Get better, not bitter. Begitu pesan yang selalu disampaikan guru-guru yang mampir di kehidupan saya. Lalu, bagaimana cara menjadi lebih baik, ketika saya adalah laki-laki berusia 28 dengan pikiran yang terlalu liar di kepala?
Read More
Saya resmi berusia 28 tahun empat bulan lalu. Tiga tahun lalu, saya membayangkan laki-laki berusia 28 sebagaimana teman semasa SMA. Mereka bekerja delapan jam sehari dengan seragam kantor dan meninggalkan istrinya tiap pagi. Tapi, kami punya mimpi yang berbeda. Di usia 28, saya masih berada di Jakarta, bergabung dengan media cetak terbesar di Indonesia setelah bergelut 1,5 tahun di koran lokal. Sementara teman semasa SMA saya memilih bertahan tinggal dan bekerja di Bali.
Kesempatan mendapat pengalaman lebih pun tiba. Saya dinyatakan lulus untuk masuk Kompas setelah melalui serangkaian seleksi ketat di Surabaya. Lalu seorang teman jurnalis di Bali bilang: “Nggak semua orang seberuntung kamu bisa keterima di sana”. Satu pesan lagi : “Enaknya gabung di Kompas. Jam kerjanya kayak PNS, gajinya besar.”
Saya laki-laki 28 tahun dengan pengalaman kerja enam tahun. Saya pikir saya jatuh cinta pada jurnalisme, tapi toh saya sesekali menggerutu pada dunia yang lekat dengan tenggat ini.
Tawaran menggiurkan sempat datang dari lembaga nonprofit dan godaan bekerja di kampung halaman. Belum lagi saya pernah berjanji dengan seorang perempuan spesial dari Bali utara, bahwa saya berniat melanjutkan sekolah agar bisa berjalan bersisian dengannya.
Semua punya dinamikanya tersendiri tetapi saya merasa tak mampu bergerak seirama dengan dinamika itu. Jadi, kalau dipikir-pikir mengeluh dan menggerutu, juga rencana melanjutkan sekolah, adalah eskapisme belaka. Ada benarnya juga. Walaupun nanti semisal bisa melanjutkan sekolah, saya yakin selalu ingin kembali bekerja saja. Dasar manusia.
Menjadi 28 tahun dan sendirian di daerah orang adalah perjuangan yang lain. Saya independen dan individualis. Setidaknya saya selalu berpikir demikian.
Saya ingat pada bulan-bulan awal saya tiba di Jakarta, saya tiba-tiba merasa begitu sendirian. Saya menelepon rumah dan menangis sesenggukkan. Ajik dan ibu saya tertawa-tawa. Saya tidak menangis ketika ditempatkan di Tangerang raya atau ketika saya harus liputan ketika Galungan dan Kuningan.
Selama hampir 5 tahun jauh dari rumah, saya relatif jarang menelepon keluarga sembari menangis. Kali ini saya menangis, lebih disebabkan teman-teman dekat perlahan menghilang. Mereka jadi punya dunianya masing-masing dan saya hanya punya satu orang sahabat dekat saat ini.
Saya menangis, dalam, panjang, dan bersuara atas keadaan ini. Terkadang hal-hal sepele bisa mengganggumu.
Kadang kau bingung kenapa tidak ada seorangpun yang bisa kau ajak bicara soal musik yang kau suka, buku yang kau baca, film yang membuatmu tak mampu berkata-kata berhari-hari.
Kadang kau bingung mengapa orang selalu suka hidup dalam gerombolan sementara petualangan paling mendebarkan datang ketika kau sendirian.
Kadang kau bingung mengapa orang lebih suka menatap layar telepon genggam ketimbang mata lawan bicara. Kadang kau bingung kenapa manusia masih menonton televisi.
Kadang kau bingung mengapa imajinasi tanpa batas selalu dimaknai sebagai absurditas. Tapi, lebih sering kau menyadari bahwa menemukan seorang teman dengan siapa kau berenang-renang di frekuensi yang sama adalah sulit.
Menjadi 28 tahun di perantauan adalah pelajaran paling berharga. Dengan semua kebebasan yang saya punya dan ketidakpedulian pada apa kata orang, saya bisa melakukan apa saja.
Saya membuat kesalahan. Saya memperbaikinya. Saya menemukan teman untuk bepergian atau membicarakan musik dan film. Saya menemukan teman untuk kisah-kisah lainnya. Saya menyadari tidak ada satu sosok yang bisa memenuhi semua keinginan saya. Sama halnya, saya tidak mampu menjadi satu sosok yang lengkap untuk memenuhi semua keinginan orang lain.
Menjadi 28 tahun di daerah orang adalah pelajaran bahwa semua kehidupan di belakang saya mampu membuat saya menjadi pahit. Tapi, saya tidak memilih menjadi pahit. Dan lagi, imajinasi saya masih tanpa batas, pikiran saya masih liar, saya masih impulsif, saya masih iri pada burung-burung senja, saya masih suka nyinyir. Tapi, yah, saya baik-baik saja.