Definisi Administrasi Publik
Batasan administrasi publik dapat ditinjau dari
aspek politik, legal, manajerial, dan okupasi. Dari aspek politik, administrasi
publik adalah apa yang dilakukan oleh pemerintah (what government does).
Disini, administrasi publik adalah segala aktivitas pemerintah yang
mempengaruhi kehidupan keseharian masyarakat, baik pada ruang lingkup nasional
maupun daerah. Hal senada juga disampaikan oleh Shafritz dan Russel (2003),
bahwa berbicara tentang administrasi publik pasti berkenaan dengan aksi-aksi
pemerintah dalam mengelola urusan-urusan publik (public affairs) atau
implementasi kebijakan publik.
Sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah bisa secara
langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung misalnya pemerintah
menyediakan pelayanan pengiriman surat, pemenuhan kebutuhan listrik masyarakat,
dan sebagainya. Secara tidak langsung, penyediaan pelayanan dilakukan oleh
pemerintah melalui sektor swasta/bisnis.
Dalam menghadapi persoalan publik, pemerintah harus
bisa mengambil keputusan apakah perlu atau tidak perlu melakukan sesuatu. Dan
keputusan ini (melakukan atau tidak melakukan sesuatu) adalah kebijakan publik.
Setiap keputusan (termasuk keputusan untuk tidak membuat suatu keputusan)
dibuat oleh pihak-pihak yang memiliki kontrol politik dan diimplementasikan
oleh administrator. Karenanya, kebijakan publik dan administrasi publik adalah
dua sisi dari sebuah koin yang tidak dapat dipisahkan. Proses tidak berakhir
hanya pada implementasi kebijakan. Saat pemerintah melakukan sesuatu,
dipastikan ada upaya untuk membuat kebijakan publik menjadi lebih baik sehingga
pembuatan keputusan adalah sebuah proses yang kontinyu.
Untuk memenuhi mandat legislatif, eksekutif, dan
yudisial dan untuk menyediakan pelayanan dan regulasi kepada masyarakat umum
maka dalam administrasi publik dimanfaatkan teori-teori dan proses-proses
manajerial, politik, dan legal (Rosenbloom, 1986).
Dari aspek legal, administrasi publik ada dan
dibatasi oleh instrumen hukum. Administrasi publik kemudian dimaknai sebagai
hukum dalam tindakan dan secara inheren merupakan pelaksanaan atau eksekusi
hukum publik. Administrasi tidak dapat ada tanpa fondasi legal. Di Indonesia,
peraturan tertinggi adalah UUD 1945. Karenanya, semua legislasi yang dibuat
tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Demikian juga, segala sesuatu yang
dilakukan oleh Presiden harus mendapat persetujuan dari legislatif. Dari aspek
legal, administrasi adalah regulasi, yakni pemerintah harus menetapkan aturan
yang mengatur tindakan masyarakat dan sektor swasta, apa yang dapat atau tidak
dapat dilakukan oleh mereka.
Administrasi publik juga dapat dilihat sebagai suatu
okupasi, yakni pekerjaan apapun yang dilakukan oleh birokrat; sebagai
fisikawan, arsitek, dokter, dan sebagainya. Mereka seringkali melihat diri
mereka berdasarkan profesi tertentu. Meskipun mereka tidak melihat dirinya
sebagai administrator dalam pandangan menjadi seorang manajer, akan tetapi
mereka tetap memberikan pelayanan kepada publik.
Periodisasi Studi Administrasi Publik
Menurut Nicholas Henry
Menurut Nicholas Henry, perkembangan studi
administrasi publik dapat dibagi ke dalam beberapa periode.
Periode I, yakni
Dikotomi Politik/Administrasi, telah menandai periode dari 1900-1926 dan
administrasi merupakan disiplin ilmu yang baru. Dimulai dengan tulisan Frank J.
Goodnow yakni Politics and Administration (1900) dan mencapai puncaknya dalam
karya Leonard D. White yakni Introduction to the Study of Public Administration
(1926). Dorongan utama dari paradigma ini adalah pembedaan administrasi dari politik. Sejalan dengan upaya di atas, White (1926) menerima
dikotomi politik/administrasi dan menggunakan istilah ”manajemen” sebagai
cakupan khusus studi administrasi publik. Meskipun pemikiran White lebih
berdasarkan pada ide Wilson dan Goodnow, ia juga menekankan aspek seperti
rekrutmen pegawai, penilaian, klasifikasi, promosi, disiplin, dan
pemberhentian. Menurut White, model bisnis merupakan model yang baik untuk
diterapkan pada pemerintah.
