Pernah merasakan dahsyatnya ekspektasi? Seperti yang sudah usang dan berulang, kenyataan lagi-lagi tiada seindah angan.
Bayangkan diri Anda adalah seorang yang permisif, pencari peluang, dan terimpit usia-usia yang kian menua. Malam ini kecewa itu hadir kembali. Perempuan yang dalam dua pekan terakhir mengisi kolom obrolan ternyata tak memendam perasaan yang sama. kecewa, marah, sedih, dan perasaan bersalah menggulung jadi satu.
Malam ini untuk kesekian kalinya pula saya salah paham. Salah mengartikan gayung bersambut. Semuanya fana, seperti ia selalu jadi bagian kehidupan. Dan celakanya saya lupa akan hal itu. Saya meminta kepastian, sebagaimana Ardhito Pramono tumpahkan dalam lirik What Do You Feel About Me-nya.
Tuntutan untuk tak lagi menjalani tarik ulur membesar. Saya mendesaknya dengan kata-kata. Seperti saya mendesak pejabat publik kotor dengan pertanyaan saban hari.
Tak semestinya saya menggunakan cara tak halus seperti itu. Terlebih sang puan bukanlah pejabat publik atau politisi dari kubangan lumpur. Seharusnya saya memperlakukannya tetap anggun.
Bagaimanapun ia perempuan biasa yang dengan tangan terbuka menerima ajakan obrolan saya. Mungkin tak terlintas sedikit pun di benaknya untuk mempermainkan. Di titik kontemplasi itu saya tersadar, ekspektasi kembali menerkam.
Malam ini jadi malam terakhir, benar-benar terakhir. Harapan tinggi jatuh, menguap tak berbentuk. Nyata bukan pertanda, hanya pikiran ku saja, harapan itu semu. Sulit untuk aku percaya sampai akhirnya aku lihat sendiri. Kunto Aji- Ekspektasi