Sepekan belakangan media sosial dan grup-grup Whatsapp ramai oleh berita seorang polisi intel yang menyamar sebagai wartawan. Tidak tanggung-tanggung, penyamarannya langgeng hingga 14 tahun. Selama rentang waktu itu, tidak satu pun wartawan di sekitar yang menyadari bahwa rekan mereka merupakan intel. Penyamaran sempurna.
Saya tak membaca detail informasi penyamaran intel sebagai wartawan itu. Tapi, saat pertama kali tahu informasinya, berbagai pemikiran lewat di kepala saya. Salah satunya, kenapa polisi intel itu tidak menggunakan identitas yang sama sekali baru saat memulai penyamaran? Setahu saya, seorang intel biasanya akan mendapat nama atau identitas lainnya yang benar-benar baru sejak memulai penyamarannya.
Informasi itu saya peroleh dari sejumlah buku-buku yang mengulas tentang dunia telik sandi. Selain itu, saat masih bertugas di Tribun Bali dulu, saya kerap bersinggungan dengan intel-intel polisi. Maklum, saya ditugaskan di desk kriminal. Penugasan itu mau tak mau memaksa saya ramah dan berteman dengan sejumlah intel.
Cara bisa akrab dengan intel? Jangan ditanya. Berat. Mulai dari harus menginap di polsek-polsek sampai harus menjamu (traktir) mereka di kala luang. Semua itu saya lakukan demi secuil informasi eksklusif. Memang perlu pengorbanan biaya, waktu, dan tenaga, tetapi itulah konsekuensi dari pekerjaan ini.
Dalam hidup ini, kita memang tidak bisa hanya selalu menerima. Ada kalanya, bahkan sering, kita harus memberi untuk mendapatkan sesuatu. Orang Jawa Timur sering bilang, “utah iku utuh”. Maksudnya, apa yang kita keluarkan (utah), akan selalu sama hasilnya (utuh) dengan yang kita terima. Hukum sebab akibat. Inilah konsep karma phala (hasil perbuatan) agama Hindu yang dijejalkan ke kepala saya sejak kecil.
Banyak rekan-rekan wartawan yang tergelitik dengan kabar adanya intel yang menyusup di profesi ini. Tandanya, tautan berita tentang intel polisi itu masif disebarkan di grup-grup wartawan. Mereka heran sekaligus terguncang, “kenapa seorang intel bisa menyusup tanpa disadari? Bahkan dia sempat mengikuti uji kompetensi wartawan dan berstatus wartawan madya.”
Bagi saya, kabar itu tidak terlalu mengejutkan. Saya justru berpikir yang jauh lebih berbahaya adalah orang-orang yang mengaku wartawan tapi sebenarnya bukan. Maksudnya? Gampang. Dari pengalaman saya selama menekuni profesi ini sejak 2016, banyak orang-orang di sekitar yang mengaku wartawan tetapi kesehariannya (hampir) tidak pernah menulis atau melakukan tugas-tugas jurnalistiknya.
Pemandangan ini hampir bisa ditemui baik itu di tingkat lokal maupun pusat. Tapi, gejala yang paling parah terdapat di daerah. Daerah ibarat hutan rimba bagi dunia perjurnalistikan Tanah Air. Di sana, para wartawan saling sikut dan caplok demi mempertahankan periuk nasi mereka.
Saya kenal dengan sejumlah rekan-rekan wartawan yang bertugas di daerah. Pekerjaan utamanya bukan menulis berita, melainkan mencari iklan. Paling jelek, mereka berkongsi dengan penguasa di daerah untuk menyeleweng.
Saya berkali-kali menekankan, bahkan tegas, tugas wartawan itu sangat mulia. Mereka mewakili kepentingan publik dan kemaslahatan orang banyak. Di saat pemerintah daerah atau warga melanggar, peran jurnalislah mengingatkan mereka untuk mengoreksi kekeliruannya.
Kami tidak bisa serta merta hanya mengkritisi pemerintah, karena warga biasa pun kerap melakukan kekeliruan. Ambil contoh, pedagang kaki lima yang mengokupansi trotoar untuk berjualan. Jelas itu tindakan keliru, bahkan salah.
Di Tangerang Selatan, daerah tempat saya bermukim, anggaran menjadi bancakan pemerintah dan wartawan. Lampu-lampu penerangan jalan mati di malam hari pada sejumlah ruas jalan. Pemerintah daerah membiarkannya. Padahal, itu bisa jadi penyebab kecelakaan.
Jurnalis yang harusnya berperan mengingatkan pemerintah terkait kelalaian itu justru diam. Kenapa? Beberapa di antaranya sudah tunduk karena diberi amplop (uang) oleh pemerintah.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemerintah daerah memberikan bantuan uang atau gedung untuk markas kelompok kerja (pokja) wartawan.
Selain pemerintah, polisi juga biasanya ikut urunan mendanai kebutuhan wartawan. Kebiasaan ini yang menjadi pangkal lepasnya independensi wartawan. Mereka tidak bisa lagi leluasa mengawasi kinerja pemerintah karena dimanjakan fasilitas yang seharusnya bukan hak mereka.
Memang kenapa harus mendirikan pokja? Sebagai sarana berserikat wartawan di daerah dan juga media penyebaran informasi. Omong kosong, dengan adanya pokja pun mereka saling menyembunyikan informasi.
Berikutnya, kenapa harus mempunyai gedung khusus? Bukankah kewajiban pemerintah menyediakan media center bagi wartawan yang meliput di kantor pemerintahan. Kalau ada, kenapa tak manfaatkan itu saja. Bukankah gedung khusus pokja itu belum termasuk kebutuhan mendesak. Setahu saya, pernah ada gedung pokja yang ditinggali justru bukan oleh wartawan.
Pembentukan pokja juga cuma akal-akalan elite wartawan daerah untuk mengeruk uang. Dengan mendirikan pokja, mereka bisa menekan pemerintah daerah untuk tunduk dan rutin memberikan bantuan. Inilah bentuk licik pemerasan terselubung. Caranya halus dan seolah-olah bermartabat. Tapi isinya tetap saja mereka meletakkan tangan di bawah. Bukankah agama manapun mengajarkan tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah?
Memang sulit mencari kejujuran di tengah belantara wartawan daerah. Saya pernah punya beberapa kawan yang rasanya sevisi untuk persoalan kejujuran dalam bekerja. Tapi nyatanya mereka tetap saja pencari jale (amplop uang) dan iklan, serta kurang berdedikasi pada pekerjaan membuat berita.
Mereka adalah orang-orang hipokrit yang menurut saya jauh lebih berbahaya daripada intel yang menyamar. Tidak ada yang lebih mengerikan dibanding orang yang mengaku-ngaku wartawan tapi kegiatannya setiap hari hanya menulis berita sekenanya, menulis (mengedit sedikit) rilis dan siaran pers, berbagi berita jadi, bahkan lebih sering berharap kecipratan uang haram setiap hari. Pekerjaan jurnalis tidaklah sebercanda itu.
Dari perbincangan yang saya amati, tidak ada yang merasa betapa berbahayanya orang-orang hipokrit itu. Di mata saya, mereka tidak lebih dari wartawan gadungan yang menuding-nuding polisi intel sebagai wartawan gadungan pula.