Rabu, 02 Juli 2014

From Surabaya With Care

Pada tulisan kali ini, saya akan memberikan pandangan mengenai dua kejadian pahit dan menyedihkan yang baru saya alami.

Tak terasa sudah hampir tiga tahun saya berpetualang di Surabaya untuk menimba ilmu. Semenjak kelulusan saya dari Sekolah Menengah Atas (SMA) 2011 silam, banyak pengalaman berharga yang sudah saya dapatkan dalam waktu yang cukup singkat ini. Secara pribadi saya merasa ada peningkatan dalam aspek kognitif selama saya menimba ilmu di Kota Pahlawan. Dengan banyaknya teman-teman baru dari berbagai daerah di Indonesia disadari atau tidak telah mampu menambah atau memperkaya perspektif saya terhadap segala hal sentimentil yang ada di kehidupan ini. Yang ingin saya sampaikan di sini adalah pentingnya bagi kita untuk memperkaya pandangan atau perspektif di era yang semakin dinamis ini. Kita tidak dapat hanya mempunyai satu perspektif dalam memandang suatu hal. Seperti yang Prof. Rhenald Khasali pernah utarakan, "Belajarlah memandang segala sesuatu dari berbagai perspektif."

Selama hampir tiga tahun menetap di Surabaya, saya senang sekali sudah berhasil meraih berbagai pencapaian diantaranya juara di berbagai kompetisi menulis ilmiah dan kompetisi dengan berbasiskan disiplin ilmu yang sedang saya geluti sekarang. Punya banyak teman, meraih prestasi, dan perspektif yang makin kaya adalah hal yang tidak ternilai bagi saya dan saya sangat berterima kasih serta bersyukur kepada Ida Shang Hyang Widhi Wasa atas bimbingan dan anugerahnya hingga saya bisa memperoleh berbagai hal indah dalam kurun waktu tiga tahun ini.

Seperti konsep wastra poleng (kain hitam-putih) di Bali yang mengajarkan bahwa hal buruk dan baik senantiasa berdampingan dan saling mengisi, saya pun tidak terhindar dari hukum alam tersebut. Di samping beberapa hal baik yang saya peroleh selama di Surabaya, saya pun mengalami beberapa rentetan nasib buruk dan menyedihkan di sini. Kemalangan pertama yang baru-baru ini saya alami adalah pada pertengahan bulan Juni ini saya mengalami musibah kehilangan gadget iPhone kesayangan. Menyedihkan sekali, mengingat ponsel pintar itu genap sudah setahun lalu Ajik (Ayah) membelikannya untuk saya. Kehilangan itu pun karena kecerobohan saya sendiri dan saya tidak ingin mengungkit kehilangan itu lebih jauh. Saya menjadikan kehilangan ini sebagai pelajaran yang teramat penting dalam hal menjaga barang berharga terutama di kota besar yang sangat rawan dengan aksi pencurian.  

Lebih lanjut, kurang dalam kurun waktu seminggu, kejadian menyedihkan lainnya menghampiri. Berita mengejutkan datang dari kawan -mungkin saya lebih pantas menyebutnya sahabat- lama saat SMA dulu. Namanya Gus Adi, dan ia merupakan salah seorang kawan dekat yang sudah saya anggap saudara saya sendiri. Kami terbiasa bepergian bersama, menjalani berbagai hal dan sudah lama mengenal satu sama lain sejak pertama kali kami dinyatakan lulus ujian masuk SMA. Banyak hal menyenangkan yang sudah saya lewati bersama ia dan teman-teman lainnya. Berita mengejutkan itu ternyata berita duka yang menyampaikan bahwa Ayahanda dari Gus Adi telah berpulang dan jujur saya sangat terkejut dengan berita tersebut. Setahu saya ayah dari Gus Adi adalah pria yang enerjik dan penuh semangat. Ia merupakan ayah yang baik dan setiap anak di dunia pasti mendambakan memiliki ayah seperti ayah Gus Adi. Dukungannya dalam menjadikan Gus Adi seorang calon dokter merupakan hal yang paling saya kagumi.

