Rabu, 05 Agustus 2020

Timnas Bhutan dan Pentingnya Menangkap Serpihan Kebahagiaan di Sekitar Kita

Penduduk Bhutan seolah selalu punya mantra yang mampu mengubah serpihan kecil kebahagiaan menjadi energi besar yang berdampak luar biasa.

 

Bhutan, negara kecil di kaki Gunung Himalaya, terbiasa menyuguhkan kebahagiaan. Di Bhutan, arti sesungguhnya dari kebahagiaan bisa dipelajari, bahkan dari sebuah pertandingan sepak bola.

 

Pada satu pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2018 Zona Asia menghadapi Maladewa, penggawa Bhutan menunjukkan betapa kebahagiaan sebetulnya selalu ada di sekitar kita. Makna kebahagiaan senantiasa tergantung pada bagaimana kita menangkapnya.

 

Pertandingan yang saya maksud dihelat di Changlimithang Stadium di Kota Thimphu, Ibu Kota Bhutan, Oktober 2015. Pendukung Timnas Bhutan sudah menjejali seisi stadion beberapa jam menjelang sepak mula pertandingan. Riuh penonton kian menggema saat pemain kedua tim memasuki lapangan.

 

Dukungan tak hanya datang dari penonton, melainkan juga Sang Buddha. Iya, patung Buddha, lebih tepatnya. Di luar stadion, patung Buddha setinggi sekitar enam meter menjulang, wajah Buddha menatap ke arah lapangan. Telapak tangan patung Buddha itu mengarah ke arah dalam stadion, seolah memberikan ‘mertha’ atau doa restu bagi pasukan Bhutan. Namun, luapan dukungan itu tak membuat Timnas Bhutan mengawali laga dengan apik.

 

Gawang Hari Gurung sudah jebol secara prematur di menit ke-11. Pelakunya adalah Ahmed Nasid, pemain serang utama Maladewa. Mendapat sodoran bola lambung dari lini tengah, Nasid tak kesulitan mengarahkan bola melewati Gurung yang telanjur meninggalkan sarangnya. Seisi stadion sempat mengambil jeda sejenak, mereda dari sorak sorai, namun segera riuh kembali tak lama berselang.

 

Penderitaan Bhutan belum cukup sampai di sana. Sebab, 12 menit setelahnya gawang mereka kembali dibombardir Ali Ashfaq dengan enteng sebanyak tiga kali. Benar, saya tak salah tulis, tiga kali! Trigol Ashfaq tercipta dengan rincian dua kali di babak pertama, dan sekali di babak kedua. Tertinggal empat gol bukanlah situasi yang mengenakkan bagi Bhutan. Bagaimana pertanggung jawaban mereka kepada para suporter –dan bahkan Sang Buddha- yang telah mendukung mereka mati-matian?

 

Gurung yang menjabat kapten Bhutan di pertandingan itu tersenyum simpul. Ia menoleh ke arah tribun stadion yang atapnya lebih menyerupai atap kuil. Para pendukung Bhutan masih di sana. Mereka tidak meninggalkan bangku stadion lalu memilih pulang. Pendukung Bhutan bergeming, meski mereka tahu timnas mereka di ambang kekalahan telak.

 

Dalam kondisi tertinggal begitu jauh, toh, mereka tetap bernyanyi serta meneriakkan kata-kata yang membakar semangat pemain Bhutan. Para suporter, agaknya, hendak menunjukkan kepada pemain timnas Bhutan bahwa mereka tidak sendirian. “Penderitaan ini biarlah kita tanggung bersama”, mungkin demikian gumam para suporter Bhutan. Pada titik itulah saya melihat momen perjuangan kolektif sebuah bangsa dipertontonkan secara telanjang. Di tengah situasi sulit, mereka tak meninggalkan satu sama lain, tapi justru saling menguatkan.

