Bulir hujan merangsek ke celana jins, merembesi sepatu, membuat buram penglihatan. Begitu kosmopolit.
Bulir hujan kadang begitu melankolis, saat menetes di kaca jendela, dan matamu nyalang menatap jalanan.
Bulir hujan tampak begitu naif, menampung kaki telanjang bocah-bocah yang bermain kegirangan.
Bulir hujan menebar ketakutan bagi petani yang menunggu panen empat bulanan. Tapi bagi saya, hujan selalu memunculkan tanya: menunggu atau menembus?
Menunggu bisa jadi menyenangkan. Tidak basah kuyup sembari mengamati serpih-serpih Tuhan menghujami bumi.
Menembus hujan jelas baju akan basah, walaupun sudah pakai jas hujan yang menjuntai hingga ke tanah. Hujan selalu mampu melihat celah-celah yang merekah.
Saya adalah orang yang cenderung memilih menembus hujan. Pun di sore yang sial tadi, hujan datang tanpa kompromi. Sedari pagi hingga senja, tak putus-putus dia menggoda. Dengan gembira saya menembusnya, mencumbu bulir-bulirnya, berdansa di dalamnya.
Ada ekstase antara kesedihan dan kelegaan di dalamnya, seperti berhasil mengumpulkan semua bagian diri menjadi satu. Seperti mengetahui bahwa hujan akan membasahi, mengundang flu, membuat licin jalan, membuat got mampat dan cucian tak kering, tetapi semua tak mengapa.
Semua yang akan tiba tidaklah mengapa. Dia tidak menyakiti. Ya, Tuhan mungkin ada di dalam hujan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar