Rabu, 02 Juli 2014

From Surabaya With Care

Pada tulisan kali ini, saya akan memberikan pandangan mengenai dua kejadian pahit dan menyedihkan yang baru saya alami.

Tak terasa sudah hampir tiga tahun saya berpetualang di Surabaya untuk menimba ilmu. Semenjak kelulusan saya dari Sekolah Menengah Atas (SMA) 2011 silam, banyak pengalaman berharga yang sudah saya dapatkan dalam waktu yang cukup singkat ini. Secara pribadi saya merasa ada peningkatan dalam aspek kognitif selama saya menimba ilmu di Kota Pahlawan. Dengan banyaknya teman-teman baru dari berbagai daerah di Indonesia disadari atau tidak telah mampu menambah atau memperkaya perspektif saya terhadap segala hal sentimentil yang ada di kehidupan ini. Yang ingin saya sampaikan di sini adalah pentingnya bagi kita untuk memperkaya pandangan atau perspektif di era yang semakin dinamis ini. Kita tidak dapat hanya mempunyai satu perspektif dalam memandang suatu hal. Seperti yang Prof. Rhenald Khasali pernah utarakan, "Belajarlah memandang segala sesuatu dari berbagai perspektif."

Selama hampir tiga tahun menetap di Surabaya, saya senang sekali sudah berhasil meraih berbagai pencapaian diantaranya juara di berbagai kompetisi menulis ilmiah dan kompetisi dengan berbasiskan disiplin ilmu yang sedang saya geluti sekarang. Punya banyak teman, meraih prestasi, dan perspektif yang makin kaya adalah hal yang tidak ternilai bagi saya dan saya sangat berterima kasih serta bersyukur kepada Ida Shang Hyang Widhi Wasa atas bimbingan dan anugerahnya hingga saya bisa memperoleh berbagai hal indah dalam kurun waktu tiga tahun ini.

Seperti konsep wastra poleng (kain hitam-putih) di Bali yang mengajarkan bahwa hal buruk dan baik senantiasa berdampingan dan saling mengisi, saya pun tidak terhindar dari hukum alam tersebut. Di samping beberapa hal baik yang saya peroleh selama di Surabaya, saya pun mengalami beberapa rentetan nasib buruk dan menyedihkan di sini. Kemalangan pertama yang baru-baru ini saya alami adalah pada pertengahan bulan Juni ini saya mengalami musibah kehilangan gadget iPhone kesayangan. Menyedihkan sekali, mengingat ponsel pintar itu genap sudah setahun lalu Ajik (Ayah) membelikannya untuk saya. Kehilangan itu pun karena kecerobohan saya sendiri dan saya tidak ingin mengungkit kehilangan itu lebih jauh. Saya menjadikan kehilangan ini sebagai pelajaran yang teramat penting dalam hal menjaga barang berharga terutama di kota besar yang sangat rawan dengan aksi pencurian.  

Lebih lanjut, kurang dalam kurun waktu seminggu, kejadian menyedihkan lainnya menghampiri. Berita mengejutkan datang dari kawan -mungkin saya lebih pantas menyebutnya sahabat- lama saat SMA dulu. Namanya Gus Adi, dan ia merupakan salah seorang kawan dekat yang sudah saya anggap saudara saya sendiri. Kami terbiasa bepergian bersama, menjalani berbagai hal dan sudah lama mengenal satu sama lain sejak pertama kali kami dinyatakan lulus ujian masuk SMA. Banyak hal menyenangkan yang sudah saya lewati bersama ia dan teman-teman lainnya. Berita mengejutkan itu ternyata berita duka yang menyampaikan bahwa Ayahanda dari Gus Adi telah berpulang dan jujur saya sangat terkejut dengan berita tersebut. Setahu saya ayah dari Gus Adi adalah pria yang enerjik dan penuh semangat. Ia merupakan ayah yang baik dan setiap anak di dunia pasti mendambakan memiliki ayah seperti ayah Gus Adi. Dukungannya dalam menjadikan Gus Adi seorang calon dokter merupakan hal yang paling saya kagumi.

Sebagai kawan dekat tentu saya turut berduka cita yang amat dalam atas kepergian ayahanda dari Gus Adi. Air mata saya tidak terasa menetes setelah mendengar berita itu. Ingin rasanya saya segera berkemas menuju Denpasar untuk mengucapkan bela sungkawa dan memberikan dukungan moril kepadanya setelah kenyataan pahit yang harus ia alami. Tapi apa daya dengan jadwal kuliah yang masih padat ditambah dengan saat ini saya mulai memasuki musim Ujian Akhir Semester menghalangi niat saya untuk pulang. Dengan berat hati dan rasa kecewa karena tidak bisa secara langsung menyampaikan rasa duka cita, akhirnya malam ini saya berinisiatif untuk menelepon Gus Adi dan memberikan motivasi serta dukungan dan semangat baginya untuk tetap mengarungi kehidupan. Saya selalu katakan padanya, "Kamu tidak sendirian". Kami sebagai temanmu senantiasa ada di saat kamu memerlukan kami.

Itulah berbagai rentetan hal buruk yang saya alami di pertengahan tahun 2014 ini. Mungkin benar kata leluhur saya yang pernah mengajarkan filsafat wastra poleng kepada saya. Filsafat dari wastra poleng sendiri adalah seberapa pun bahagia yang kita rasakan, segitu pula kesedihan yang akan kita alami. Sementara seberapa pun kesedihan yang kita rasakan maka kebahagiaan yang setara pun juga akan kita rasakan. Inti dari filsafat ini adalah keseimbangan kehidupan (balanced life). Orang Bali senantiasa menjaga keseimbangan dalam kehidupan mereka sehari-hari, hal ini dijabarkan dalam konsep Tri Hita Karana dalam kehidupan masyarakat Bali. Kembali kepada topik tentang kejadian menyedihkan yang baru saya alami, saya sendiri harus dewasa dalam menyikapi berbagai kejadian buruk dan tidak mengenakkan yang baru saja saya alami. Ini adalah proses untuk mendewasakan diri dan saya menganggap kejadian ini juga upaya dari Tuhan untuk lebih meningkatkan rasa mawas diri sekaligus memperkaya pandangan atau persepektif seperti yang sudah saya tuliskan di awal.

Mengingat filosofi wastra poleng, saya berharap setelah gelap ini akan terbit terang yang akan bersiap meyapa di ufuk. Bukankah orang Jepang dengan ritual minum tehnya (Shodou) mengajarkan kita semua bahwa hidup itu berkenaan dengan hal-hal pahit (perjuangan, kerja keras, dll) yang tercermin dalam teh yang rasanya sangat pahit, kemudian akan berganti dengan rasa manis -kue-kue manis yang disajikan setelah upacara minum teh- setelahnya. Ya, ini memang suatu fase hidup yang kadang kita berada di bawah dan kadang juga kita berada di atasnya. 

Read More

Follow This Blog