 

Dan entah kenapa tampaknya dukungan tak putus-putus dari penonton itu seakan berubah menjadi mantra baru yang menyuntikkan energi kepada para pemain Bhutan. Benar saja, di pengujung pertandingan, para pemain Maladewa yang sudah siap kembali ke negara mereka dengan kemenangan mudah malah direpotkan oleh pemain Bhutan.

 

Tshering Dorji mengawali perlawanan balik Bhutan tersebut. Memanfaatkan bola liar di depan gawang Maladewa, Dorji dengan lihai menyepak bola yang gagal ditangkap secara sempurna oleh Imran Mohamed. Gol tersebut sontak membuat pendukung Bhutan kian bergemuruh. Sepakan Dorji mengawali semangat baru anak-anak Bhutan.

 

Sisa waktu coba dimanfaatkan pemain Bhutan untuk mengejar ketertinggalan. Mereka tampil kesetanan jelang laga berakhir. Pemain Maladewa mereka bikin kewalahan meladeni tusukan-tusukan tajam nan berbahaya.

 

Harapan itu terjawab di menit ke-88. Chenco Gyelthsen merobek jala Maladewa dan disusul dua menit setelahnya Biren Basnet melakukan hal serupa. Papan skor tak lagi timpang 0-4 melainkan berubah 3-4. Semangat pemain Bhutan mampu memangkas jarak yang sedemikian lebar dengan Maladewa.

 

Pemain Bhutan enggan takluk begitu saja, menolak kalah secara cuma-cuma. Anak-anak Bhutan tampil militan di menit-menit akhir, seolah tak rela membiarkan pemain Maladewa membawa pulang tiga poin dengan mudah.

 

Meski tak mampu menang atau minimal menahan seri Maladewa, skor 3-4 tersebut sudah lebih dari cukup bagi Bhutan. Maladewa, nyatanya, jauh berpengalaman dan memiliki materi pemain lebih baik dari Bhutan. Apalagi sebelumnya mereka sempat mengalami defisit hingga empat gol. Memberikan perlawanan sengit hingga mampu menceploskan tiga gol di menit-menit akhir pertandingan sudah dirasa seperti kemenangan bagi pemain Bhutan.

 

Semua raihan Bhutan di malam pertandingan itu tak lepas dari kontribusi pendukung setia mereka dan, tentu saja, restu Sang Buddha.

 

Alih-alih lempar handuk dan membiarkan Maladewa menang dengan mudah, anak-anak Bhutan memilih mengumpulkan serpihan-serpihan kebahagiaan yang dilemparkan para pendukungnya sepanjang pertandingan. Yel-yel dukungan serta sorak sorai menjadi lebih dari sekadar kata-kata penyemangat, tapi telah menjelma bagai sebuah kebahagiaan tak terpermanai bagi pemain Bhutan.

 

Situasinya seperti Anda berada pada sebuah kondisi mahasulit, yang mana satu per satu orang kepercayaan Anda mulai meninggalkan Anda. Di saat orang lain membiarkan Anda berkubang dalam masalah, pendukung Bhutan tetap tinggal dan menjadi semacam support system yang ajek. Mentalitas seperti itu tak mungkin diperoleh dari tipe masyarakat yang ‘ngambekan’ atau baperan. Sering kita lihat, di pertandingan besar sebuah liga elite eropa, suporter sebuah tim buru-buru cabut dari stadion lantaran tim kesayangannya bermain kelewat jelek.

 

Timnas Bhutan di awal-awal laga, bisa dilihat, bermain sama jeleknya. Bahkan mungkin lebih jelek dari kesebelasan Eropa itu. Namun, penduduk Bhutan bersetia, entah berapa kali gawang mereka kebobolan, pendukung Bhutan selalu bertepuk tangan menyemangati para pemain. Itulah sebentuk kecil kebahagiaan yang menyelinap di relung hati para pemain Bhutan.

