Senin, 28 April 2014

Ambivalensi Undang-Undang Desa

Semenjak diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah yang merupakan penyempurnaan dari UU No. 22 Tahun 1999 telah membuka kesempatan seluas-luasnya bagi setiap daerah di Indonesia untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di daerah. Dengan diberikannya keleluasaan tiap daerah untuk lebih menggali potensi serta keunggulan komparatif yang mereka miliki tentu hal ini akan dapat memicu perkembangan serta pembangunan di daerah menjadi lebih baik lagi.
Akan tetapi pengimplementasian UU NO. 32 Tahun 2004 tersebut tentu saja membawa konsekuensi. Dengan semangat desentralisasi yang didengungkannya, tiap-tiap daerah provinsi, dan kabupaten/kota menjadi terdesentralisasi dan memiliki hak otonom tidak terkecuali desa-desa yang merupakan struktur terendah dalam sistem administrasi negara di Indonesia. Meskipun setingkat dengan kecamatan secara struktural, tetapi kecamatan merupakan bagian dari pemerintahan di atasnya sedangkan desa lebih otonom. Desa-desa yang ada di indonesia sudah jauh berdiri sebelum negara ini terbentuk.
Konsekuensi dari desentralisasi desa yang telah dilaksanakan saat ini adalah semakin memperumit pelaksanaan otonomi daerah. Kemudian tipologi tiap desa di Indonesia yang sangat beragam tidak akan bisa disusun dalam sebuah kitab hukum yang seragam. Hal tersebut akan menimbulkan ketidaksesuaian kondisi dan situasi antardesa apabila peraturan tersebut dijalankan. Munculnya peraturan atau undang-undang yang mengatur tentang desa berarti pemerintah berusaha menyeragamkan dan mengatur pemerintahan desa secara mendetail lewat Undang-Undang Desa (UU Desa). Konsekuensinya lagi tentu daerah akan terbatas ruang geraknya dalam mengurus dan mengatur pemerintahannya sendiri. Dalam artian pemerintahan di atas desa tidak memiliki kewenangan untuk membuat peraturan tentang desa yang benar-benar dilandasi oleh asal-usul, kearifan lokal, adat-istiadat dan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat desa.
Ketidaksesuaian lain adalah UU Desa mengamanatkan desa dikelola sebuah pemerintahan yang terdiri dari sekumpulan komunitas (self governing community). Menurut Sutoro Eko, dahulu asal-usulnya desa merupakan organisasi komunitas lokal yang mempunyai batas-batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai adat-istiadat untuk mengelola dirinya sendiri. Ciri-ciri dari pemerintahan yang dilaksanakan oleh sekumpulan komunitas menurut Ari Dwipayana dan Sutoro Eko adalah pengambilan keputusan atas urusan bersama dilakukan oleh komunitas dan Komunitas mempunyai inisiatif untuk menyelenggarakan urusan-urusan bersama secara sukarela. Dari pemahaman tersebut semestinya pemerintah melalui UU Desa tidak perlu mengatur tugas dan wewenang seorang kepala desa, tetapi cukup mengatur tentang wewenang, hak dan kewajiban pemerintahan komunitas. UU Desa juga seharusnya tidak menempatkan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai sekretaris desa karena hal ini seakan membuat pemerintah “menjilat ludah” sendiri karena pengangkatan sekretaris desa dari golongan PNS bertentangan dengan semangat mengelola pemerintahan desa yang terdiri dari kumpulan komunitas. Lebih lanjut UU Desa tidak perlu mengatur alokasi dana untuk Desa, karena desa memiliki hak untuk mengatur dan mengelola Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki untuk keperluan komunitasnya.
Mengenai ambivalensi dari UU Desa, pemerintah sebaiknya merancang peraturan tentang desa secara garis besar, hal ini guna membuka ruang dan peluang dari desa untuk lebih menyesuaikan tata kelola pemerintahan mereka sesuai dengan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat desa. Penyusunan UU Desa sama saja dengan menyeragamkan karakteristik desa-desa di Indonesia yang sangat beragam sehingga hal tersebut tidak akan berhasil. Untuk mengoptimalisasi keunggulan yang dimiliki tiap desa, pemerintah harus jeli dalam memposisikan desa serta membuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat desa untuk turut berpartisipasi dalam mengembangkan desa mereka. Gampangnya, desa harus diatur dalam sebuah peraturan secara garis besar dengan kalimat sederhana bahwa hal-hal mengenai desa atau dengan nama lain diatur dan diurus daerah provinsi atau kabupaten/kota. 

Tidak ada komentar:

Follow This Blog