Periode II yakni Prinsip-prinsip Administrasi telah
menandai periode dari 1927-1937. Fokus utama dari administrasi publik adalah
mencari dan mengartikulasikan prinsip-prinsip dasar administrasi yang dapat
dipandang sebagai prinsip yang universal. W.F. Willoughby dengan tulisannya
yakni “Principles of Public Administration” (1927) merupakan buku teks pertama
yang mengartikulasikan prinsip-prinsip administrasi publik, kemudian mencapai
puncaknya pada tulisan Luther Gulick dan Lyndall Urwick prinsip-prinsip
administrasi publik, human organization merupakan fokus utama paradigma ini,
politik yang irrespective, kelembagaan, atau sistem nilai. Periode dari 1937 hingga 1950 merupakan tantangan
bagi prinsip-prinsip administrasi. Herbert Simon, melalui bukunya
Administrative Behaviour (1947), menawarkan suatu paradigma baru yang berfokus
pada konsep pembuatan keputusan, dengan pemisahan aspek-aspek faktual dan
normatif dari administrasi publik.
Periode III, yakni Administrasi Publik sebagai Ilmu
Politik menandai periode dari 1950 hingga 1970. Beberapa ilmuwan politik
memandang proses administrasi sebagai suatu fase dari peradaban modern
(Morstein Marx, 1946), sebagai ekologi manusia, tempat, teknologi, dan problem
(Gaus, 1947), dan sebagai proses sosial dan pemerintahan, dan fakta-fakta
ideologi (Waldo, 1948). Sarjana lain berfokus pada perilaku partisipan
organisasi, yang lain berfokus pada pembuatan kebijakan publik. Akibatnya,
administrasi publik kehilangan fokus dan identitasnya.
Periode IV, yakni Administrasi Publik sebagai Ilmu
Administrasi menandai periode dari 1956 hingga 1970. Dalam paradigma ini, teori
organisasi, perilaku organisasi, dan ilmu manajemen menjadi fokus studi
administrasi publik. Dalam paradigma ini, ilmu administrasi publik dapat
diartikulasikan dengan jelas.
Menurut Frederickson
Paradigma 1: Birokrasi Klasik. Fokus dari paradigma
ini adalah struktur (desain) organisasi dan prinsip-prinsip manajemen,
sedangkan lokusnya adalah berbagai jenis organisasi baik pemerintah maupun
bisnis. Nilai pokok yang ingin diwujudkan adalah efisiensi, efektivitas,
ekonomi, dan rasionalitas. Tokoh utama paradigma 1 adalah Weber, Wilson,
Taylor, serta Gullick dan Urwick.
Paradigma 2: Birokrasi Neo-Klasik. Nilai yang ingin
dicapai dalam paradigma ini sama seperti apa yang ingin dicapai pada Paradigma
1. Hanya saja fokus dan lokus keduanya berbeda. Pada paradigma 2, lokusnya
adalah ”keputusan” yang dihasilkan oleh birokrasi pemerintahan, sedangkan
fokusnya adalah proses pengambilan keputusan dengan perhatian khususnya pada
penerapan ilmu perilaku, ilmu manajemen, analisa sistem, dan penelitian
operasi. Tokoh utama paradigma 2 adalah Simon dan Cyert dan March.
Paradigma 3: Kelembagaan. Fokus perhatian paradigma
ini adalah pemahaman perilaku birokrasi yang dipandang juga sebagai organisasi
yang kompleks. Nilai-nilai seperti efiensi, efektivitas, dan produktivitas
organisasi kurang mendapatkan perhatian. Salah satu aspek perilaku yang dikaji
dalam paradigma ini adalah perilaku pengambilan keputusan yang bersifat gradual
dan inkremental, yang oleh Lindblom dipandang sebagai satu-satunya cara untuk
memadukan kemampuan dan keahlian birokrasi dengan preferensi kebijakan dan
pejabat politik. Tokoh-tokoh dari paradigma ini adalah Thomson dan Etzioni.
Paradigma 4: hubungan kemanusiaan. Nilai yang
mendasari paradigma ini adalah keikutsertaan dalam pengambilan keputusan,
minimasi perbedaan status dan hubungan antar pribadi, keterbukaan, aktualisasi
diri, dan optimasi tingkat kepuasan. Fokus dari paradigma ini adalah
dimensi-dimensi kemanusiaan dan aspek sosial-psikologis dalam tiap jenis
organisasi ataupun birokrasi. Diantara para teoritisi yang cukup berpengaruh
dalam paradigma ini adalah Likert, Vaniel Kazt dan Robert Kahn.
Paradigma 5: Pilihan Publik. Fokus dalam paradigma
ini tidak lepas dari politik, sedangkan fokusnya adalah pilihan-pilihan untuk
melayani kepentingan publik akan barang dan jasa yang harus diberikan oleh
sejumlah organisasi. Tokoh dari paradigma ini adalah Ostrom, Buchanan, dan
Tullock.
Paradigma 6: Administrasi Negara Baru. Fokus dari
paradigma ini adalah usaha untuk mengorganisasikan, menggambarkan, mendisain,
atau membuat organisasi dapat berjalan ke arah sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan. Organisasi bersifat desentralistis, demokratis yang responsif dan
ada partisipasi, serta memberikan jasa kepada masyarakat secara merata. Karakter
dari paradigma ini adalah administrasi yang bebas nilai.