 

Identik dengan kebahagiaan

 

Dalam persepktif dunia luar, Bhutan memang telanjur identik dengan kebahagiaan. Ini tidak lain berkat gagasan besar raja keempat Bhutan, Jigme Singye Wangchuck (1972-2006), yang enggan mengikuti arus utama dunia dalam mengukur kesejahteraan suatu negara. Ia tidak berpedoman pada gross national product (GNP) atau produk nasional bruto, pendapatan total ekonomi negara selama setahun.

 

Sang Raja telah menelurkan gagasan sendiri untuk negerinya, yakni gross national happiness (GNH). Ini adalah pendekatan pembangunan yang berkelanjutan dan holistik, yang mengharmoniskan aspek material dan non-material, demi kebahagiaan rakyat. Dari gagasan besar GNH inilah yang kemudian turun menjadi empat pilar prinsip pembangunan, yaitu konservasi lingkungan, preservasi dan promosi kebudayaan, keberlanjutan dan kesetaraan pembangunan sosial ekonomi, serta praktik pemerintahan yang baik.

 

Ide besar raja itu sebenarnya amat dipengaruhi filosofi ajaran Buddha dalam memaknai konsep kebahagiaan. Bhutan sendiri adalah negeri kerajaan Buddha Himalaya terakhir di dunia. Kini, setelah Bhutan dikenal di arena internasional, mereka tidak ragu untuk mempromosikan nilai-nilai warisan luhur itu kepada dunia.

 

Soal bagaimana memaknai kebahagiaan, ada penjelasan sederhana, yaitu suatu kondisi batin yang terbebas (atau setidaknya berjarak) dari rasa menderita. Dan, itu dapat dimulai dengan melatih kesadaran atau mindfulness, kasih sayang atau compassion, kesabaran, kebaikan hati, dan kekosongan atau emptiness. Latihan meditasi menjadi metode yang signifikan untuk mengembangkan kemampuan tersebut.

 

Kembali ke pertandingan menggugah tersebut, laga antara Bhutan dan Maladewa agaknya bisa kita gunakan untuk sedikit melihat bagaimana cara orang Bhutan memaknai kebahagiaan, walau untuk hal yang remeh sekalipun. Kebahagiaan, bagi orang Bhutan, jauh dari sekadar petantang-petenteng mengagung-agungkan privilese.

 

Lebih dari itu, kebahagiaan menurut mereka adalah bagaimana bereaksi terhadap masalah dengan itikad tulus untuk mengubahnya menjadi kebaikan bersama.

 

Read More

Senin, 06 Juli 2020

Malam Terakhir


 

Pernah merasakan dahsyatnya ekspektasi? Seperti yang sudah usang dan berulang, kenyataan lagi-lagi tiada seindah angan.

 

Bayangkan diri Anda adalah seorang yang permisif, pencari peluang, dan terimpit usia-usia yang kian menua. Malam ini kecewa itu hadir kembali. Perempuan yang dalam dua pekan terakhir mengisi kolom obrolan ternyata tak memendam perasaan yang sama. kecewa, marah, sedih, dan perasaan bersalah menggulung jadi satu.

 

Malam ini untuk kesekian kalinya pula saya salah paham. Salah mengartikan gayung bersambut. Semuanya fana, seperti ia selalu jadi bagian kehidupan. Dan celakanya saya lupa akan hal itu. Saya meminta kepastian, sebagaimana Ardhito Pramono tumpahkan dalam lirik What Do You Feel About Me-nya.

 

Tuntutan untuk tak lagi menjalani tarik ulur membesar. Saya mendesaknya dengan kata-kata. Seperti saya mendesak pejabat publik kotor dengan pertanyaan saban hari.

 

Tak semestinya saya menggunakan cara tak halus seperti itu. Terlebih sang puan bukanlah pejabat publik atau politisi dari kubangan lumpur. Seharusnya saya memperlakukannya tetap anggun.

 

Bagaimanapun ia perempuan biasa yang dengan tangan terbuka menerima ajakan obrolan saya. Mungkin tak terlintas sedikit pun di benaknya untuk mempermainkan. Di titik kontemplasi itu saya tersadar, ekspektasi kembali menerkam.

