Jumat, 27 Juli 2012

Perbanyak, Ruang Hijau pada Rumah Tradisional Bali

Sejak satu dasawarsa belakangan ini kita rasakan bahwa perubahan iklim maupiun cuaca kian tidak menentu. Pada saat sudah waktunya datang musim penghujan, musim kemarau yang kering kerontang belum juga beranjak pergi. demikian juga sebaliknya. kondisi seperti ini tentu memicu merebaknya berbagai macam penyakit dan kian menjamurnya bakteri yang bisa merugikan manusia. Perubahan iklim yang tidak menentu ini pun menyebabkan banyak orang jatuh sakit. Penyakit yang sering muncul pada saat cuaca tidak menentu ini biasanya adalah pilek, flu, demam dan masih banyak lagi. 


Posisi atau letak geografis Indonesia yang berada diantara dua benua dan samudra mengakibatkan Indonesia menjadi sangat unik dan sekaligus menyebabkan fluktuasi iklim. Faktor lainnya adalah semakin berkurangnya ruang hijau baik di perkotaan ataupun di pedesaan. Akibatnya terjadi global warming yang menyebabkan suhu di bumi ini naik sekitar 0,74 + 0,18° C  selama seratus tahun terakhir dan berimbas pada cairnya es yang ada di kutub utara dan kutub selatan. Isu global warming ini telah menjadi isu global dan sangat perlu mendapat perhatian serius dari seluruh masyarakat dunia. Jika keadaan ini terus menerus dibiarkan maka para ilmuwan memperkirakan bahwa suhu bumi akan naik 1,4 - 3° C  pada tahun 2050. Bisa dibayangkan bagaimana wajah bumi saat itu, kekeringan melanda dan ancaman naiknya permukaan air laut yang mengakibatkan semakin banyak pulau-pulau kecil tenggelam, permukaan daratan pun akan semakin terkikis oleh air laut, serta kebakaran hutan akibat kekeringan yang berkepanjangan. Saya rasa kita semua tidak menginginkan kondisi seperti itu benar-benar terjadi nantinya. Tidak akan terjadi!

Masih ada waktu untuk berbenah dan menyelamatkan bumi ini dari ancaman global warming, kendati dampak global warming sudah dirasakan semakin meluas. Angin segar datang dari sebuah penelitian empat  orang siswa SMA Negeri 3 Denpasar, seperti yang dilansir oleh VOA di website resminya yang berjudul "Ruang Hijau Rumah Bali Serap 154 Ton CO2/Hari" siswa-siswi tersebut meneliti tentang peranan ruang hijau yang terletak di belakang rumah tradisional Bali atau disebut dengan tebe ternyata mampu menyerap gas buang karbondioksida sampai sekitar 154.000 Kg sehari. Penelitian yang dilakukan dalam waktu yang tidak sebentar tersebut menunjukkan bahwa ruang hijau di belakang rumah tradisional masyarakat Bali kebanyakan sangat ampuh untuk mengurangi jumlah gas karbondioksida yang menjadi salah satu gas penyebab global warming selain chlorofluorocarbon (CFC). Jumlah tersebut sangatlah membantu dalam upaya mengurangi kadar karbondioksida di udara. 

Tebe sesungguhnya adalah suatu lahan atau pekarangan yang cukup luas dimana umumnya terdapat di belakang rumah tradisional masyarakat Bali. Menyerupai hutan mini yang terdapat berbagai macam pepohonan, masyarakat tradisional Bali umumnya menanam pohon pisang, kelapa, ubi, dan pelbagai tanaman lainnya yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari. secara tidak langsung menurut hasil penelitian, tebe ternyata memberikan manfaat lebih selain urusan dapur dan rumah tangga. keberadaan tebe mampu mengurangi jumlah karbondioksida dan menurunkan suhu disekitar tebe sehingga tidak heran hawa sejuk langsung terasa ketika kita menjejakkan kaki di rumah tradisional Bali yang dibelakangnya memiliki tebe.

Sayangnya keberadaan rumah tradisional Bali yang memiliki tebe sudah semakin jarang ditemui. Banyaknya penduduk dan tidak diimbangi tersedianya lahan yang cukup membuat tebe sekarang sudah sangat langka. Ini menjadi tugas kita bersama untuk menambah ruang hijau pada wilayah perkotaan maupun di pedesaan agar mengurangi jumlah karbondioksida di udara sekligus membuat udara disekitar menjadi bersih dan kaya akan oksigen. Dimulai dari rumah tradisional Bali dengan konsep kearifan lokalnya sangat mungkin diterapkan di wilayah lain dengan menyisakan sedikit pekarangan rumah untuk dijadikan ruang hijau pemasok oksigen. Menilik masih banyak lahan hijau di pulau seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Kita harus menjaga dengan baik lahan hijau tersebut agar dampak global warming dapat kita cegah mulai dari sekarang sebelum semuanya terlambat untuk disesali kemudian.

Tidak ada komentar:

Follow This Blog