christoper Columbus, Anthony Robins, dan lain sebagainya, sudah pernah mengalami keras dan sakitnya kehidupan. Tetapi semua pengalaman pahit tersebut justru membimbing mereka ke gerbang kesuksesan.

Kesuksesan mereka bukan semata-mata dipengaruhi oleh faktor pendidikan ataupun modal, apalagi faktor kebetulan. Mereka berhasil lantaran kekuatan dan kecerdasan mereka menghadapi tantangan kehidupan. Menurut Paul G. Stoltz, Phd, dalam bukunya berjudul Adversity Quotient (AQ), ada tiga tipe manusia dalam analogi mendaki gunung:

1. Quitters – orang-orang yang mudah menyerah, sehingga kehidupan mereka semakin terpuruk dalam kemalangan.
2. Campers – orang-orang yang mudah puas dengan apa yang sudah dicapai, sehingga kehidupan mereka biasa-biasa saja.
3. Climbers – orang-orang yang selalu optimis, berpikir positif dan terus bersemangat kerja sampai benar-benar mendapatkan yang mereka
inginkan.

Contoh dari tipe orang ke tiga adalah orang-orang yang sukses di dunia ini. Selalu memanfaatkan kesempatan untuk maju dan pulih dari keterpurukan adalah ciri khas mereka yang utama. Tak mengherankan jika mereka melalui setiap rintangan dengan tabah, berjuang keras, dan mental yang kuat.

Tantangan kehidupan memang tidak pernah ada habisnya. Tetapi selama kita terus berusaha memperbaiki diri dan strategi ditambah dengan kesadaran spiritual yang lebih dalam, maka kita akan dapat mencapai tujuan tertinggi. "Our greatest glory is not in never falling, but in rising everytime we fail. – Kejayaan tertinggi bukan karena kita tidak pernah jatuh, melainkan karena kita selalu bangkit lagi ketika gagal," cetus Confucius.

Oleh sebab itu, perbaiki diri terus-menerus, jangan menunggu sampai kemalangan itu benar-benar datang. Mantapkan keyakinan ketika membuat perencanaan dan menetapkan target yang memungkinkan tercapai. Kemudian langsung melakukan langkah-langkah untuk memastikan hasil maksimal, dengan penuh komitmen dan kerja keras, kecintaan dan semangat. Dengan demikian kita akan memiliki kepekaan sekaligus keseimbangan disaat harus menghadapi tantangan kehidupan yang cukup keras.

Mulai detik ini tanyakanlah pada diri sendiri seberapa besar pengaruh positif yang telah Anda dapatkan atas berbagai situasi yang Anda alami? Pastikan tantangan hidup selama ini membawa Anda pada kedewasaan, kebijaksanaan dan kualitas spiritual yang lebih baik. Dengan demikian Anda akan dapat menilai apakah Anda sudah mampu bangkit dan menjadi manusia yang lebih mulia atau belum.

source: Bangkit Dari Keterpurukan oleh Andrew Ho, motivator, pengusaha, dan penulis buku-buku bestseller.
Read More

Follow This Blog