 

Malam ini jadi malam terakhir, benar-benar terakhir. Harapan tinggi jatuh, menguap tak berbentuk. Nyata bukan pertanda, hanya pikiran ku saja, harapan itu semu. Sulit untuk aku percaya sampai akhirnya aku lihat sendiri. Kunto Aji- Ekspektasi

Read More

Jumat, 29 Mei 2020

Ketika Ayah Mencari Nafkah


 

Ini adalah cerita dua orang dari generasi berbeda. Roda kehidupan membawa kisah keduanya kembali terulang. Kisah yang sama saat mencari nafkah

 

Kembali sekali lagi saya duduk di teras Balai Kota Tangerang Selatan di siang yang terik. Rutinitas ini telah saya lakoni kurang lebih selama empat bulan sejak kantor memindahkan saya ke kota kecil di barat daya Jakarta.

 

Siang itu saya tidak sendiri, di sebelah saya juga berjejer rekan rekan sesama pemburu berita. Mereka, bersama saya, tentunya menanti kapan agenda wali kota akan dimulai. Sambil mengisi waktu, kami bercanda, mengobrolkan apa saja. Mulai dari corona hingga kasus begal remaja.

 

Tiada satu hari pun kami lewatkan dengan perbicangan mengenai isu-isu hangat di kota itu. Begitulah hari-hari saya selama tiga tahun belakangan. Bangun pagi, berangkat ke lokasi liputan, ngobrol dengan teman-teman, mewawancarai narasumber –yang kebanyakan pejabat dan orang penting di kota ini- kemudian menuliskannya menjadi berita.

 

Saya senang sekaligus kadang merasa lelah menjalani rutinitas ini. pernah suatu ketika terpikir untuk ganti pekerjaan namun yang saya bisa hanya menulis. Saya tak pernah cocok menjadi pegawai kantoran. Pekerjaan idaman bagi seluruh mertua di kolong jagat.

 

Lambat laun menjalani pekerjaan ini, saya jadi teringat apa yang ajik (ayah) saya lakukan ketika saya masih kecil. Sebagai tulang punggung keluarga, ajik setiap hari menghabiskan waktu menyapa turis-turis asing di tepi pantai sanur. Pagi-pagi sekali ia berangkat, dan pulang menjelang malam hari.

 

Seperti yang saya jalani, ia juga menanti turis bersama teman-temannya. Bedanya, saya menanti narasumber. Dapat atau tidak, kantor tetap membayar saya setiap bulan.

 

Sedangkan ajik, ia menanti turis yang lewat. Ketika tidak ada turis yang bisa diantar keliling Bali, di titik itu artinya tidak ada penghasilan bagi keluarga kami.

 

Biasanya ia menawarkan jasa transportasi. Siap mengantar turis asing itu pergi ke manapun menggunakan mobil toyota kijang butut, harta pertama yang ia beli bersama ibu ketika awal-awal menikah.

 

Good afternoon, transport, please?” kata ajik setengah berteriak menawarkan jasa transportasi. Tangannya memperlihatkan pose tengah memegang kemudii mobil. Rutinitas itu ia jalani berulang-ulang dan tentu saja tidak ada hari libur baginya.

 

Hari ini, 29 Mei 2020, Ajik berulang tahun ke-52. Saat yang matang untuk masuk ke usia senja. Tentu saja kini ia tak perlu lagi menanti turis di tepi jalan. Anugrah Hyang Widi membawa kehidupan keluarga kami menjadi jauh lebih baik. Tidak lagi sesulit dulu.

 

Mungkin yang ia harapkan kini hanya menimang seorang cucu pertama dari kami, ketiga anaknya. Sebelum itu terwujud, minimal kami bisa mengucapkan selamat ulang tahun. Semoga Ida Sang Hyang Widi Wasa senantiasa melimpahkan karunia dan umur yang panjang. Dengan begitu, ajik masih punya kesempatan untuk melihat kami berjuang dan membawa cucu masing-masing.

Read More

Follow This Blog