Selasa, 04 Juni 2013

Administrasi Publik: Konsep dan Definisinya

Definisi Administrasi Publik

Batasan administrasi publik dapat ditinjau dari aspek politik, legal, manajerial, dan okupasi. Dari aspek politik, administrasi publik adalah apa yang dilakukan oleh pemerintah (what government does). Disini, administrasi publik adalah segala aktivitas pemerintah yang mempengaruhi kehidupan keseharian masyarakat, baik pada ruang lingkup nasional maupun daerah. Hal senada juga disampaikan oleh Shafritz dan Russel (2003), bahwa berbicara tentang administrasi publik pasti berkenaan dengan aksi-aksi pemerintah dalam mengelola urusan-urusan publik (public affairs) atau implementasi kebijakan publik.

Sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah bisa secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung misalnya pemerintah menyediakan pelayanan pengiriman surat, pemenuhan kebutuhan listrik masyarakat, dan sebagainya. Secara tidak langsung, penyediaan pelayanan dilakukan oleh pemerintah melalui sektor swasta/bisnis.

Dalam menghadapi persoalan publik, pemerintah harus bisa mengambil keputusan apakah perlu atau tidak perlu melakukan sesuatu. Dan keputusan ini (melakukan atau tidak melakukan sesuatu) adalah kebijakan publik. Setiap keputusan (termasuk keputusan untuk tidak membuat suatu keputusan) dibuat oleh pihak-pihak yang memiliki kontrol politik dan diimplementasikan oleh administrator. Karenanya, kebijakan publik dan administrasi publik adalah dua sisi dari sebuah koin yang tidak dapat dipisahkan. Proses tidak berakhir hanya pada implementasi kebijakan. Saat pemerintah melakukan sesuatu, dipastikan ada upaya untuk membuat kebijakan publik menjadi lebih baik sehingga pembuatan keputusan adalah sebuah proses yang kontinyu.

Untuk memenuhi mandat legislatif, eksekutif, dan yudisial dan untuk menyediakan pelayanan dan regulasi kepada masyarakat umum maka dalam administrasi publik dimanfaatkan teori-teori dan proses-proses manajerial, politik, dan legal (Rosenbloom, 1986).

Dari aspek legal, administrasi publik ada dan dibatasi oleh instrumen hukum. Administrasi publik kemudian dimaknai sebagai hukum dalam tindakan dan secara inheren merupakan pelaksanaan atau eksekusi hukum publik. Administrasi tidak dapat ada tanpa fondasi legal. Di Indonesia, peraturan tertinggi adalah UUD 1945. Karenanya, semua legislasi yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Demikian juga, segala sesuatu yang dilakukan oleh Presiden harus mendapat persetujuan dari legislatif. Dari aspek legal, administrasi adalah regulasi, yakni pemerintah harus menetapkan aturan yang mengatur tindakan masyarakat dan sektor swasta, apa yang dapat atau tidak dapat dilakukan oleh mereka.

Administrasi publik juga dapat dilihat sebagai suatu okupasi, yakni pekerjaan apapun yang dilakukan oleh birokrat; sebagai fisikawan, arsitek, dokter, dan sebagainya. Mereka seringkali melihat diri mereka berdasarkan profesi tertentu. Meskipun mereka tidak melihat dirinya sebagai administrator dalam pandangan menjadi seorang manajer, akan tetapi mereka tetap memberikan pelayanan kepada publik.
Periodisasi Studi Administrasi Publik

Menurut Nicholas Henry

Menurut Nicholas Henry, perkembangan studi administrasi publik dapat dibagi ke dalam beberapa periode. 

Periode I, yakni Dikotomi Politik/Administrasi, telah menandai periode dari 1900-1926 dan administrasi merupakan disiplin ilmu yang baru. Dimulai dengan tulisan Frank J. Goodnow yakni Politics and Administration (1900) dan mencapai puncaknya dalam karya Leonard D. White yakni Introduction to the Study of Public Administration (1926). Dorongan utama dari paradigma ini adalah pembedaan administrasi dari politik. Sejalan dengan upaya di atas, White (1926) menerima dikotomi politik/administrasi dan menggunakan istilah ”manajemen” sebagai cakupan khusus studi administrasi publik. Meskipun pemikiran White lebih berdasarkan pada ide Wilson dan Goodnow, ia juga menekankan aspek seperti rekrutmen pegawai, penilaian, klasifikasi, promosi, disiplin, dan pemberhentian. Menurut White, model bisnis merupakan model yang baik untuk diterapkan pada pemerintah.