Sebagai kawan dekat tentu saya turut berduka cita yang amat dalam atas kepergian ayahanda dari Gus Adi. Air mata saya tidak terasa menetes setelah mendengar berita itu. Ingin rasanya saya segera berkemas menuju Denpasar untuk mengucapkan bela sungkawa dan memberikan dukungan moril kepadanya setelah kenyataan pahit yang harus ia alami. Tapi apa daya dengan jadwal kuliah yang masih padat ditambah dengan saat ini saya mulai memasuki musim Ujian Akhir Semester menghalangi niat saya untuk pulang. Dengan berat hati dan rasa kecewa karena tidak bisa secara langsung menyampaikan rasa duka cita, akhirnya malam ini saya berinisiatif untuk menelepon Gus Adi dan memberikan motivasi serta dukungan dan semangat baginya untuk tetap mengarungi kehidupan. Saya selalu katakan padanya, "Kamu tidak sendirian". Kami sebagai temanmu senantiasa ada di saat kamu memerlukan kami.

Itulah berbagai rentetan hal buruk yang saya alami di pertengahan tahun 2014 ini. Mungkin benar kata leluhur saya yang pernah mengajarkan filsafat wastra poleng kepada saya. Filsafat dari wastra poleng sendiri adalah seberapa pun bahagia yang kita rasakan, segitu pula kesedihan yang akan kita alami. Sementara seberapa pun kesedihan yang kita rasakan maka kebahagiaan yang setara pun juga akan kita rasakan. Inti dari filsafat ini adalah keseimbangan kehidupan (balanced life). Orang Bali senantiasa menjaga keseimbangan dalam kehidupan mereka sehari-hari, hal ini dijabarkan dalam konsep Tri Hita Karana dalam kehidupan masyarakat Bali. Kembali kepada topik tentang kejadian menyedihkan yang baru saya alami, saya sendiri harus dewasa dalam menyikapi berbagai kejadian buruk dan tidak mengenakkan yang baru saja saya alami. Ini adalah proses untuk mendewasakan diri dan saya menganggap kejadian ini juga upaya dari Tuhan untuk lebih meningkatkan rasa mawas diri sekaligus memperkaya pandangan atau persepektif seperti yang sudah saya tuliskan di awal.

Mengingat filosofi wastra poleng, saya berharap setelah gelap ini akan terbit terang yang akan bersiap meyapa di ufuk. Bukankah orang Jepang dengan ritual minum tehnya (Shodou) mengajarkan kita semua bahwa hidup itu berkenaan dengan hal-hal pahit (perjuangan, kerja keras, dll) yang tercermin dalam teh yang rasanya sangat pahit, kemudian akan berganti dengan rasa manis -kue-kue manis yang disajikan setelah upacara minum teh- setelahnya. Ya, ini memang suatu fase hidup yang kadang kita berada di bawah dan kadang juga kita berada di atasnya. 

