Sabtu, 18 Desember 2021

Monolog dengan Lelaki dalam Kemelut Sejarah

Tahun ini kami memperingati kepergianmu tepat 52 tahun yang lalu. Aktivis, pemikir, dan pengajar par excellence Soe Hok Gie meninggal pada 16 Desember 1969 di Gunung Semeru, Jawa Timur. Gie berpulang ketika hendak merayakan hari ulang tahunnya yang ke-27 di puncak Semeru. 

Tulisan ini baru saya buat tiga hari setelah hari peringatan itu. Kesibukan, termasuk tenggat pekerjaan, menghalangi saya menyelesaikan tulisan ini. Sembari mengenang tindak tandukmu. Boleh kan saya bercerita kegelisahan-kegelisahan yang mungkin sama dengan yang kau alami dulu.

Kau, bagi saya, adalah lelaki dalam kemelut sejarah. Kau turut berperan menggulingkan rezim Soekarno. Presiden yang dalam banyak kesempatan kau sebut tega berpesta bersama istri-istrinya yang cantik di dalam istana, sementara rakyatnya di luar sana kelaparan.

Kegelisahanmu melihat polah rezim Soekarno pula yang mengantarkanmu “turun gunung” dari belantara kampus dan memilih terlibat dalam politik. Politik, adalah sesuatu yang sangat kau benci. Dalam buku Catatan Seorang Demonstran rekan-rekanmu menggambarkan betapa jijiknya kau melihat politik Indonesia. 

Rekan-rekanmu, Gie, menyampaikan bahwa kau melihat politik sebagai lumpur yang kotor. Politik menjadi jalan terakhimu berjuang manakala semua jalan atau pintu lainnya telah tertutup. Senior saya di Kompas sekaligus kawanmu, almarhum Rudy Badil, bilang, “Orang lurus macam Gie tidak cocok terjun ke politik.”

Membaca buku-bukumu, menonton film tentangmu membuat saya ingin meneladani kepribadianmu. Benar kau persis seperti yang digambarkan Rudy. Watakmu keras dan teguh dalam prinsip. Saya pun ingin menjadi orang lurus sepertimu. Terutama di dalam profesi yang saya geluti sekarang. 

Saya, jurnalis 28 tahun, serasa ikut merasakan kemuakan-kemuakan yang kau alami dulu. Kau merasa muak bercampur emosi melihat rekan-rekanmu sesama aktivis 65 terbujuk rayuan rezim Orde Baru untuk duduk di parlemen. 

Mereka teman-teman seperjuanganmu saat mengontrol kekuasaan Orde Lama, memilih berkhianat. Mereka tak lagi kritis apalagi berani mengawasi jalannya kekuasan agar tak ugal-ugalan. 

Situasi itu yang saya rasakan sekarang, Gie. Saya juga merasa ikut ditinggalkan teman-teman seperjuangan sesama jurnalis dalam mengontrol jalannya kekuasaan. Pers, adalah pilar demokrasi keempat. Mereka ada salah satunya untuk mengawasi kekuasaan. 

Saat pemilihan presiden 2019 usai, seluruh komponen oposisi memutuskan masuk ke pemerintahan. Mayoritas parlemen juga mendukung pemerintahan kedua Presiden Joko Widodo. Akibatnya, tiada lagi pihak yang bisa diandalkan untuk mengkritisi pemerintahan, kecuali pers.

Kondisi itu secuil contoh bagaimana besar dan mulianya peran pers dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di saat pihak yang seharusnya menjadi oposisi memilih hidup dalam ketiak kekuasaan, pers menjadi pelita terakhir yang diharapkan bisa menjalankan peran sebagai oposisi. 

Tapi kenyataannya, Gie, saya melihat para insan pers terutama di daerah tidak lagi seutuhnya sadar akan peran mulia tersebut. Mereka telah berubah menjadi pemburu rente yang menggantungkan hidupnya dari belas kasihan pemerintah. 

Kegiatan jurnalistik tidak menjadi aktivitas utama. Mereka lebih sering menemui para pejabat di daerah bukan untuk menulis berita, tetapi untuk lobi-lobi agar diberi proyek. Semua untuk keuntungan diri mereka sendiri, bukan pada tugas dan kewajiban memberikan informasi yang pantas kepada warga. Pers di daerah, sejauh yang saya lihat, tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai anjing penjaga.

