Apa yang mungkin lebih singkat dari Kabinet Dwikora II? Kebersamaan saya di desk multimedia harian Kompas. Bila Kabinet Dwikora II hanya berusia 32 hari, saya hanya bertahan sekitar 14 hari di desk multimedia. Sebagai jurnalis, perpindahan atau rotasi adalah hal yang biasa.
Per 1 Mei 2021, sesuai kebutuhan perusahaan, saya dirotasi dari desk saya sebelumnya, yaitu desk regional ke desk multimedia. Target dan kebutuhan perusahaan mengharuskan adanya perpindahan itu. Awalnya saya kaget menerima pengumuman pindah, selain karena baru 1 tahun di desk regional, keputusan itu disampaikan mendadak. Tapi beginilah dunia jurnalistik. Kita harus siap sedia bila kantor membutuhkan tenaga kita sewaktu-waktu.
Setelah bergabung di desk multimedia, perusahaan kembali merotasi saya. Kali ini lebih mendadak lagi lantaran seorang senior memutuskan resign. Alhasil jadilah kebersamaan singkat saya tersebut mematahkan rekor Kabinet Dwikora II seperti yang sudah disinggung di atas.
Entah mengapa tahun 2021 ini saya lekat dengan kebersamaan yang singkat. Selain urusan desk alias pekerjaan, hubungan saya dengan seorang perempuan di Bali yang hanya tiga bulan juga harus kandas.
Saya bersedih atas kehilangan yang beruntun tersebut. Seakan-akan dunia tak berpihak lagi pada saya. Tapi seperti kata orang, selalu ada hal yang bisa disyukuri dari segala duka. Pasti ada hikmah yang bisa dipetik dari setiap nestapa. Ada yang menggugah dalam suatu scene di film The Life of PI. Karakter utama si PI mengatakan hal yang menyentuh: ketika Tuhan seolah meninggalkan dan tak perduli pada nasib kita, sesungguhnya ia sedang menjaga kita.
Atau ingatlah pula apa yang dikatakan Quraish Shihab pada Najwa: boleh jadi keterlambatanmu dari suatu perjalanan adalah keselamatanmu. Bisa saja tertundanya pernikahanmu adalah suatu keberkahan. Boleh jadi engkau membenci sesuatu tapi ternyata itu baik untukmu. Karena Tuhan maha mengetahui, sedangkan kita tidak mengetahui.
Dan saya bersyukur, selalu ada teman-teman di sekitar yang mendukung tak perduli bagaimana kondisimu. Mereka senantiasa ada untuk mendengarkan. Sebuah uluran tangan yang sepele tapi sangat berarti.
Kembali ke hal yang singkat-singkat, uluran tangan itu bisa berbentuk kesediaan menerima telepon di malam hari, atau menyaksikan matahari terbenam di BSD.
Momen menyaksikan langit jingga itu sangat singkat. Tetapi amat berarti. Seolah, dalam tempo dua jam saja aura yang tersaji di sana mampu menghapus semua duka. Meski hanya sesaat. Sore-sore yang kita lewati itu jadi hal yang singkat daripada kebersamaan saya di desk multimedia.
Saya salah. Awalnya saya kira tak ada lagi hal yang lebih singkat. Ternyata, ada. Ini menyadarkan saya bahwa selalu ada langit di atas langit. Pun dengan seorang perempuan di Bali yang saya pikir tak ada yang lebih memukau dibandingkan dengannya.
Semoga kelak suatu saat, saya dipertemukan dengan seorang perempuan yang lebih bersinar. Lebih dapat memahami. Juga lebih mengerti. Perempuan yang akan menghapus segala yang singkat-singkat dari hidup saya yang sesaat.