Read More

Senin, 28 April 2014

Ambivalensi Undang-Undang Desa

Semenjak diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah yang merupakan penyempurnaan dari UU No. 22 Tahun 1999 telah membuka kesempatan seluas-luasnya bagi setiap daerah di Indonesia untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di daerah. Dengan diberikannya keleluasaan tiap daerah untuk lebih menggali potensi serta keunggulan komparatif yang mereka miliki tentu hal ini akan dapat memicu perkembangan serta pembangunan di daerah menjadi lebih baik lagi.
Akan tetapi pengimplementasian UU NO. 32 Tahun 2004 tersebut tentu saja membawa konsekuensi. Dengan semangat desentralisasi yang didengungkannya, tiap-tiap daerah provinsi, dan kabupaten/kota menjadi terdesentralisasi dan memiliki hak otonom tidak terkecuali desa-desa yang merupakan struktur terendah dalam sistem administrasi negara di Indonesia. Meskipun setingkat dengan kecamatan secara struktural, tetapi kecamatan merupakan bagian dari pemerintahan di atasnya sedangkan desa lebih otonom. Desa-desa yang ada di indonesia sudah jauh berdiri sebelum negara ini terbentuk.
Konsekuensi dari desentralisasi desa yang telah dilaksanakan saat ini adalah semakin memperumit pelaksanaan otonomi daerah. Kemudian tipologi tiap desa di Indonesia yang sangat beragam tidak akan bisa disusun dalam sebuah kitab hukum yang seragam. Hal tersebut akan menimbulkan ketidaksesuaian kondisi dan situasi antardesa apabila peraturan tersebut dijalankan. Munculnya peraturan atau undang-undang yang mengatur tentang desa berarti pemerintah berusaha menyeragamkan dan mengatur pemerintahan desa secara mendetail lewat Undang-Undang Desa (UU Desa). Konsekuensinya lagi tentu daerah akan terbatas ruang geraknya dalam mengurus dan mengatur pemerintahannya sendiri. Dalam artian pemerintahan di atas desa tidak memiliki kewenangan untuk membuat peraturan tentang desa yang benar-benar dilandasi oleh asal-usul, kearifan lokal, adat-istiadat dan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat desa.
Ketidaksesuaian lain adalah UU Desa mengamanatkan desa dikelola sebuah pemerintahan yang terdiri dari sekumpulan komunitas (self governing community). Menurut Sutoro Eko, dahulu asal-usulnya desa merupakan organisasi komunitas lokal yang mempunyai batas-batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai adat-istiadat untuk mengelola dirinya sendiri. Ciri-ciri dari pemerintahan yang dilaksanakan oleh sekumpulan komunitas menurut Ari Dwipayana dan Sutoro Eko adalah pengambilan keputusan atas urusan bersama dilakukan oleh komunitas dan Komunitas mempunyai inisiatif untuk menyelenggarakan urusan-urusan bersama secara sukarela. Dari pemahaman tersebut semestinya pemerintah melalui UU Desa tidak perlu mengatur tugas dan wewenang seorang kepala desa, tetapi cukup mengatur tentang wewenang, hak dan kewajiban pemerintahan komunitas. UU Desa juga seharusnya tidak menempatkan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai sekretaris desa karena hal ini seakan membuat pemerintah “menjilat ludah” sendiri karena pengangkatan sekretaris desa dari golongan PNS bertentangan dengan semangat mengelola pemerintahan desa yang terdiri dari kumpulan komunitas. Lebih lanjut UU Desa tidak perlu mengatur alokasi dana untuk Desa, karena desa memiliki hak untuk mengatur dan mengelola Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki untuk keperluan komunitasnya.
Mengenai ambivalensi dari UU Desa, pemerintah sebaiknya merancang peraturan tentang desa secara garis besar, hal ini guna membuka ruang dan peluang dari desa untuk lebih menyesuaikan tata kelola pemerintahan mereka sesuai dengan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat desa. Penyusunan UU Desa sama saja dengan menyeragamkan karakteristik desa-desa di Indonesia yang sangat beragam sehingga hal tersebut tidak akan berhasil. Untuk mengoptimalisasi keunggulan yang dimiliki tiap desa, pemerintah harus jeli dalam memposisikan desa serta membuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat desa untuk turut berpartisipasi dalam mengembangkan desa mereka. Gampangnya, desa harus diatur dalam sebuah peraturan secara garis besar dengan kalimat sederhana bahwa hal-hal mengenai desa atau dengan nama lain diatur dan diurus daerah provinsi atau kabupaten/kota. 

