Saya berpikir begitu ketika berjalan kaki di jalanan beraspal saat matahari tepat berada di atas kepala. Ternyata yang berjalan kaki bisa dihitung dengan jemari salah satu tangan saja. Semua orang menempel di jok motor maupun mobil dengan sebuah premis di kepala mereka masing-masing: lebih cepat dan lebih hemat.
Di saat itu saya menyadari apa yang dikatakan Nosstress dalam lagunya “Hiruk Pikuk Denpasar” adalah benar adanya. Orang-orang, kata Nosstress, sudah enggan berjalan kaki. Dan mataharipun sudah bukan sahabat kita lagi.
Memilih kendaraan bermotor ketimbang bersepeda pun jalan kaki mungkin contoh sederhana saja. Ketika orang protes kenaikan harga bahan bakar minyak atau premium dihapus dari pasaran, mereka tidak mengikutinya dengan perubahan pola konsumsi bahan bakar. Lalu, orang mulai menyalahkan sistem transportasi, pemerintah, negara, atau siapapun yang bisa disalahkan seakan-akan hidup manusia tanpa hal-hal itu tidak punya daya. Ya, kita semua hipokrit yang menuding orang lain sebagai hipokrit.
Saya jadi mengingat keputusan saya membeli iPhone dan tidak membeli motor. Itu semua mungkin seperti sebuah zona nyaman saat kebosanan bisa dilarung di kotak ajaib berukuran 14 inci atau sebuah perjalanan keliling kota sembari menghabiskan bensin. Tapi, semua itu pun kini enggan saya tinggalkan, juga sebuah pekerjaan yang saya nilai sebetulnya nyaman: gaji yang besar dan tetap meskipun kerjamu hanya tidur dan bermalas-malasan atau menulis sesuatu yang besok menjadi sebuah sampah informasi.
Jadi, kenyamanan itu apa? kau bisa menghabiskan hidup dalam kenyamanan apapun yang kau pilih, toh ketidaknyamanan pada akhirnya menjadi kenyamanan bentuk yang lain. Asalkan begini, kalau kau tidak tahu apa yang dihadapi orang lain dan pergulatannya, lebih baik tidak usah sok tau menggurui dengan pesan “keluarlah dari zona nyaman.”
Lebih baik kau diam dan berkaca. Ya, kau tidak lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar