Nasib petani tebu dan industri gula nasional memasuki pertengahan tahun 2017 ini sedang berada dalam kondisi yang kurang menggembirakan. Laporan Kompas tanggal 15-17 Mei 2017 mengungkapkan perhatian pemerintah terhadap budidaya komoditas ini rendah. Pendapatan petani tebu anjlok, bahkan produktivitas industri pengolahan berbahan baku tebu merosot. Namun, di tengah kelesuan itu, Pabrik Gula (PG) Madukismo di Bantul, Yogyakarta dapat bertahan di tengah kondisi sulit.
PG Madukismo menjadi penyintas di tengah kondisi sulit di saat pabrik gula lain telah gulung tikar. Tahun 2017 ini tercatat ada tiga pabrik gula di Situbondo, Jawa Timur, yang terancam ditutup. Ketiga pabrik tersebut, yaitu PG Pandji, PG Wringin Anom, dan PG Olean (Kompas, 12/5/2017). Kondisi yang tak jauh berbeda juga terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Sejak dua tahun terakhir, luas lahan dan produksi tebu di Jawa Tengah terus merosot. Penyusutan lahan disebabkan sebagian besar petani beralih menanam komoditas lain (Kompas, 17/5/2017).
Penyusutan lahan produksi tebu secara otomatis menyebabkan produksi tebu menurun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah menyebutkan produksi tebu tahun 2014 sebanyak 332.343 ton turun menjadi 250.698 ton pada tahun 2015. Belum lagi ditambah dengan persoalan anomali cuaca, lambannya revitalisasi pabrik gula, penyimpangan gula impor, perubahan mekanisme kredit petani, dan pembatasan alokasi pupuk bersubsidi (Kompas 15/5/2017).
Di tengah setumpuk persoalan industri gula nasional, PG Madukismo nyatanya tetap melaju kencang. Asap pabrik terus mengepul memproduksi ratusan ton dan ribuan karung gula setiap harinya. Bisnis pabrik gula tertua di Yogyakarta itu terus berkembang. Tidak hanya memproduksi gula, tapi juga alkohol murni, spiritus bakar. PG Madukismo bahkan memiliki beberapa penginapan. Jumlah karyawannya pun saat ini mencapai 4.500 orang.
Public relation PG Madukismo, Mahmud, yang ditemui pada Senin (15/5/2017) mengakui sejumlah pabrik gula di Yogyakarta telah tutup akibat lesunya industri gula di Jawa Tengah dan Yogyakarta. PG Madukismo yang berdiri sejak tahun 1955, menurut dia, dapat bertahan karena beberapa hal.
“Meski kami ini bukan BUMD, tapi kami tetap dapat bertahan hingga kini. Salah satu kuncinya adalah, PG Madukismo memosisikan petani tebu sebagai mitra. Bukan alat produksi. Sehingga antara Madukismo dan petani tebu ada hubungan yang saling menguntungkan,” ujarnya tanpa menjabarkan lebih detail bagaimana hubungan saling menguntungkan antara PG Madukismo dengan petani tebu.
Selain hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara petani tebu dan PG Madukismo, Mahmud mengatakan, Keraton Ngayogyakarta berperan besar dalam kemajuan pabrik gula ini. Peran keraton yang dia maksud ialah soal penyertaan modal keraton di PG Madukismo.
“Keraton juga punya andil di pabrik ini. 65% saham perusahaan ini dimiliki keraton. Sisanya sebanyak 35% dipegang PT Rajawali Nusantara,” kata Mahmud.