Read More

Rabu, 23 April 2014

Italia Tak Melulu Soal Catenaccio

Satu dasawarsa silam Italia terkenal sebagai tim dengan pertahanan terbaik di dunia berkat filosofi catenaccio (pertahanan gerendel) mereka. Filosofi permainan tersebut bisa diterapkan dengan baik karena Italia memiliki segudang pemain bertahan (bek) yang mampu menunjang strategi tersebut. Sebut saja nama-nama tenar macam Marco Materazzi, Fabio Grosso, Fabio Cannavaro, Paolo Maldini dan Alessandro Nesta mampu membuat gentar para striker lawan berkat kepiawaian mereka dalam membaca arah serangan dan kelebihan mereka dalam meredam serangan dari skema bola-bola atas. Seorang bek seyogyanya bertugas dalam menghalau serangan lawan dan menjadi benteng terakhir pertahanan tim saat menerima serangan tim lawan. Akan tetapi ada beberapa bek Italia yang tidak hanya handal dalam bertahan, tetapi mampu bermain apik saat menyerang. Tidak jarang dalam situasi tersebut bek-bek Italia dengan naluri bertahan dan menyerang sama bagusnya bisa menorehkan gol dalam suatu pertandingan.. Pertahanan mereka dengan didukung oleh bek kelas dunia sangat susah ditembus oleh barisan penyerang lawan-lawan mereka. Namun tidak jarang para bek dari negeri pizza ini mampu memecah kebuntuan tim berkat kejelian mereka mengkonversi peluang menjadi sebuah gol. Pada perhelatan Piala Dunia 2006 silam Italia memiliki dua bek produktif dalam diri Materazzi dan Grosso dimana keduanya menyumbang masing-masing dua gol untuk timnas mereka saat itu. Jika Materazzi lihai dalam mencetak gol saat situasi set piece, lain lagi dengan Grosso yang memiliki kemampuan menusuk dari sektor sayap untuk kemudian menjebol gawang lawan berkat akurasi tembakan dan kecepatan berlarinya.  Puncaknya adalah saat Marco Materazzi mampu mengubur asa Perancis pada event yang sama melalui golnya menyambut sepak pojok Andrea Pirlo. Materazzi dengan lihai memanfaatkan keunggulan postur tubuhnya serta kelengahan bek perancis dalam mengantisipasi set piece. Pada akhirnya golnya tersebut mampu menyamakan kedudukan hingga peluit panjang berbunyi dan Italia berhasil keluar sebagai kampiun Piala Dunia lewat drama adu penalti. 
Read More

Sabtu, 01 Maret 2014

Then When It's Your Choice, It's Whole Lot Better You to Have a Voice

Berbicara mengenai pilihan, tahukah anda kalau pilihan anda di hari kemarin akan menentukan anda di hari esok? Kalau belum tahu, ada baiknya simak saya bercerita mengenai pilihan. Saya sedang diajari tentang konsekuensi yang hadir dalam setiap pilihan yang kita ambil. Adalah seorang wanita bernama Nila yang mengajarkan saya itu. Sebuah pelajaran hidup penting yang boleh dibilang terlambat untuk saya terima. Sebelum ini, saya tidak pernah belajar dan paham akan sebuah arti pilihan.

Kisah dimulai saat saya memutuskan untuk kuliah di Surabaya, di sana menjelang tahun ketiga kuliah di Surabaya saya bertemu seorang gadis. Kami awalnya tidak mengenal satu sama lain, tapi saat pertama saya bertemu dia, saya rasa... saya jatuh cinta padanya... kami akhirnya sempat bepergian bersama walau hanya beberapa hari.. berakhirnya cerita kami pada malam itu sebenarnya hanya luapan emosi sesaat. Dan sebenarnya juga malam itu saya tidak berniat menjatuhkan pilihan saya ke opsi yang satu itu. Pilihan yang saya ambil malam itu adalah pilihan yang sebisa mungkin paling saya hindari. Namun apa daya karena luapan emosi sesaat yang saya katakan tadi entah kenapa lidah terasa membeku, otak rasanya kacau, dan jiwa terasa nggak menentu sampai pada akhirnya hati, pikiran, dan jiwa serentak mengendalikan saya untuk mengambil pilihan yang paling saya hindari. Ya, saya memilih untuk menghentikan cerita saya dengannya....

Sebenarnya juga ada beberapa faktor yang membuat saya akhirnya memilih pilihan yang saya paling hindari. Malam itu, sanubari saya berbisik untuk mendorong saya mengambil pilihan yang sulit tersebut.