Periode II yakni Prinsip-prinsip Administrasi telah menandai periode dari 1927-1937. Fokus utama dari administrasi publik adalah mencari dan mengartikulasikan prinsip-prinsip dasar administrasi yang dapat dipandang sebagai prinsip yang universal. W.F. Willoughby dengan tulisannya yakni “Principles of Public Administration” (1927) merupakan buku teks pertama yang mengartikulasikan prinsip-prinsip administrasi publik, kemudian mencapai puncaknya pada tulisan Luther Gulick dan Lyndall Urwick prinsip-prinsip administrasi publik, human organization merupakan fokus utama paradigma ini, politik yang irrespective, kelembagaan, atau sistem nilai. Periode dari 1937 hingga 1950 merupakan tantangan bagi prinsip-prinsip administrasi. Herbert Simon, melalui bukunya Administrative Behaviour (1947), menawarkan suatu paradigma baru yang berfokus pada konsep pembuatan keputusan, dengan pemisahan aspek-aspek faktual dan normatif dari administrasi publik.

Periode III, yakni Administrasi Publik sebagai Ilmu Politik menandai periode dari 1950 hingga 1970. Beberapa ilmuwan politik memandang proses administrasi sebagai suatu fase dari peradaban modern (Morstein Marx, 1946), sebagai ekologi manusia, tempat, teknologi, dan problem (Gaus, 1947), dan sebagai proses sosial dan pemerintahan, dan fakta-fakta ideologi (Waldo, 1948). Sarjana lain berfokus pada perilaku partisipan organisasi, yang lain berfokus pada pembuatan kebijakan publik. Akibatnya, administrasi publik kehilangan fokus dan identitasnya.

Periode IV, yakni Administrasi Publik sebagai Ilmu Administrasi menandai periode dari 1956 hingga 1970. Dalam paradigma ini, teori organisasi, perilaku organisasi, dan ilmu manajemen menjadi fokus studi administrasi publik. Dalam paradigma ini, ilmu administrasi publik dapat diartikulasikan dengan jelas.

Menurut Frederickson

Paradigma 1: Birokrasi Klasik. Fokus dari paradigma ini adalah struktur (desain) organisasi dan prinsip-prinsip manajemen, sedangkan lokusnya adalah berbagai jenis organisasi baik pemerintah maupun bisnis. Nilai pokok yang ingin diwujudkan adalah efisiensi, efektivitas, ekonomi, dan rasionalitas. Tokoh utama paradigma 1 adalah Weber, Wilson, Taylor, serta Gullick dan Urwick.

Paradigma 2: Birokrasi Neo-Klasik. Nilai yang ingin dicapai dalam paradigma ini sama seperti apa yang ingin dicapai pada Paradigma 1. Hanya saja fokus dan lokus keduanya berbeda. Pada paradigma 2, lokusnya adalah ”keputusan” yang dihasilkan oleh birokrasi pemerintahan, sedangkan fokusnya adalah proses pengambilan keputusan dengan perhatian khususnya pada penerapan ilmu perilaku, ilmu manajemen, analisa sistem, dan penelitian operasi. Tokoh utama paradigma 2 adalah Simon dan Cyert dan March.

Paradigma 3: Kelembagaan. Fokus perhatian paradigma ini adalah pemahaman perilaku birokrasi yang dipandang juga sebagai organisasi yang kompleks. Nilai-nilai seperti efiensi, efektivitas, dan produktivitas organisasi kurang mendapatkan perhatian. Salah satu aspek perilaku yang dikaji dalam paradigma ini adalah perilaku pengambilan keputusan yang bersifat gradual dan inkremental, yang oleh Lindblom dipandang sebagai satu-satunya cara untuk memadukan kemampuan dan keahlian birokrasi dengan preferensi kebijakan dan pejabat politik. Tokoh-tokoh dari paradigma ini adalah Thomson dan Etzioni.

Paradigma 4: hubungan kemanusiaan. Nilai yang mendasari paradigma ini adalah keikutsertaan dalam pengambilan keputusan, minimasi perbedaan status dan hubungan antar pribadi, keterbukaan, aktualisasi diri, dan optimasi tingkat kepuasan. Fokus dari paradigma ini adalah dimensi-dimensi kemanusiaan dan aspek sosial-psikologis dalam tiap jenis organisasi ataupun birokrasi. Diantara para teoritisi yang cukup berpengaruh dalam paradigma ini adalah Likert, Vaniel Kazt dan Robert Kahn.

Paradigma 5: Pilihan Publik. Fokus dalam paradigma ini tidak lepas dari politik, sedangkan fokusnya adalah pilihan-pilihan untuk melayani kepentingan publik akan barang dan jasa yang harus diberikan oleh sejumlah organisasi. Tokoh dari paradigma ini adalah Ostrom, Buchanan, dan Tullock.

Paradigma 6: Administrasi Negara Baru. Fokus dari paradigma ini adalah usaha untuk mengorganisasikan, menggambarkan, mendisain, atau membuat organisasi dapat berjalan ke arah sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Organisasi bersifat desentralistis, demokratis yang responsif dan ada partisipasi, serta memberikan jasa kepada masyarakat secara merata. Karakter dari paradigma ini adalah administrasi yang bebas nilai.

Tidak ada komentar:

Follow This Blog