Kau tahu betapa hancurnya hati saya melihat rekan-rekan jurnalis di sekitar saya berubah menjadi corong kekuasaan. Mereka tak lagi skeptis apalagi kritis. Baru-baru ini, sebuah lembaga survei politik asal-asalan mengeluarkan rilis tentang seorang gubernur yang mereka sebut layak bersaing di tingkat nasional.

Saya tertawa membaca rilis mereka, Gie. Gubernur yang mereka coba orbitkan itu sama sekali tak layak di mata saya. Ia biarkan ketimpangan di daerahnya melebar, jalan-jalan rusak, korupsi di pemerintahannya, serta ketidakmampuannya menerima kritik adalah kelemahan terbesar dia. 

Dengan iming-iming uang ratusan ribu rupiah, rekan-rekan saya tanpa pikir panjang memilih menerbitkan berita tentang keunggulan gubernur yang telah lebih dulu dipoles oleh lembaga survei itu. Betapa godaan uang ratusan ribu telah melunturkan idealisme mereka. 

Tidakkah mereka menyadari bahwa menerima sogokan dalam bentuk halus itu juga merupakan sebentuk kecil tindakan korupsi? Bayangkan, opini pubik telah tergiring oleh berbagai pemberitaan rekan-rekan saya. Gubernur yang tak layak itu telah dipoles, kemudian mampu naik ke tampuk kekuasaan. Artinya rekan-rekan saya telah menyalahi nilai-nilai dalam jurnalisme.

Sejauh yang diajarkan kepada saya dulu, jurnalisme juga mengemban fungsi untuk melayani. Ia melayani masyarakat dengan menyajikan informasi yang layak, utuh, dan sebenar-benarnya. Dengan begitu, masyarakat bisa membuat pilihan yang pada akhirnya akan membantu menaikkan taraf hidup mereka kelak.

Menerbitkan informasi terkait gubernur yang telah dipoles sedemikian rupa tanpa mengkritisinya, sama saja dengan menyodorkan informasi keliru kepada masyarakat. Mereka pun akhirnya akan mengambil keputusan yang salah. 

Di titik itu saya teringat padamu Gie. Saya merasa turut mengalami kau yang dulu dikhianati rekan-rekanmu sesama aktivis yang kemudian duduk manis di parlemen. Kau kirimkan bedak dan gincu untuk mereka berdandan agar terlihat cantik di hadapan para penguasa. Saya ingin mengikuti langkah itu, tapi saya tak seberani kau Gie.

Dari kau saya belajar menjadi orang yang mempunyai prinsip: sekalipun saya tidak mempunyai harta lebih, jangan harap orang-orang berduit itu bisa membeli harga diri saya. Bukan berarti kalau kita butuh uang, maka kita biarkan orang lain berbuat manasuka kepada diri kita. 

Kalau kata Tan, pemuda memiliki idealisme sebagai kemewahan terakhir mereka. Saya meresapi betul kalimat-kalimat itu. Kemerdekaan dalam bertindak dan berpikir tanpa tekanan atau paksaan orang lain adalah yang utama. Sejenak kita boleh menyombongkan diri karena tidak menjadi boneka dari siapapun. 

Kau dan aku bukanlah orang yang bangga bisa hidup dari uang hasil suap. Karena suap adalah bentuk pelecehan yang kadang tidak disadari.

Kau, yang seorang Cina kere, tak tergoda iming-iming kekuasaan. Kau memilih tetap di jalurmu. Tetap menjadi orang lurus yang tak tergoda bujuk rayu serta kenikmatan hidup instan. Meski itu artinya kau akan dikucilkan oleh orang-orang di sekitarmu. Saya kagum padamu Gie.

Rasa-rasanya sudah cukup saya berkeluh kesah soal kegelisahan yang sama padamu. Kau sudah lama tiada tapi prinsip dan jalan hidupmu terasa kekal. Saya tahu, hanya dengan jalan hidup dan prinsip yang kau tunjukkan itu akan membuat kita dipandang lain dan lebih dihargai oleh khalayak. 

Jalan hidup dan segenap prinsip itu pula yang membuat kau akan selalu diingat sebagai lelaki dalam kemelut sejarah.
Read More

Follow This Blog