“Selama ini hanya satu arah, hanya kamu saja yang aktif memberi perhatian ke Nila sedangkan dari ia sendiri tidak ada feedback yang berarti” demikian sanubari berbisik.

“Selama Nila menghadapi suatu masalah, kamu selalu mengkhawatirkan dia dan selalu berusaha memotivasi dia untuk tegar menghadapi masalahnya. Tapi cobalah tengok hal kecil Ngga, contoh saat kamu merasa nggak enak badan pernahkah ia tanya kondisimu bagaimana? jarang bukan?” demikian kali ini sanubari dan nurani berbisik bersamaan.

Dan akhirnya karena berbagai bisikan itu jari-jari bergerak sampai tertulis kalimat “Aku nyerah” di layar handphone tanpa saya sadari telah saya kirim.
Beginilah yang sebenarnya berkecamuk di dalam diri saya malam itu. Hal yang hanya diketahui oleh satu orang. Apapun itu, pada akhirnya pilihan saya malam itu membawa suatu konsekuensi yang saya rasakan hingga detik ini.

Sebenarnya lagi, bisikan-bisikan itu bisa saya mentahkan dengan jawaban “Cinta tidak pernah menerima, cinta selalu memberi”. Dan itu lah yang saya rasakan saat bersama Nila. Meskipun kentara seperti satu arah, hanya saya yang aktif memberi perhatian dan kasih sayang, atau bahkan memberi sedikit materi yang bisa jadi tidak berarti, tapi saya nggak merasa tebebani. Saat bersama Nila entah kenapa saya selalu hanya ingin memberi, memberi, dan memberi yang terbaik untuk Nila. Jarak yang jauh juga pernah saya lalui hanya untuk bertemu Nila. Pengorbanan yang saya pikir setimpal dengan rasa sayang saya kepada Nila. Tapi kembali ke pemeo lama “Saya juga manusia”, saya menyadari betapapun saya tidak pernah berkeberatan selalu memberi, tapi saya juga memerlukan perhatian dan kasih sayang, dan hal itulah yang saya rasakan kurang saya dapatkan. Setidaknya feedback sekecil apapun dari Nila entah mengapa tidak saya rasakan. Mungkin memang benar-benar tidak ada feedback yang saya harapkan ataukah memang saya yang tidak mampu menerjemahkan setiap kode yang ia berikan.

Terlepas dari apapun itu, saya lega bisa menulis apa yang sebenarnya terjadi malam itu, apa yang sebenarnya ada dalam pikiran dan perasaan saya dikala itu. Yang pasti, saya bersyukur bisa mengenal Nila. Ia sudah mengajarkan saya banyak hal, sebut saja hal-hal kecil seperti sesibuk apapun kita harus memberi kabar kepada orang terdekat, ia mengajarkan saya sabar dalam mengerti wanita, bagaimana agar bisa menjadi seseorang yang peka, dan yang terakhir, ia mengajarkan saya akan konsekuensi yang hadir dalam setiap pilihan. Mungkin malam itu kata-katanya sedikit mendesak saya untuk memilih pilihan sulit ini, tapi itu sudah mengajarkan saya banyak hal. Tentang sebuah keputusan yang harus diambil secara arif bijaksana serta hati-hati, tentang pentingya menyingkirkan emosi saat kita akan menentukan pilihan.

Sekarang semua sudah terjadi. Apa yang terjadi ya terjadilah. Saya hanya berusaha menikmati konsekuensi dari pilihan saya malam itu. Terjadilah hari-hari penuh rasa tidak menentu yang selalu menghantui belakangan ini. Kembali kepada kalimat awal, pilihan anda kemarin akan menentukan seperti apa anda esok hari, dan Nila sudah mengajarkan saya hal itu. Mengutip quote dari sebuah film lawas, “Bukankah dalam kondisi sesulit apapun kita selalu punya pilihan?”

Akhir kata, tulisan diatas adalah murni sebuah opini dari saya sendiri dan tidak ada tekanan atau paksaan dari pihak manapun untuk menuliskannya. Setidaknya untaian kalimat-kalimat di atas sudah mewakili apa yang saya rasakan kala itu. Apapun itu, saya menyadari banyak kekurangan dan kesalahan saya terhadap Nila, dan melalui tulisan ini saya ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya apabila pernah ada perkataan ataupun perbuatan yang pernah melukai hatinya. Sekali lagi, semua tulisan ini hanya pendapat pribadi. J


Read More

Rabu, 08 Januari 2014

Karakeristik Kepemimpinan Pria dan Wanita

Dimulai semenjak R.A Kartini memelopori gerakan emansipasi terhadap kaum wanita pada tahun 1911, para wanita mulai tergerak dan menyadari akan hak-hak mereka. Kini setelah emansipasi, para wanita tidak perlu lagi menjalani masa pingitan, didominasi oleh kaum pria, dan yang terlihat jelas hingga ke masa sekarang adalah mulai banyak kaum wanita yang menjalani profesi yang dulunya hanya dilakoni oleh laki-laki seperti menjadi pemimpin pada suatu perusahaan, atau bahkan menjabat posisi penting dalam pemerintahan.
Meskipun telah ada pengakuan akan persamaan derajat antara wanita dan laki-laki dalam beberapa aspek, tetap saja ada perbedaan akan suatu pekerjaan apabila ditangani oleh pria ataupun wanita. Perbedaan karakter keduanya menjadikan hasil dari suatu pekerjaan akan berbeda satu sama lain. Sebagai contoh dalam urusan memimpin, kaum laki-laki dianggap lebih tegas dan agresif dibandingkan pemimpin wanita.
Sementara itu pemimpin wanita kebanyakan dikenal lebih fleksibel dan sangat memahami bawahannya. Sifat alamiah gender ini tidak dapat dipungkiri memberi warna masing-masing bagi karakteristik kepemimpinan antara pria atau wanita. Perlu diperhatikan untuk saat ini sering kita jumpai pemimpin perusahaan atau organisasi yang bergender perempuan, bahkan posisi middle management pun telah banyak diisi oleh kaum wanita.
Seorang peneliti dari Amerika, pernah melakukan penelitian mengenai gaya kepemimpinan lelaki dan wanita, penelitian itu dilakukan untuk mengkaji keberhasilan dan pencapaian antara pria dan wanita, serta kedua-dua gender tersebut layak untuk memimpin. Keberhasilan dan pencapaiannya yang hampir setara terlihat tetapi yang mebedakannya adalah dari sudut cara atau prosesnya.
Hasil penelitian tersebut mengatakan bahwa pemimpin wanita lebih mengedepankan aspek komunikatif atau cenderung bergaya interatif. Pemimpin wanita juga selalu lebih cenderung untuk bertingkah laku secara demokratik dan mengambil bagian dimana mereka lebih menghormati dan prihatin terhadap pekerjanya atau bawahannya dan berbagi ‘kekuasaan’ serta perasaan dengan orang lain.
Sedangkan pemimpin pria menurut hasil penelitian tersebut lebih condong ke gaya kepemimpinan yang ‘asertif’ dimana segala sesuatunya harus sesuai dengan aturan dan agak otoritarian. Pemimpin pria juga jauh lebih banyak memberikan nasehat dan arahan pada bawahannya.
Untuk lebih jelasnya, berikut akan dipaparkan contoh riil dari gaya kepemimpinan satu orang pemimpin pria dan satu orang pemimpin wanita untuk kita cermati. Pemimpin pria yang akan kita cermati adalah Presiden RI saat ini Susilo Bamban Yudhoyono dan pemimpin wanitanya adalah mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri yang merupakan presiden wanita pertama di Indonesia. Susilo Bambang Yudhoyono sebagai seorang pemimpin pria memiliki karakteristik pemimpin yang memiliki wibawa dihadapan bawahannya. Selama Indonesia dipimpin oleh beliau, kasus terorisme di tanah air mengalami penurunan. Hal ini diakibatkan ketegasan dan komitmen yang kuat dari beliau untuk menjaga ketahanan dan keamanan di Indonesia.
 Menurunnya kasus terorisme di tanah air selama Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden Indonesia karena karakter pemimpin pria seperti yang telah disebutkan adalah cenderung asertif dan tunduk pada aturan yang berlaku serta ada kemungkinan mengarah ke kepemimpinan yang otoriter. Terbukti saat Susilo Bambang Yudhoyono memimpin, para terdakwa teroris tidak segan-segan diganjar hukuman yang berat. Hal ini berkebalikan dengan keadaan pada saat Ibu Megawati menjadi Presiden RI. Karena sifat keibuan dan karakter pemimpin wanita yang komunikatif, dalam artian banyak pertimbangan yang masuk ke Ibu Mega, maka pada saat Ibu Megawati menjadi presiden banyak terjadi kasus terorisme di tanah air karena para pelaku terorisme tidak dihukum dan dituntut seberat saat Presiden Susilo bambang Yudhoyono memimpin RI. Selain berhasil meredam teroris yang ada di Indonesia, Preside Susilo Bambang Yudhoyono juga berhasil meredakan konflik gerakan separatis yang sempat marak pada saat Ibu Mega menjadi presiden.
Namun pada saat periode kedua beliau sebagai presiden, Susilo Bambang Yudhoyono menjadi sedikit peragu dan lamban dalam mengambil keputusan. Hal ini barangkali disebabkan politik santun yang beliau anut sebagai bagian dari etika berpolitik Partai Demokrat. Politik santun yang dijalankan oleh Susilo Bambang Yudhoyono menjadikannya sebagai pemimpin pria yang soft. Bertolak belakang dengan karakter kepemimpinan Presiden Soeharto dimana seseorang atau sekelompok orang yang menghalangi niat dan tujuannya akan mendapat hukuman yang tidak ringan.
Sedangkan Ibu Mega pada saat memimpin RI lebih banyak berpenampilan tenang dan tampak acuh dalam menghadapi persoalan. Tetapi dalam hal-hal tertentu megawati memiliki determinasi dalam kepemimpinannya, misalnya mengenai persoalan di BPPN, kenaikan harga BBM dan pemberlakuan darurat militer di Aceh Nanggroe Darussalam. Gaya kepemimpinan megawati yang antikekerasan itu kurang pas untuk menyelesaikan permasalahan gerakan separatis yang kian menjadi. Megawati lebih menonjolkan kepemimpinan dalam budaya ketimuran. Beliau cukup lama dalam menimbang-nimbang sesuatu keputusan yang akan diambilnya. Tetapi begitu keputusan itu diambil, tidak akan berubah lagi.
Gaya kepemimpinan Ibu Megawati sangat menggambarkan bagaimana kebanyakan seorang pemimpin wanita biasanya bertindak. Mengutip pernyataan dari Frans Seda: “Dia punya intuisi tajam. Sering kita berpikir, secara logika, menganalisa fakta-fakta, menyodorkan bukti-bukti, tapi tetap saja belum pas. Di saat itulah Mega bertindak berdasarkan intuisinya, yang oleh orang-orang lain tidak terpikirkan sebelumnya.” Cukup demokratis, tapi pribadi Ibu Megawati dinilai tertutup dan cepat emosional. Beliau agak alergi pada kritik. Komunikasinya didominasi oleh keluhan dan uneg-uneg, nyaris tidak pernah menyentuh visi misi pemerintahannya
Dari dua contoh kepemimpinan pria dan wanita diatas, secara umum gaya kepemimpinan antara pria dan wanita memiliki beberapa perbedaan. Hal tersebut dikarenakan naluri alamiah antara pria dan wanita adalah berbeda dan itu sering memberikan warna pada karakter pria dan wanita dalam memimpin sebuah organisasi. Pada hakekatnya tidak masalah apakah kita dipimpin oleh pemimpin pria ataupun wanita, hanya saja sang pemimpin tersebut mampu mengakomodir kepentingan banyak orang dan mampu memberikan keadilan bagi orang-orang yang mereka pimpin.
Read More

Follow This Blog